Banjir Raw Sugar, Gula Petani Tak Terserap

Musim Giling masih berlangsung. Harusnya, saat inilah petani tebu merasakan manisnya produksi tebu yang ditanamnya. Namun, apa lacur, gula petani tak terserap akibat harga gula di pasaran anjlok. Tudingan mengarah pada impor raw sugar beberapa pabrik gula (PG) yang merembes ke pasaran.

Direktur Utama PT Gendis Multi Manis (GMM), Kamajaya mengatakan, anjloknya harga gula petani akibat rembesan impor gula rafinasi. Angkanya pun cukup fantastis, mencapai 1 juta ton. Rembesan ini terjadi di Jawa Barat bagian Selatan, Bandung, Makasar hingga Medan.

“Akibat impor rafinasi yang melebihi kebutuhan menyebabkan rembesan gula sampai 1 juta ton. Misalnya saja di Medan, ada PG Rafinasi yang baru berdiri 1 tahun dikasih 400 ribu ton, padahal kan pasar Medan terbatas, dia mau jual kemana,” katanya pada Agro Indonesia di Jakarta.

Lebih lanjut Kamajaya mengatakan, kekecewaannya pada sikap pemerintah yang dianggap tak pro petani. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang memberikan izin impor jor-joran pada PG Rafinasi. Padahal, produsen gula rafinasi tidak cukup memberikan andil bagi petani tebu rakyat karena tidak melakukan penyerapan bahan baku.

“Kalau PG Rafinasi yang minta impor, langsung dikasih. Sementara kalau PG tebu yang minta susah sekali. Padahal, kalau PG rafinasi itu kan hanya memurnikan saja, jadi lebih gampang dan murah. Sementara kalau gula petani nggak laku kan nggak bisa dijual,” jelasnya.

Dia menyatakan alasan PG tebu meminta impor raw sugar dimaksudkan agar operasional pabrik menjadi semakin optimal karena untuk mengisi idle capacity pabrik.

Kama juga mempertanyakan alasan pemerintah yang menganggap gula petani kurang bagus untuk industri. Pasalnya, jauh sebelum ada istilah pabrik gula rafinasi dan pabrik gula tebu, industri sudah menggunakan produk gula petani.

“Beberapa industri di Indonesia seperti Coca Cola atau Indomilk — yang sudah hidup 50 tahun lalu di Indonesia — mereka sudah pakai gula petani. Karena saat itu kan belum ada pembedaan antara gula industri dan gula petani,” paparnya.

Kamajaya berharap kebijakan impor raw sugar tidak hanya diberikan pemerintah kepada produsen gula rafinasi saja, tetapi juga diberikan pada pabrik gula tebu.

“Kalau saya mintanya, ya jangan dibedakan antara gula rafinasi karena hanya di Indonesia yang ada pebedaan antara gula rafinasi dan tebu. Di luar negeri bahkan raw sugar dikonsumsi langsung. Saya juga meminta agar ada kesepakatan di mana jika PG rafinasi mau impor raw sugar, maka ia harus mau menyerap gula petani dulu, besarannya bisa  50: 50. Bayangkan saja, kalau rafinasi dikasih impor raw sugar 3 juta ton sementara kewajiban serap petani hanya 8% saja. Sementara kalau PG tebu mau minta jatah raw sugar 25.000 ton, harus menyerap 25.000 ton juga. Harusnya kan setara,“ katanya.

Surplus

Pada kesempatan terpisah, Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian, Nurnowo Paridjo mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum mengabulkan permintaan beberapa PG tebu untuk melakukan impor raw sugar.

Dia beralasan, izin impor raw sugar belum keluar karena pemerintah melihatnya berdasarkan berdasarkan neraca gula. Saat ini kondisi neraca gula sedang surplus.

“Neraca saat ini surplus. Kalau kebutuhan 200.000/bulan, kita masih bisa sampai Desember. Tahun ini musim giling  ada tambahan produksi 2,7 juta ton. Rendemennya rata-rata 7. Stok tahun lalu pada akhir 2013 ada 600.000-700.000 ton. Kalau ditambah produksi saat ini, akhir tahun 2014 bertambah jadi 1 juta ton,” jelas Nowo.

Saat ini, kondisi gudang PG Tebu masih melimpah. Hal ini membuat gula petani tertahan karena harganya jeblok, yakni di bawah HPP Rp8.500/kg. Padahal, tahun lalu, harga gula masih Rp9.000/kg. Jadi, petani masih piker-pikir untuk melepasnya, karena kalau dihitung-hitung mereka masih merugi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Tito Pranolo mengatakan, sampai saat ini stok gula yang ada di pabrik gula memang masih tinggi karena barang tidak bisa keluar. Tidak keluarnya barang (gula) dari gudang akibat harga turun.

