Selain Gapki, respons terhadap kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan penilaian Proper di lahan gambut juga datang dari pelaku pengusahaan hutan. Lewat Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), sejumlah masukan disampaikan agar kebijakan tersebut tak semakin memberatkan langkah bisnis kehutanan untuk bangkit.
Salah satu saran penting yang disampaikan APHI adalah pengintegrasian Proper dengan penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) yang memang selama ini sudah diwajibkan kepada pemegang izin Hutan Tanaman Industri.
“Proper ini menekankan pada pengelolaan lingkungan, yang sebenarnya masih menjadi bagian dari penilaian kinerja PHPL. Oleh karena itu, kami mohon agar kriteria Proper dapat disinkronkan dengan penilaian PHPL,” kata Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto.
Seluruh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) memang diwajibkan untuk mengikuti audit dalam rangka sertifikasi PHPL. Dalam proses audit, penilaian PHPL sudah mencakup aspek prasyarat, aspek produksi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Sertifikasi PHPL ini menjadi bagian tak terpisahkan dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sudah menorehkan catatan emasnya dengan adanya pengakuan resmi dari Uni Eropa dan sejumlah negara lainnya.
Sertifikasi PHPL sangat bisa dipertanggungjawabkan. Pasalnya, lembaga sertifikasi yang mengaudit adalah lembaga yang independen. Jadi, dalam melaksanakan auditnya bebas dari campur tangan pemerintah, apalagi pemegang konsesi hutan. Lembaga sertifikasi independen itu diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sertifikat PHPL yang sudah diperoleh pemegang konsesi pun setiap tahun dilakukan penilikan, demi memastikan tidak ada pelanggaran.
Purwadi juga menjelaskan, sinkroninasi audit PHPL dan penilaian Proper sangat diperlukan untuk mencegah hasil yang bertentangan. Misalnya, ada perusahaan HTI yang memperoleh predikat ‘Baik’ saat audit PHPL, namun kemudian jeblok dan hanya memperoleh peringkat merah, bahkan hitam dalam penilaian Proper. ”Citra perusahaan itu bisa jatuh karena Proper yang buruk, meski sudah mengantongi sertifikat PHPL,” katanya.
Demi sinkronisasi, Purwadi mengusulkan penilaian Proper dijadikan bagian dari audit PHPL. Tambahan kriteria ini memang akan membuat audit PHPL semakin sulit. Namun, justru hasilnya akan lebih kuat dan solid karena memasukan kriteria penilaian Proper.
Tata kelola air
Sementara soal tata kelola air, APHI mengusulkan agar lokasi pemantauan muka air gambut ditentukan dengan mempertimbangkan homogenitas lahan. Selain itu, penempatan lokasi pemantauan mengacu pada wilayah pengelolaan dengan topografi yang serupa. Dengan pertimbangan tersebut, maka jumlah lokasi pemantauan bisa lebih sedikit, meski tetap sama efektifnya.
Dalam draft Peraturan Menteri LHK tentang Pengelolaan Air Ekosistem Gambut diungkapkan bagaimana tata cara penentuan titik pemantauan. Berdasarkan draft Permen LHK itu, setiap konsesi harus dibagi blok pengelolaan yang luasnya sekitar 30 hektare (ha). Kemudian, tetapkan jumlah lokasi pemantauan, yaitu 15% dari total jumlah blok pengelolaan yang ada. Selanjutnya, sebar lokasi pemantauan secara merata di seluruh konsesi. Di lokasi pemantauan itu ditempatkan titik pemantauan muka air gambut yang mewakili bagian hulu, tengah dan hilir.
Dengan tata cara tersebut, maka jika ada konsesi yang luasnya 10.000 ha, dia minimal harus memiliki 150 titik pemantauan air gambut. Jelas bukan jumlah sedikit, dan pasti akan membuat penanggungjawabnya kerepotan.
