‘Anak Emas’ dan ‘Anak Tiri’ Kadin

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menuntut penjelasan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia terkait dibatalkannya Pasal 1 ayat 2 huruf A Peraturan Pemerintah No.37 tahun 2007 tentang Impor dan atau Penyerahan barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA).

Langkah Kadin mengajukan uji materi ketentuan itu kepada MA dinilai hanya mengakomodasi kelompok industri tertentu yang terintegrasi, tapi mengabaikan kepentingan industri lain yang justru lebih banyak. “Asosiasi lain juga banyak yang mengajukan protes. Ini kalau diibaratkan ada anak emas dan anak tiri di Kadin,” cetus Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto di Jakarta, Jumat (5/9/2014).

Dia menyatakan, APHI telah mengirimkan surat resmi mempertanyakan alasan Kadin mengajukan uji materi Pasal 1 ayat 2 huruf a PP No.37 tahun 2007. Apalagi, pengajuan uji materi itu tidak melewati proses konsultasi dengan asosiasi anggota Kadin lainnya. Menurut Purwadi, Kadin sudah menjadwalkan untuk melakukan pertemuan dengan asosiasi-asosiasi terkait untuk membahas persoalan PP No.37 tahun 2007 dalam waktu dekat.

Buat APHI, dibatalkannya  Pasal 1 ayat 2 huruf A PP No.37 tahun 2007 jelas merugikan. Itu berarti kayu bulat yang baru saja ditebang langsung dikenakan PPN, meski belum ada pertambahan nilainya. Pengenaan PPN otomatis akan menambah beban biaya. “Padahal, harga log saat ini sudah rendah dan sulit untuk dinaikan,” keluh Purwadi.

APHI mengingatkan, secara nomenklatur, tidak tepat rasanya jika produk pertanian segar yang dikenakan PPN hanya untuk produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan saja. Sementara produk perikanan atau produk seperti diatur dalam  Pasal 1 ayat 2 huruf b dan c tetap dibebaskan, karena tidak turut diuji materi oleh Kadin.

“Apa bedanya adanya kayu yang baru tebang dengan ikan lele yang baru dipanen dan ayam yang baru dipotong. Sama-sama belum punya nilai tambah,” kata Purwadi.

Usul revisi

Sebagai solusinya, APHI mencoba mengusulkan agar payung besar pengenaan PPN, yaitu UU tentang PPN dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, direvisi. Mengacu ketentuan tersebut, semua produk memang dikenakan PPN. Hal itu menjadikan pengaturan pembebasan PPN seperti diatur PP No.37 tahun 2007 bertentangan.

“Kami usulkan kepada pemerintah agar dalam UU PPN langsung diatur bahwa produk pertanian segar seperti log yang baru ditebang bebas PPN,” katanya.

Sementara untuk solusi jangka pendek, APHI akan melayangkan permohonan kepada Kementerian Keuangan agar log, kalaupun tetap dikenakan PPN, maka besarannya adalah 0%. Pengenaan besaran pajak tersebut berlaku juga untuk industri di hilir. Besaran tersebut lebih adil, termasuk bagi industri yang terintegrasi, mengingat untuk produk pertanian yang diekspor mentah dibebaskan dari PPN.

Sementara itu, Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto menyatakan pihaknya menghormati keputusan MA yang membatalkan Pasal 1 ayat 2 huruf a PP No.37 tahun 2007. Meski demikian, dia mendukung langkah APHI dan pelaku usaha kehutanan untuk mengupayakan pembebasan PPN log kembali. Dia menyatakan, pengenaan PPN pada kayu bulat akan menambah cost dan menurunkan daya saing industri kehutanan nasional.

Dia mengingatkan, daya saing industri kehutanan perlu didongkrak jelang berlakunya perjanjian area perdagangan bebas ASEAN (MEA). “Di era perdagangan bebas, daya saing yang tinggi penting untuk bisa berkompetisi produk dari negara lain,” kata dia.

Beban yang dihadapi industri kehutanan saat ini juga diakui tidak ringan seiring masih adanya masalah mendasar. Menurut Hadi, otonomi daerah yang belum berjalan dengan tata kelola pemerintah yang baik mengakibatkan banyaknya pungutan yang harus dihadapi pelaku usaha kehutanan. “Ada retribusi, ada pungutan sukarela, ada pungutan liar dan pungutan lain yang memberatkan pelaku usaha kehutanan,” kata dia.

Hadi sendiri berjanji pihak Kemenhut akan segera bertindak cepat agar daya saing industri kehutanan tidak rontok. Dia menyatakan pihaknya akan secara aktif terus melakukan relaksasi peraturan kehutanan. “Agar bisa mengkompensasi cost yang dikeluarkan akibat pengenaan PPN,” kata Hadi. Sugiharto

Petani pun Desak Pencabutan

Diberlakukannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% atas barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan juga menuai protes di kalangan petani. Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) meminta putusan MA dicabut. Ketua APKAI, Arif Zamroni mengatakan, PPN tersebut sangat memberatkan dan akan mematikan petani.

“Kebijakan ini jelas sangat memberatkan kami para petani. Apalagi, putusan sudah diberlakukan mulai 22 Juli 2014 tanpa adanya proses sosialisasi,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Desakan pencabutan, kata dia, juga diutarakan oleh Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI), dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI). Hal ini mengingat kondisi petani di Indonesia, khususnya di Jatim, masih jauh dari ideal. Produktivitas komoditas pertanian yang ditanam masih rendah.

Untuk komoditi kakao, ujarnya, petani masih bertahan karena kakao hanya menjadi tanaman sambilan dan bukan komoditas utama. Kalau putusan itu diterapkan, lanjutnya, tentu akan mematikan petani dan membuat petani tidak akan bertahan untuk terus bertanam.

Saat ini, lahan kakao seluruh Indonesia mencapai 1,6 juta hektare (ha). Sementara di Jatim mencapai 28.000 ha dengan produksi kakao siap jual hanya sebesar 400 kg hingga 600 kg/ha/tahun. Padahal, di Sumatra Barat, produktivitas bisa mencapai 4 ton/ha/tahun.

Sementara di hilir, produsen produk kakao juga mulai mengeluhkan pasokan bahan baku dari pengepul kepada kalangan industri. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Sindra Wijaya mengatakan, sejak keputusan MA, banyak pedagang yang sementara waktu menghentikan penjualan biji kakao.

“Para pedagang cukup banyak yang mengirimkan SMS, bahwa mereka untuk sementara menghentikan dulu pembelian biji kakao. Artinya, mereka masih bingung. Mereka juga tidak mau nanti ada masalah dengan pajak,” kata Sindra.

Sindra menuturkan, penghentian pembelian biji kakao dari pedagang ke petani cukup banyak terjadi. Padahal, menurut Sindra, industri pengolahan biji kakao tidak dapat bertahan lama karena stok yang dimiliki rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar satu bulan.

Dengan adanya pengenaan PPN ini, industri pengolahan kakao berada di posisi yang sulit. Pasalnya, bila untuk mendapatkan bahan baku biji dari dalam negeri terkena PPN 10%, untuk impor mereka juga terkena pajak yang lebih tinggi lagi yakni 17,5%, terdiri dari PPN 10%, Bea Masuk (BM) 5% dan PPh (Pajak Penghasilan) sebesar 2,5%. Elsa Fifajanti