Kericuhan dalam Etika Hukum: Belajar dari Pencabutan Permendag 15/2020

SVLK [ilustrasi]
Diah Y Suradiredja

Oleh: Diah Y.Suradiredja (Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional, Periode 2006-2012)

Pesan pendek masuk melalui aplikasi WhatsApp saya “Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) 15 dicabut.  Selesai ya…” dengan lampiran yang menyertainya (saya tersenyum tak jelas).  Sebagai orang awam terhadap hukum dan etika perundang-undangan, saya buka catatan belajar empat bulan lalu tentang Asas Contrarius Actus,  untuk melihatkesesuaian asas dan etika dalam pencabutan dan pembatalan keputusan administrasi pemerintahan. Undang-undang (UU) No 30 Tahun 2014 sudah mengatur tentang pencabutan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan Tata Usaha Negara-TUN (Pasal 64) dan yang mengatur tentang pembatalan keputusan administrasi pemerintahan atau Keputusan TUN-KTUN (Pasal 66).

Mengutip pernyataan William  Livesey Burdick dalam bukunya The Principles of Roman Law and Their Relation to Modern  Law (hal. 235), pencabutan suatu KTUN yang telah dibuat dan berkekuatan hukum hanya dapat dilakukan sesuai dan bagaimana cara keputusan tersebut dibuat.  Kekeliruan di dalam KTUN umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya luasnya wewenang pemerintahan, peraturan perundang-undangan yang tidak lengkap, serta kurangnya petunjuk pelaksanaan.

Setidaknya empat prinsip yang dapat digunakan dalam melihat kekurangan KTUN, yakni (1) KTUN yang keliru dapat ditinjau dan ditarik kembali oleh pejabat pembuatnya, sepanjang tidak ada aturan yang melarang tindakan tersebut; (2)  Pembatalan KTUN didasarkan pada bentuk dan tata cara penerbitannya, apabila aturan mengenai tata cara pembatalan KTUN tidak tersedia; (3) Seluruh upaya harus ditempuh guna mencegah berbagai efek negatif akibat pembatalan KTUN, yang dapat berbentuk kerugian dan pelanggaran hak masyarakat terkait, merugikan kepastian hukum, atau mengurangi wibawa pemerintah; dan (4) Suatu KTUN yang memiliki kekurangan akibat tidak terpenuhinya sejumlah syarat, maka pembatalan KTUN dapat bersifat sementara hingga syarat tersebut terpenuhi.

Dalam Pasal 66 dan Pasal 67 UU 30/2014, tindakan pencabutan atau pembatalan KTUN dapat dilakukan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi.  Pencabutan KTUN dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang menetapkan KTUN, oleh atasan pejabat yang menetapkan KTUN, atau atas perintah pengadilan. Keputusan pencabutan KTUN yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan atau atasan pejabat pemerintahan yang membuatnya dilakukan paling lama 5 hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan. Adapun keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah pengadilan dilakukan paling lama 21 hari sejak perintah pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.

Kekeliruan atau Tekanan?

Keluarnya Permendag No 45 Tahun 2020 tentang Pencabutan Permendag No 15 Tahun 2020, pada tanggal 6 Mei 2020, mengerutkan kening sebagian pelaku usaha dan civil society.  Antara bersorak dan dan bertanya.  Sebab dalam Permendag 45, yang hanya 1,5 halaman itu, menyatakan pertimbangan “untuk memberikan kepastian berusaha ekspor produk industri kehutanan dan untuk melaksanakan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa khususnya terkait dengan penggunaan Dokumen V-Legal sebagai dokumen pelengkap pabean, perlu mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan”.   Sementara pertimbangan dalam Permendag 15/20 adalah “guna memberikan kepastian berusaha untuk mendukung efektivitas pelaksanaan ekspor produk industri kehutanan dan untuk melaksanakan hasil keputusan rapat koordinasi bidang perekonomian, perlu melakukan penyederhanaan perizinan ekspor produk industri kehutanan ”.