Menurut Purwadi, lebih baik untuk pengelolaan konsesi di gambut dibagi dalam wilayah pengelolaan yang dibentuk berdasarakan topografi yang serupa. Selanjutnya, pada bagian hulu, tengah dan hilirnya dijadikan lokasi pemnatauan. Baru kemudian di lokasi pemantauan dibuat titik pemantauannnya. “Kalau homogenitasnya tinggi, jumlah sampel kan bisa dikurangi,” kata Purwadi.
Penggunaan faktor homogenitas terkait pengelolaan hutan lestari sesungguhnya sesuatu yang lazim. Misalnya saja dalam penentuan jatah tebangan di plot sampel permanen. Karena homogen, maka sampel yang buat hanya 1% dari populasi.
APHI juga berharap agar tata cara pemantauan yang sudah disiapkan diuji coba dulu di lapangan sebelum benar-benar diundangkan dalam Permen LHK. Ini untuk mencari kelemahan tata cara yang dipersiapkan untuk kemudian dipastikan bisa operasional di tingkat tapak.
Kaji ulang
Sementara itu pakar gambut IPB, Dr. Basuki Sumawinata menyatakan, pemerintah sudah seharusnya mengkaji ulang soal penetapan batas muka air gambut yang paling rendah 0,4 meter dari permukaan gambut. Menurut dia, ketentuan itu tidak tepat karena kerusakan gambut tak bisa hanya sekadar diukur dari tinggi rendahnya muka air.
Dia juga mengingatkan, jika PP 71 tahun 2014 diimplementasikan akan menemui kesulitan di lapangan. Pasalnya, banyak kawasan gambut yang telah beralih fungsi menjadi permukiman dan perkotaan.
Padahal, tambahnya, mengacu ketentuan tersebut, sekitar 30% dari kawasan hidrologis gambut langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung, yang terlarang untuk kegiatan budidaya.
Basuki mengungkapkan, lahan gambut seperti di pesisir Sumatera Selatan dan Jambi adalah lokasi transmigrasi yang berkembang dengan baik. Masyarakat di sana membudidayakan hortikultura dan perkebunan. “Di sana pun tidak ditemukan subsidensi berlebihan seperti yang dikhawatirkan,” katanya. Sugiharto
Indraningsih: Respons Pelaku Usaha Sangat Positif
Masukan sudah disampaikan oleh pemegang konsesi perkebunan dan kehutanan, namun Kementerian LHK sepertinya bakal maju terus pantang mundur dan belum akan mengubah jauh kebijakannya akan penilaian Proper gambut dan tata kelola air di gambut.
Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Wahyu Indraningsih mengklaim, para pelaku usaha bereaksi positif dalam pembahasan penilaian Proper dan draft Permen LHK Pengelolaan Air Ekosistem Gambut. “Respons pelaku usaha sejauh ini sangat positif,” katanya.
Dia bahkan berani menyebut, jika ada memberi respons negatif, bahkan sampai menolak langkah pemerintah untuk melaksanakan penilaian Proper, hanya segelintir pelaku usaha. “Mereka yang menolak tidak mewakili pelaku usaha lain,” katanya.
Indraningsih mengungkapkan, Kementerian LHK sejatinya terbuka dengan masukan dan kritik membangun. Itu sebabnya, komunikasi terus dibangun dengan para pelaku usaha. Masukan dari pelaku usaha menjadi elemen penting untuk perbaikan draft Permen LHK tentang Pengelolaan Air Ekosistem Gambut.
Indraningsih juga menenangkan pelaku usaha jika nanti hasil penilaian Proper ternyata bertolak belakang dengan hasil audit pengelolaan kelestarian lingkungan seperti PHPL dan ISPO. Menurut dia, kriteria penilaian Proper berbeda dengan PHPL dan ISPO, sehingga pelaku usaha bisa menjelaskan kepada publik tentang hasil penilaian yang diperolehnya.
“Karena kriteria dan indikatornya berbeda, ya jelaskan saja jika ada yang bertanya soal hasil penilaian yang bertolak belakang,” katanya. Sugiharto