Struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang sudah gemuk akibat penggabungan ternyata makin tambun dengan sejumlah pos baru, namun nonstruktural. Setidaknya, ada puluhan orang penasehat senior menteri (PSM) dan tenaga ahli menteri (TAM). Dari mana Kementerian membayar honor mereka dan apa manfaat keberadaan tenaga yang mayoritas mantan pejabat itu?
Gabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan memang membuat struktur organisasi yang gemuk. Berdasarkan Perpres No. 16 Tahun 2015 tentang Kementerian LHK, pasal 4, ada 13 pejabat eselon I yang terdiri dari sekjen, ditjen, kepala badan dan itjen, plus 5 orang staf ahli menteri. Di samping itu, sesuai Perpres No.7 tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara, Menteri LHK juga mengangkat tiga orang staf khusus, yang tugasnya memberi saran dan pertimbangan ke menteri dan bukan merupakan bidang tugas unsur-unsur organisasi kementerian.
Namun, dengan jumlah anak buah yang sudah besar itu, ternyata Menteri LHK Siti Nurbaya masih merasa kurang. Setidaknya, ada 9 orang yang diangkat menjadi penasehat senior menteri (PSM). Selain mantan pejabat kehutanan seperti Wahyudi Wardojo dan Efransjah, ada juga sosiolog UI Dr Imam B Prasodjo, Guru besar IPB Profesor Hariadi Kartodiharjo, pengamat kebijakan publik Dr Agus Pambagio, Dr Suryo Adiwibowo, bahkan aktivis lingkungan, Chalid Muhammad.
Cukup? Belum, ternyata. Menteri diketahui juga mengangkat sejumlah orang, baik orang luar maupun PNS dan pensiunan, sebagai tenaga ahli menteri (TAM). Untuk posisi ini, jumlahnya juga tak tanggung-tanggung: 17 orang. Berbeda dengan PSM, TAM masuk dalam buku data dan informasi pejabat LHK.
Menteri Siti Nurbaya, yang dikonfirmasi menyatakan, PSM dibutuhkan untuk mengubah cara kerja birokrasi Kementerian LHK. Loh? Maksudnya? Kementerian Kehutanan ternyata sejak dulu dicap sebagai bagian dari mafia hutan dan perizinan. “Kritik yang dialamatkan kepada Kementerian ini adalah eksklusif, tidak terbuka. Bahkan disebut sebagai mafia hutan, mafia perizinan,” kata dia, Jumat (19/1/2018). Itu sebabnya, untuk mengubah stempel buruk itu adalah dengan mendengar apa yang dikatakan oleh ‘orang luar’.
Yang jadi soal, dari mana dana untuk membayar honor mereka, mengingat jabatan PSM ataupun TAM berbeda dengan staf khusus, misalnya, yang punya payung hukum? Ini yang luar biasa. Menteri menegaskan dana diambil dari UNDP (Program PBB untuk Pembangunan). “Anggaran saya carikan dari luar, UNDP. Tapi mereka tidak melapor ke UNDP,” ujar Menteri. Kabarnya, pembebasan pembuatan laporan ini membuat marah UNDP karena mereka dibayar sebagai expert alias pakar dan berarti harus buat laporan.
Yang menarik, PSM ini juga kerap dipilih menjadi panitia seleksi (Pansel) untuk menguji calon pejabat eselon I dan II Kementerian LHK. Dengan posisi strategis tersebut, tidak aneh jika ada pihak yang merasa asing ikut membentuk kebijakan lingkungan dan kehutanan nasional. “Jangan-jangan mereka menjadi antek asing. Jika kemudian ditugaskan untuk merekrut pejabat eselon I dan II, apakah tidak perlu dipertanyakan, jangan-jangan mewakili negara pemberi honor,” kata pengamat hukum lingkungan dan kehutanan, Dr Sadino. AI