Dua pertimbangan yang berbeda antara pertimbangan dikeluarkannya KTUN dan pertimbangan pencabutannya. Antara pemenuhan perjanjian internasional dengan penyederhanaan perizinan.   Alih-alih Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menyatakan bahwa Permendag 15 dicabut sebelum berlaku, maka persyaratan ekspor produk kehutanan kembali pada peraturan yang lama yakni Permendag No 84 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.  Tanpa penjelasan kepada publik tentang alasan pencabutan, Kemendag terkesan melempar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Memang sejak awal, reaksi yang diberikan oleh Menteri LHK cukup keras, karena keputusan itu dianggap berbahaya bagi keberlanjutan kehutanan di Indonesia. Menteri LHK (melalui surat yang sudah beredar ke kalangan dunia usaha) mengusulkan kepada Presiden tentang kebijakan yang spesifik dalam rangka dukungan peningkatan ekspor produk industri kehutanan termasuk bagi industri kecil dan menengah.  Tiga hal yang dimohonkan adalah kemudahan perolehan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan penyederhanaan perizinan yang selaras dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja; meningkatkan dukungan APBN pada pembiayaan sertifikasi dan penilaian lanjutan bagi industri kecil secara besar-besaran; dan artikulasi kebijakan dan faslitasi kemudahan ekspor bagi industri kecil dan menengah yang belum memiliki S-LK, agar tidak terhambat dalam melakukan ekspor.

Permendag 45/2020 telah membuat kekeliruan pada ketentuan mengenai pencabutan KTUN yang diatur  dalam Pasal 64 ayat (1) UU 30/2014, yakni KTUN dapat dicabut apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Yang dimaksud dengan “cacat substansi” antara lain: Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima keputusan sampai batas waktu yang ditentukan; Fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar keputusan telah berubah; Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau Keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi keputusan.

Tanpa penjelasan “cacat substansi”, tampaknya dalam pasal “Mengingat” pun hanya 1 konsideran yang dirujuk dari 14 konsideran untuk keputusan ini, yakni Peraturan Presiden No 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa (Voluntary Partnership Agreement between the Republic of Indonesia and the European Union on Forest Law Enforcement, Governance and Trade in Timber Products into the European Union) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No51).

Oleh karena itu, Permendag 45/2020 memberi kesan adanya tekanan dari Uni Eropa, bukan melihat pada 4 ranah yang akan terdampak yaitu (1) terputusnya sistem online Dokumen Perizinan, mulai dari tingkat tapak sampai dengan konsumen akhir; (2) terputusnya koordinasi dan hubungan kelembagaan terkait dengan data rekonsiliasi kayu yang dibalak sampai pajak negara yang harus dibayar; (3) terhapusnya Complain Mechanism,  sebagai instrumen tanggung-gugat dalam sistem yang terpadu; dan (4) Transparansi data dan informasi sektor kehutanan, perdagangan, perindustrian dan bea cukai. 

Cabut Satu, Tumbuh Seribu

Ditengah “gibah” keluarnya Permendag 45/20, diskusi terkait SVLK yang berlanjut hangat adalah terkait dengan substansi permohonan Menteri LHK terhadap usulan Relaksasi Kebijakan Ekonomi Sektor Kehutanan, yaitu usulan penambahan luas penampang untuk ekspor industri kayu.  Jenis kayu Merbau kebijakan eksisting maksimal diameter 10.000 mm2, diusulkan diperluas menjadi 15.000 mm2; dan kayu non-merbau kebijakan eksisting maksimal diameter 4.000 mm2, diusulkan menjadi 15.000 mm2. 

Kementerian Perindustrian (Kemperin) bereaksi dan menolak secara tertulis melalui Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian. Usulan luas penampang menjadi 15.000 mm2 itu dipandang  sangat besar, karena itu berarti dapat berupa balok ukuran : 30 cm X 5 cm atau 20 cm X 7,5 cm atau 15 cm X 10 cm, yaitu merupakan ukuran yang cukup ideal untuk memproduksi mebel dan produk-produk kayu olahan lainnya. Hal ini diperkirakan akan mengancam eksistensi industri dalam negeri, karena para pesaing terutama China, Vietnam dan Malaysia memiliki keuntungan, antara lain:(1) bunga bank di negara pesaing kurang dari 6%, sementara di lndonesia diatas 10%; (2) mesin/peralatan di negara pesaing lebih modern dan efisien, (3) ketersediaan bahan penolong, dan lain-lain. China dan Vietnam sebagian besar kebutuhan bahan baku kayu diimpor, memperluas penampang berarti memberikan peluru kepada negara pesaing;

