Pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk melakukan impor daging secondary untuk menstabilkan harga menjelang Lebaran. Volume yang akan diimpor sebanyak 1.000 ton.
Direktur Pengadaan Bulog, Wahyu mengatakan, jangan dipermasalahkan Bulog yang ditunjuk untuk melakukan impor daging, tapi hendaknya dilihat penugasan ini untuk menstabilkan harga. “Fungsi Bulog salah satunya adalah untuk menstabilkan harga,” katanya kepada Agro Indonesia.
Dia mengakui tidak mau mengulangi pengalaman pahit yang pernah dialami Bulog ketika ditunjuk melakukan impor daging dalam rangka stabilisasi harga beberapa tahun lalu. “Kami tidak akan mengulangi pengalaman yang dulu pernah terjadi di Bulog. Operasi pasar akan kita lakukan di tempat strategis yang langsung kepada konsumen,” tegasnya.
Seperti diketahui, pertengahan tahun 2013, Bulog ditugaskan pemerintah untuk mengimpor daging sapi guna membantu menstabilkan harga daging sapi di dalam negeri yang saat itu naik cukup tinggi. Sebanyak 3.000 ton daging beku dari Australia diimpor Bulog. Namun, sayangnya, daging sapi yang diimpor Bulog tersebut tidak bisa didistribusikan ke pasar secara cepat karena harganya dinilai masih mahal.
Sebanyak 280 ton daging sapi yang diimpor Bulog terpaksa disimpan di cold storage dalam waktu cukup lama dan baru bisa dijual ke pasar menjelang hari Raya Idul Fitri tahun 2014.
Sekarang, kata Wahyu, meskipun waktunya sangat mepet, namun Bulog berusaha akan menjalankan penugasan pemeritah itu dengan baik. “Kami sudah menjalin kerjasama dengan PT Berdikari untuk memasok daging untuk kebutuhan operasi pasar (OP),” katanya.
PT Berdikari sendiri merupakan BUMN yang bergerak di bidang peternakan sapi. Salah satu lokasi peternakan PT Berdikari ada di Sulawesi Selatan. Namun, informasi yang diterima Agro Indonesia, usaha peternakan Berdikari sendiri tidak bagus karena sapi mereka banyak yang mati.
Untuk operasi pasar, PT Berdikari akan memasok Bulog sebanyak 200 ton. Sementara rencana impor daging sapi jenis secondary diperkirakan masuk ke tanah air sekitar 10 Juli 2015 sebanyak 200.000 ton. “Memang sudah terlalu mepet dengan Lebaran, tapi kami bisa dipasok PT Berdikari untuk kebutuhan operasi pasar,” katanya.
Wahyu sendiri mengakui OP daging yang dilakukan Bulog untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat menjelang lebaran. Harga jual daging ini tidak lebih dari Rp90.000/kg. Sementara harga daging di pasar sudah mencapai Rp100.000-an/kg.
Selalu salah
Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring mengatakan, pemerintah selalu salah mengambil kebijakan. Impor daging yang ditugaskan kepada Bulog juga salah satu kebijakan yang keliru, karena waktu pelaksanaanya terlalu mepet.
“Kapan lagi mau impornya? Butuh waktu yang cukup lama kalau mau impor daging. Kalau dagingnya masuk tepat hari Lebaran, artinya, kebijakan itu tidak berdampak terhadap stabilitas harga daging dalam negeri,” katanya.
Tapi yang dipermasalahkan Aspidi bukan soal Bulog yang ditunjuk menjadi importir secondary cut, melainkan kebijakan Kementerian Pertanian yang tahun lalu menutup impor secondary cut dengan alasan daging jenis ini sudah tersedia cukup dalam negeri.
“Dengan dibukanya impor secondary cut membuktikan bahwa kebijakan Kementan yang terdahulu salah. Salah karena terbukti Bulog diminta impor secondary cut,” tegasnya.
Menurut Thomas, jika pemerintah menunjuk Bulog untuk impor, semestinya dilakukan dua bulan lalu. Jika sekarang penugasannya, kapan lagi Bulog akan melakukan operasi pasar? “Saya tidak yakin daging impor Bulog bisa menstabilkan harga, karena tidak ada waktu lagi, kalau Bulog mau operasi pasar. Kecuali kalau Bulog menggunakan daging lokal,” tegasnya.
Dengan demikian, terbukti bahwa penutupan impor secondary cut oleh Dirjen Peternakan yang lama adalah salah. “Kalau daging sekunder tersedia cukup, mestinya pemerintah tidak perlu impor lagi,” katanya.
Persoalannya, bagaimana pertanggung-jawaban pemerintah jika memang salah mengambil kebijakan? Dulu, kata Thomas, Menteri Pertanian Suswono periode 2009-2014, diakhir masa jabatannya mengakui kegagalan swasembada daging karena salah hitung. Namun, saat itu tidak ada sanksi atau pertanggungjawaban atas kegagalan dan kesalahan kebijakan yang telah diterapkan pemerintah. “Ini terjadi lagi kesalahan. Lalu bagaimana sanksinya?” kata Thomas.
Menurut Thomas, semestinya pemerintah tidak perlu menutup impor daging secondary. Pemerintah harus jujur bahwa peternakan lokal sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional.
“Pemerintah mestinya jujur mengakui kekurangan produksi daging nasional. Kalau jujur dan mengakui, maka tidak akan terjadi kesalahan dalam mengambil kebijakan,” tegasnya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI), Suharjito mengakui memang ada kerjasama dengan Bulog. “Kerjasamanya sebatas sewa-menyewa tempat (gudang),” katanya.
Harjito menyebutkan pihak Bulog sudah bersedia dan setuju akan menyewa gudang milik PT Dua Putra yang ada di Pondek Gede, Bekasi. Kerjasama ini hanya sebatas sewa gudang.
Harjito juga membantah kalau dikatakan PT Dua Putra sebagai usaha miliknya akan memasok daging secondary. “Bagaimana mau memasok wong jenis daging ini (potongan sekunder) sudah dilarang sejak beberapa bulan lalu. Kalau ada secondary yang beredar sekarang, itu adalah daging ilegal,” ungkapnya.
Menurut dia, Bulog menyewa gudang milik PT Dua Putra karena uang sewanya lebih rendah dari yang lain. “Kami menyewakan Rp300.000/palet/bulan. Harga ini lebih murah dari harga yang pernah ditawarkan ke Bulog,” katanya. Jamalzen