Potensi Pengembangan Multi Usaha Kehutanan Melalui Komoditas Kapulaga Berbasis Agroforestry

Kapulaga

Oleh : Ahmad Luthfi Syauqi, Mochammad Hilal Rizki, dan Waya Santika. (Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, Pemenang Kedua Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer APHI)

Masih banyak masyarakat Indonesia yang mengartikan bahwa hutan adalah kawasan yang dimanfaatkan sebagai produksi kayu. Memang tidak salah ketika membicarakan hutan maka akan mengarah kepada bagaimana memanfaatkan hasil hutan kayu. Namun, dalam usaha untuk mewujudkan pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan dan berdaya saing, paradigma tersebut perlu diubah. Sektor kehutanan tidak hanya sebagai penghasil kayu saja, namun juga dapat menghasilkan berbagai sumber daya non kayu melalui skema Multiusaha Kehutanan.  Hal ini sejalan dengan Launching “Multiusaha Pengembangan HHBK dan Jasa Lingkungan” oleh Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta pada 10 Mei 2019, HHBK dan Jasa Lingkungan menjadi tulang punggung baru perekonomian Indonesia.

Peluang Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu

Di Indonesia banyak organisasi yang bergerak di sektor kehutanan. Salah satunya yaitu Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang didirikan pada 21 November 1983 yang beranggotakan 416 PBPH (APHI, 2021).  Salah satu tujuan dari didirikannya APHI ini yaitu untuk meningkatkan nilai lahan hutan dan mendorong terciptanya daya saing usaha dalam industri kehutanan. Penurunan produktivitas ekspor kayu menghambat tujuan tersebut. Data dari APHI dalam Benyamin et al. (2019) menunjukkan di tahun 2019 ekspor kayu olahan merosot hingga sekitar 4% dari hasil ekspor di tahun 2018. Hasil ekspor kayu merosot dari 12,13 miliar dolar AS menjadi 11,62 miliar dolar. Kemudian pada tahun 2020, ekspor kayu olahan kembali mengalami penurunan menjadi 11,1 miliar dolar. 

Tidak hanya itu, Direktur Eksekutif APHI menuturkan bahwa produksi kayu bulat pada 3 bulan pertama tahun 2019 menurun dari 11,75 juta m3 di tahun 2018 menjadi 10,15 juta m3.

Secara kumulatif ekspor kayu olahan Indonesia mengalami fluktuasi. Penurunan yang tajam terjadi pada periode tertentu. Pada tahun 2018 – 2020 selalu terjadi periode penurunan ekspor kayu olahan. Penurunan nilai ekspor kayu olahan akan mempengaruhi akumulasi total nilai ekspor kayu olahan tiap tahunnya. Hal ini yang dapat menghambat usaha APHI sebagai asosiasi yang bergerak di sektor hulu kehutanan dalam meningkatkan nilai produk industri kehutanan.

Namun dibalik merosotnya nilai ekspor kayu olahan, ada satu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh anggota APHI, yaitu meningkatnya permintaan rempah di pasar internasional. Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa ekspor rempah Indonesia meningkat sejak tahun 2019 sebesar 19,28%. Menurut Nurhayati et al. (2010), Indonesia sebagai salah satu eksportir utama komoditas rempah seperti pala, lawang, dan kapulaga tercatat di tahun 2016 berkontribusi mengekspor sebanyak 19.956.650 kg atau mencapai 23,70% dari total ekspor rempah di dunia. Jika mundur beberapa tahun sebelumnya, dari tahun 2006 – 2015 angka ekspor ketiga rempah tersebut mencapai 12,15-32,38 % dari total ekspor rempah Indonesia dengan rata-rata 22,15% dari pasar dunia. Peningkatan nilai ekspor rempah dan tingginya peluang ekspor rempah Indonesia ini dapat menjadi inovasi bagi anggota APHI sebagai jalan tengah untuk kembali meningkatkan nilai produksi hasil hutan.

Peluang Pemanfaatan Kapulaga Melalui Skema Agroforestry 

Upaya dalam meningkatkan nilai produksi hasil hutan non kayu, dapat dilakukan dengan penerapan Multiusaha Kehutanan, salah satunya melalui skema agroforestri. Skema agroforestri sebagai upaya untuk meningkatkan nilai lahan hutan dan nilai ekspor sebenarnya memiliki banyak pilihan komoditas untuk dikembangkan, salah satu yang berpotensi tinggi yaitu kapulaga. Permintaan ekspor kapulaga di pasar dunia terus meningkat semenjak krisis ekonomi di tahun 2011-2013. Produksi kapulaga dunia mencapai 70.000 juta ton dan nilai perdagangannya di tahun 2015 mencapai 51,76 juta ton. Harganya pun tinggi yaitu sekitar Rp45.000/kg di dalam negeri dan Rp400.000/kg di luar negeri (Hani et al., 2021).