Dari  catatan diskusi dengan pelaku industri kehutanan, pengaturan luas penampang produk kayu olahan antara lain didasari adanya kekhwatiran kayu yang di ekspor merupakan barang setengah jadi atau bahan baku yang akan di proses lebih lanjut di negara tujuan ekspor.  Pemanfaatan produk kayu olahan memerlukan ukuran yang berbeda-beda. Misalnya di Amerika Serikat ada National Design Specification yang mengatur fungsi dan ukuran (termasuk luas penampang) kayu yang digunakan dalam konstruksi dengan berbagai desain. Sehingga ukuran yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan tersebut. Dalam praktik usahanya, para eksportir harus dapat menunjukkan bukti ukuran yang ada dalam order dari buyer, atau dokumen teknis ukuran tersebut sebagai syarat dalam verifikasi ekspor produk kayu olahan.

Kemperin berkewajiban mengamankan pasokan bahan baku bagi industri (termasuk industri pengolahan kayu), melakukan hilirisasi, menciptakan nilai tambah dan multiplier efek ekonomi serta memperhatikan keresahan yang dialami para pelaku usaha hilir (terutama industri mebel dan kerajinan yang sangat banyak menyerap tenaga kerja).  Sehingga Kemperin memberikan beberapa catatan, yaitu : (1) Luas penampang diperbolehkan maksimal : 15.000 mm2; (2) Jenis kayu yang diperbolehkan: merbau dan meranti; (3) Ekspor hanya diperbolehkan, setelah terlebih dahulu dipastikan kebutuhan industri dalam negeri terpenuhi (Domestic Market Obligation); (4) Dikenakan pajak ekspor yang dapat mengurangi kecenderungan ekspor bahan baku atau produk bernilai tambah rendah; (5) Diwajibkan verifikasi produk sebelum dilakukan ekspor; dan (6) Pembatasan pelabuhan ekspor untuk memudahkan proses pengawasan.

Pengaturan luas penampang akan relevan apabila memang merupakan permintaan ketentuan di negara tujuan ekspor.  Penambahan luas penampang kayu olahan yang dapat diekspor akan meningkatkan nilai tambah kayu olahan, karena harga ekspor kayu olahan dengan luas penampang lebih besar semakin tinggi. Hal ini akan mendorong industri hulu/hilir dapat berkembang. Tentu saja hal ini diikuti dengan persyaratan dan verifikasi dalam penerapan di lapangan.

Momentum di tengah Covid-19

Sebagai sebuah sistem SVLK akan selalu mengalami guncangan dan kebocoran di sana sini.  Gairah untuk mendiskreditkan sistem ini akan datang tanpa mengenal musim dan perubahan kabinet.  Permendag 15/2020, bukan satu-satunya mesin perusak di hilir dan dimungkinkan akan ada cara lain yang akan menghambat jalannya sistem dari hulu ke hilir.  Sehingga untuk merawat dan menjaga SVLK sebagai sebuah sistem, tidak bisa diserahkan pada satu sektor di hulu ataupun di hilir.  Keberlanjutan dari SVLK adalah tanggung jawab para pihak dan menjadi role model tata-kelola bagi banyak komoditi.  Cross cutting sectoral menjadi sangat penting untuk memitigasi resiko, karena titik-titik penting dan kelemahan SVLK adalah di masing-masing sectoral.

Seperti Kelapa Sawit, perbaikan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebetulnya belajar dari proses dan mekanisme kerja SVLK. Tipologi persoalan dan kelemahan dalam tata-kelolanya sama dengan SVLK.  SVLK  di tengah Covid dan keterbukaan informasi,  komunikasi dan kebijakan Menteri sektoral menimbulkan polemik yang mempengaruhi kebijakan Presiden. “Kebocoran” komunikasi antar Menteri dalam Kabinet Jokowi, cukup meresahkan. Adanya saling respons secara tertulis antar menteri, dan suratnya tersebar ke publik, membuka ruang konflik baru dalam mencari solusi keberlanjutan usaha dan investasi kayu dan produk kayu di masa depan.

Kebijakan ISPO, sebagai mata rantai keberlanjutan di lindungi dan dikuatkan oleh Peraturan Presiden, mengapa SVLK tidak? Jadikan wabah Covid 19, sebagai hikmah untuk melindungi dan memperkuat SVLK. Rancangan Peraturan Presiden tentang SVLK? Kenapa tidak….?