Arab Saudi Gagalkan Kesepakatan Bahan Bakar Fosil G20

Foto: Reuters

Arab Saudi bersama sejumlah negara berhasil menghalangi langkah negara G20 untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Keberhasilan ini jadi sinyal ketegangan global terbaru mengenai masa depan peranan minyak, gas dan batubara di saat dunia sedang bergulat menghadapi perubahan iklim.

Negara-negara G20 merilis sebuah ikhtisar dokumen pada Sabtu (22/7) setelah beberapa hari terjadi diskusi panas yang digelar di Goa, India. Dikatakan dalam dokumen itu, sejumlah negara telah menekankan perlunya memangkas kembali penggunaan bahan bakar fosil tanpa menahan emisi “sesuai dengan kondisi masing-masing negara.” Tapi yang lainnya “punya pandangan berbeda mengenai masalah itu.”

Negara-negara itu sebaliknya malah menginginkan fokus pada pengembangan teknologi untuk menangkap emisi gas rumah kaca.

Beberapa orang yang mengetahui perundingan ini mengatakan, Arab Saudi merupakan negara paling depan menentang penghapusan bahan bakar fosil, dan mereka didukung oleh beberapa negara lainnya.

Dalam beberapa perundingan sebelumnya, Rusia dan China diketahui sebagai dua negara yang konsisten menentang langkah-langkah tersebut, dan mereka menghalangi lahirnya kesepakatan dalam pertemuan puncak iklim (COP-27) yang berlangsung di Mesir tahun lalu.

Negara-negara kaya yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (G7) sudah sepakat untuk mempercepat penghapusan bahan bakar fosil.

Pertemuan pada Sabtu itu sendiri juga gagal mencapai kemajuan dalam hal penetapan sasaran global untuk pengembangan energi terbarukan.

Kebuntuan terjadi di saat negara-negara di seluruh dunia kini sedang mengalami cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas dan banjir yang parah.

Uni Eropa (UE) merupakan pendukung utama berbagai upaya untuk mengenyahkan bahan bakar fosil — yang bertanggung jawab atas tiga-perempat sumber emisi gas rumah kaca global.

Alden Meyer, rekanan senior di lembaga konsultan E3G mengatakan, “terjadi perpecahan yang tajam” dalam pertemuan G20 “terkait perlunya untuk dilakukan transisi yang fair, cepat dan layak dari bahan bakar fosil.”

“Dengan suhu yang mencapai rekor setiap harinya di seluruh dunia serta dampak perubahan iklim yang makin sulit dikendalikan, maka dunia harus mendengar seruan keras untuk segera bertindak,” katanya seperti dikutip Financial Times. “Jika tidak, maka apa yang kita dapatkan adalah kekecewaan.”

Berbicara di akhir pertemuan, Menteri Energi India, RK Singh mengakui bahwa pengurangan produksi bahan bakar minyak merupakan “titik sulit” dalam pembahasan. Menurutnya, sebagian besar anggota G20 mendukung pengurangan produksi bahan bakar fosil dan itu merupakan “konferensi yang besar”.

India sendiri berkomitmen mencapai emisi net zero tahun 2070, sedangkan China telah menetapkan tahun 2060.

Sebuah laporan yang disiapkan untuk India selaku Ketua G20 menyebutkan, biaya transisi energi secara global diperkirakan mencapai 4 triliun dolar AS/tahun dan menekankan perlunya pembiayaan untuk negara-negara berkembang. Hal ini memang menjadi tuntutan utama PM India Narendra Modi.

Gagalnya pencapaian kesepakatan kemungkinan bakal makin menekan Uni Emirat Arab (UEA) untuk makin mengintensifkan diskusi-diskusi dengan para menteri dan para pemimpin dunia. UEA akan jadi tuan rumah COP-28 pada Desember.

Awal bulan Juli ini, Sultan al-Jaber selaku calon ketua COP-28, telah memaparkan visinya untuk pertemuan puncak tersebut, yang fokus pada pembiayaan iklim untuk negara-negara miskin guna membantu mereka mengatasi konsekuensi pemanasan global, serta perluasan energi terbarukan dengan cepat.

Dia juga telah menetapkan sasaran pengurangan penggunaan bahan bakar fosil yang telah diproduksi tanpa harus menangkap emisinya “pada pertengahan abad ini”. Target ini lebih maju ketimbang target sebelumnya.

Emisi global perlu dipangkas sebanyak 43% pada tahun 2030 untuk menghentikan kenaikan suhu di atas target 1,50 Celsius di atas era pra-revolusi industri — ambang batas yang diperingatkan oleh ilmuwan berpotensi terjadinya perubahan permanen terhadap Bumi dan memiliki konsekuensi menghancurkan untuk penduduk dunia, demikian menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Namun, suhu dunia sendiri sudah naik menuju kisaran angka 2,40C sampai 2,60C pada tahun 2100, kata Program Lingkungan PBB (UNEP). Suhu sendiri sudah meningkat sedikitnya 1,10C. AI