Banyak negara pesaing seperti Guatemala, India, dan Nepal untuk pasar kapulaga. Soal ekspor kapulaga, Indonesia berada di peringkat dua setelah Guatemala. Indonesia masih tertinggal jauh dari Guatemala yang menguasai 50% ekspor kapulaga di pasar dunia (Hani et al., 2021).

Di dalam negeri luas panen kapulaga dari tahun 2014 hingga 2018 terus mengalami penurunan dari 4,23 ribu hektar menjadi 1,15 ribu hektar. Hal tersebut dikarenakan adanya konversi lahan kapulaga menjadi peruntukan lainnya. Di lain sisi, produksi kapulaga selama lima tahun terakhir menunjukkan nilai yang relatif dinamis dengan tren yang naik-turun. Produksi kapulaga sendiri selain dipengaruhi oleh luas lahan namun juga produktivitas per satuan luasan. Produktivitas kapulaga setiap tahun relatif meningkat sehingga perlunya perluasan lahan untuk tanaman kapulaga untuk meningkatkan produksi kapulaga (Hani et al., 2021).

Faktanya, di Indonesia pengembangan jenis kapulaga ini masih terpusat di Pulau Jawa. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, menunjukkan bahwa hampir semua provinsi di luar Pulau Jawa rata-rata produksinya masih di bawah 100.000 kg. Jika dibandingkan, provinsi-provinsi di Jawa yang memiliki produksi yang cukup tinggi seperti Jawa Tengah (25.035.781 kg), Jawa Barat (58.246.793 kg), Jawa Timur (3.993.998 kg), dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai (468.000 kg). 

Padahal kapulaga selain memiliki nilai ekspor tinggi juga siklus panen yang singkat. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, tanaman ini dapat dipanen hingga 4 kali dalam setahun. Apalagi terdapat momentum pasar yang juga baik, mengingat pada masa pandemi Covid-19, kebutuhan rempah sebagai peningkat daya tahan tubuh sangat tinggi. 

Namun di samping nilai ekspor kapulaga yang tinggi dengan siklus panen yang singkat, perlu adanya integrasi yang kuat antara pemerintah, pengusaha dan juga masyarakat. Sehingga kombinasi antara tanaman kayu dengan jenis rempah dapat menjadi alternatif dalam pengembangan dan pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan, khususnya dalam mendukung Multiusaha Kehutanan yang berdaya saing tidak hanya di wilayah Jawa namun juga di luar Jawa.

Konsep Agroforestri Integratif Kapulaga

Konsep agroforestri memadukan antara tumbuhan hutan dan tanaman pertanian dengan harapan terjadi keseimbangan antara tujuan ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam implementasinya diperlukan 2 faktor penting yang harus diperhatikan yaitu kesesuaian tegakan dan lahan. Kapulaga sendiri berdasarkan dari beberapa literatur dapat dikombinasikan dengan tegakan Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti Sengon, Acacia Mangium dan Eucalyptus karena tidak bersifat alelopati terhadap kapulaga (Sudomo dan Handayani, 2013).  

Skema manajemen pengelolaan agroforestri kapulaga di bawah tegakan Hutan Tanaman Industri dikombinasikan dengan sosial masyarakat setempat, skema yang dapat digunakan adalah nested management seperti penelitian yang dilakukan oleh Jelsma et al (2017), pada kelompok masyarakat pengelola sawit di Ophir, Sumatera Barat yang terbukti berhasil. Skema tersebut terbagi:

  • Level keluarga petani. Pada level ini setiap keluarga yang terdiri dari suami istri diberi lahan kelola sekitar 2 ha, dan keluarga tersebut bertanggung jawab dari aspek penanaman hingga pemanenan, begitupun dengan monitoring.
  • Level kelompok, pada level ini setiap kelompok terdiri dari 25 keluarga, sehingga setiap kelompok mengelola sekitar 50 ha lahan hutan agroforestri, setiap kelompok mempunyai koordinator yang nantinya berfungsi menjadi perwakilan pada level diatasnya.
  • Level koperasi, level ini terdiri dari sekitar 20 kelompok, dan mempunyai kisaran lahan pengelolaan sekitar 1000 ha. Pada manajemen koperasi terdiri dari ketua, dan koordinator pada bidang; perawatan sumberdaya manusia, monitoring kualitas komoditas kapulaga dan koordinator keuangan. Setiap koperasi mempunyai koordinator pada level selanjutnya.
  • Level supra koperasi, terdiri dari sekitar lima koperasi, pada level ini pihak manajemen HTI bisa mengambil alih, sub manajemen pengelolaan agroforestri bisa dibentuk dari perusahaan, pada level ini setiap perwakilan koperasi akan berkoordinasi mengenai progres kegiatan dilapangan, dan mempunyai tanggung jawab dalam menghubungkan dengan pasar, perawatan area lahan yang sifatnya masif serta bertanggung jawab mengelola prinsip bagi hasil dengan kelompok masyarakat.

Sistem manajemen tersebut dapat dikembangkan di wilayah kerja anggota APHI dengan kriteria yang memadai, seperti terdapat interaksi dengan masyarakat, tegakan HTI sesuai jika dipadukan dengan kapulaga. Sebagai langkah taktis, perlu dilakukan tindakan di lapangan seperti menganalisis kesesuaian lahan terhadap komoditas kapulaga, kemudian dipetakan lahan-lahan potensial tersebut, dan selanjutnya dilakukan pendekatan kepada masyarakat sebagai calon penggarap lahan bawah tegakan. Manfaat lain yang diperoleh dengan skema ini adalah berkurangnya angka pengangguran dan harapannya anggota APHI mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Analisis SWOT 

Berdasarkan analisis SWOT,  budidaya kapulaga yang diintegrasikan dengan tanaman kehutanan dapat dilakukan dengan strategi pengaplikasian yang tepat. Tantangan yang harus dihadapi yaitu bagaimana menghasilkan kapulaga yang berkualitas unggul sehingga diminati di pasar lokal maupun internasional serta bagaimana pelaksanaan pengelolaan kapulaga baik mulai dari penyediaan tapak, analisis naungan yang sesuai, penyediaan alat, perlakuan silvikultur, hingga pengolahan dan pemasarannya. Penyediaan alat dan sumber daya manusia yang mumpuni tentunya akan mempengaruhi hasil produksi kapulaga. Anggota APHI dapat mengajak masyarakat sebagai penggarap lahan di bawah tegakan.

Dalam menentukan sumber daya manusia untuk terlibat dalam menggarap lahan tersebut dapat mengadopsi metode Participatory Action Research (PAR). Ada 3 pilar utama metode ini meliputi riset, aksi dan partisipasi. Prinsip metode ini yaitu mengajak masyarakat untuk terlibat secara langsung dengan menggali informasi terkait kondisi masyarakat, yang kemudian melakukan aksi sebagai solusi dalam menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni. Dengan masyarakat yang ikut terlibat dalam membangun rancangan dan implementasi aksi mengacu pada dasar yang digunakan yaitu kebutuhan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang unggul (Sari et al, 2021).

Pemaksimalan kelompok dalam masyarakat dapat dilakukan seperti pembentukan kelompok tani yang dikhususkan sebagai penggarap tanaman kapulaga. Pihak anggota APHI sebagai pengelola utama perlu menyiapkan bekal bagi masyarakat calon penggarap. Bentuknya dapat berbagai macam kegiatan meliputi pelatihan persiapan lahan, penanaman kapulaga hingga nantinya pengolahan dan pemasarannya. Pendampingan, evaluasi hingga monitoring berkala tiap 3 bulan perlu dilakukan (minimal tiap 1 kali siklus panen). Harapannya terjadi hubungan timbal balik yang positif dan menciptakan integrasi kuat antara anggota APHI dengan masyarakat. Masyarakat mendapatkan lahan pekerjaan dan pemasukan pendapatan, sedangkan anggota APHI dapat memanfaatkan lahan di bawah tegakan serta meningkatkan produksi hasil hutan, tidak hanya kayu namun juga non kayu. Sistem manajemen seperti yang dijelaskan sebelumnya dapat terlaksana dengan baik jika interaksi antara masyarakat dan anggota APHI berjalan baik. Mulai dari penyiapan dan pemetaan lahan yang digunakan, batas penggunaan lahan, kesepakatan pemanfaatan lahan, aturan – aturan yang berlaku hingga sistem bagi hasil yang diterapkan. ***