Terkait permintaan pabrik gula untuk diberi izin impor raw sugar karena ada beberapa PG tebu yang mengalami idle capacity, di mana kalau mau giling yang efisien dan murah maka mereka harus menggiling raw sugar bersama-sama dengan ampas tebu. Permintaan PG tebu itu terkait pasokan tebu yang kurang, padahal biaya produksi tinggi.

“Biar kapasitasnya naik, maka mereka minta raw sugar dan itu bisa efektif kalau digiling bersamaan dengan tebu karena ampas tebu masih ada. Sementara kalau impornya dikasih setelah masa giling, maka akan sama mahalnya karena jika sudah lewat musim giling harus pakai solar,” katanya.

Jika pabrik gula tidak diberikan izin impor raw sugar, maka akan berpengaruh pada produksi gula yang diprediksi turun. Sumbangan raw sugar itu antara 400.000-500.000 ton dari total produksi gula tebu yang sebesar 2,9 juta gula kristal putih (GKP).

Tito mengatakan, harga gula tidak naik karena kebijakan Kementerian Perdagangan. Pada tahun 2007, Kemendag menugaskan Sucofindo dan Surveyor Indonesia untuk mensurvey kebutuhan gula untuk industri. Hasilnya, proyeksi untuk kebutuhan gula industri tiap tahun naik sebesar 5%.

Dan untuk tahun 2013-2014, kebutuhan industri gula sebesar 2,2 juta ton. Adapun impor raw sugar tahun ini 2,8 juta ton, sehingga ada selisih kelebihan impor sebesar 600.000 ton. Kelebihan impor inilah yang masuk ke pasar.

“Tahu sendiri kan kalau raw sugar impor itu harganya lebih murah dan ini yang diminati pasar. Solusinya, impor raw sugar diberikan sesuai dasar kebutuhan saja, bukan berdasarkan kapasitas pabrik. Kalau kapasitas pabrik itu kan sekitar 4 jutaan. Kalau mau, ya kasih saja berdasarkan kebutuhan. Kalau dikasihnya 2,2 juta ton, pasti stok nggak akan menumpuk, sehingga masalah harga ini nggak berarut-larut,” papar Tito.  E. Y Wijianti

Rafinasi Kini Punya 11 Pabrik

Munculnya industri gula rafinasi di dalam negeri berkaitan dengan besarnya kebutuhan bahan baku berupa gula rafinasi industri makanan dan minuman. Terlebih hingga tahun 1996, kebutuhan gula rafinasi nasional seluruhnya harus diimpor.

Besarnya kebutuhan gula rafinasi itu akhirnya mengundang sejumlah investor membangun industri gula rafinasi. Dengan berbagai kemudahan yang diberikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), industri gula rafinasi mulai bermunculan. Hingga awal 2013, jumlah produsen  gula rafinasi yang ada di Indonesia dan bernaung dalam wadah Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) mencapai delapan buah, yang tersebar di Banten, Cilacap hingga ke Makassar.

Jumlah pemain di industri gula rafinasi kemudian bertambah lagi setelah tahun 2013 tiga pabrik gula rafinasi, yaitu PT Berkah Manis Makmur yang berdiri di Banten, PT Andalan Purindo di DKI Jakarta, dan PT Medan Sugar Industri di Medan, Sumatera Utara, mulai beroperasi.

Walaupun jumlah pemainnya bertambah, namun kuota impor  raw sugar — yang merupakan bahan baku industri gula rafinasi — diberikan pemerintah tetap berdasarkan pada kebutuhan gula rafinasi oleh industri makanan dan minuman di dalam negeri. Berdasarkan perhitungan pemerintah, kuota impor  raw sugar pada tahun ini mencapai 2,8 juta ton.

Untuk mencegah terjadinya rembesan gula rafinasi di pasar umum, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, pemberian izin impor raw sugar hanya diberikan pemerintah jika industri gula rafinasi itu sudah memiliki kontrak pembelian dengan industri makanan dan minuman.

Selain itu, Kemendag melalui surat Menteri Perdagangan Nomor 915/M-DAG/SD/8/2014 tanggal 8 Agustus 2014 telah menginstruksikan kepada 11 Importir/Produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang telah mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dengan total sejumlah 502,3 ribu ton hanya diperbolehkan menyalurkan secara langsung GKR kepada industri makanan dan minuman dan tidak menggunakan jasa distributor.

Selain itu, Kemendag juga menghimbau para distributor agar sisa stok GKR yang masih berada di bawah penguasaan para distributor tidak dijual ke pasar konsumsi dan hanya disalurkan kepada industri pengguna. B. Wibowo