Apkindo Tagih Piutang ke Pemerintah Rp2,1 Triliun

Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) akhirnya buka suara menagih piutang ke pemerintah. Tagihan sebesar Rp2,1 triliun itu berasal dari jutaan dolar AS simpanan pengusaha kayu nasional di Bank Umum Nasional (BUN), yang dibekukan pemerintah saat krisis moneter 1998. Sampai kini, Kementerian Keuangan belum membayar, meski sudah ada kesepakatan mencicil selama lima tahun.

Ada yang istimewa usai Bambang Soepijanto terpilih kembali menjadi ketua umum Apkindo periode 2023-2028 dalam Munas IX Apkindo di Jakarta, akhir November lalu. Mantan Dirjen Planologi Kehutanan ini tiba-tiba buka suara tentang adanya piutang asosiasi ke pemerintah yang tak kunjung dibayar. Nilainya mengejutkan: Rp2,1 triliun!

Besarnya piutang itu berasal dari nilai pokok deposito berjangka dan akun giro Apkindo di Bank Umum Nasional (BUN) sekitar 85 juta dolar AS. Dana itu ikut membeku ketika BUN dijadikan bank beku operasi (BBO) pada 1998. Jika dihitung dari pembekuan BUN, maka selama 25 tahun uang Apkindo ikut dibekap pemerintah, tak kunjung dicairkan. Itu sebabnya, jumlah piutang pun membengkak karena ada perhitungan bunga menjadi sekitar 144 juta dolar AS.

Apkindo juga tidak diam, rupanya. Jalur hukum ditempuh dengan menggugat ke pengadilan agar pemerintah membayar. Pengadilan pun mengabulkan dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) sejak tahun 2007 — ketika upaya luar biasa pemerintah melalui Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung ditolak.

Baca juga:

Dari Mana Datangnya Piutang Rp2,1 Triliun?

Bambang Soepijanto: Tahun 2024, Cicilan Pertama Harus Diterima

Sejauh ini, kata Bambang, sudah ada kesepakatan antara Apkindo dengan Kementerian Keuangan tahun 2016. Pemerintah akan mencicil piutang Apkindo selama lima tahun (2016 sampai 2020) sebesar 28 juta dolar AS/tahun. Sayangnya, sampai kini, janji tak pernah terealisasi. “Pemerintah punya kewajiban, tolong dirampungkan. Kami juga tidak meminta pembayaran sekaligus karena APBN juga punya kewajiban yang lain,” ujar Bambang, Selasa (28/12/2023). Dia berharap, pada triwulan I-2024 sudah ada clearance dari Kemenkeu bahwa pembayaran 28 juta dolar AS bisa dilakukan.

Praktisi hukum yang juga direktur eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan, Sadino mendukung tuntutan Apkindo. “Menteri Keuangan harus bayar karena ini sudah putusan hukum dan sudah berkekuatan hukum tetap. Pemerintah yang diwakili Menkeu harus menjalankan putusan itu. Caranya tinggal alokasikan anggaran yang diusulkan di RAPBN, dan bayarnya pun bisa saja diangsur,” katanya, seraya menyebut pemerintah harus memberi contoh mematuhi hukum, apalagi putusan pengadilan. “Jangan hanya rakyat yang harus patuh hukum,” cetusnya.

Sadino mengaku memang ada kesulitan tersendiri melawan negara karena tidak ada paksaan. “Karena aset negara tidak boleh jadi obyek sita yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Kalau menkeu tidak mengusulkan bayar, ya tidak dibayar,” paparnya.

Untuk itu, dia mengusulkan perlu ada terobosan demi kepatuhan hukum pemerintah. “Mungkin pelaksanaan putusan pengadilan bisa lewat kementerian, misalnya kantor Menko Polhukam. Sehingga usulan penganggaran bisa dari anggaran kementerian polhukam,” paparnya. AI

2 COMMENTS

Comments are closed.