Bulog Bersaing dengan Pedagang Beli Beras

Perum Bulog terus berusaha meningkatkan stok berasnya melalui realisasi impor beras seperti yang ditetapkan dalam Rakortas tahun lalu serta melakukan penyerapan beras di dalam negeri. Stok beras Bulog sendiri sejauh ini mencapai 1,9 juta ton dan aman untuk menghadapi Lebaran tahun ini.

Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti, serapan Bulog sejak awal tahun hingga saat ini sudah mencapai 870.000 ton. Untuk perhitungan per hari, total beras yang mampu diserap mencapai 25.000 ton. Jika ditambah dengan stok yang dimiliki saat ini, kebutuhan beras pun dipastikan aman.

“Stok ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pada saat bulan puasa hingga lebaran nanti,” ujar Djarot di kantor Menko Perekonomian, beberapa hari lalu.

Dalam meningkatkan stok beras, Perum Bulog juga telah merealisasikan impor beras medium sesuai yang ditugaskan pemerintah. Dalam Rakortas bulan September 2015, pemerintah memutuskan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton yang akan dilakukan Bulog. Kegiatan impor beras itu memiliki jangka waktu hingga Maret 2016.

Perum Bulog langsung merealisasikan tugas itu dengan mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Hingga awal Januari 2016, beras impor yang sudah masuk ke dalam negeri mencapai 800.000 ton dan sisanya sebanyak 700.000 ton direalisasikan pada Februari dan Maret 2016.

Selain impor, Djarot juga menyatakan Perum Bulog terus berusaha meningkatkan penyerapan beras dari dalam negeri. “Perum Bulog pada musim panen di 2016 siap menyerap beras petani sebesar 2,6 juta ton,” katanya.

Untuk mencapai target penyerapan dalam negeri sebesar itu, Perum Bulog menargetkan pada April mampu menyerap minimal sekitar 750.000 ton beras, dan pada Mei juga mampu menyerap 750.000 ton beras petani. Sehingga sampai dengan Mei 2016, Perum Bulog mampu menyerap 1,5 juta ton dengan yang sebelumnya 600.000 ton.

Untuk bulan Juni, Djarot mengakui penyerapan akan menyusut. “Juni agak turun, ya moga-moga sekitar 500.000 ton, sehingga totalnya sudah cukup,” ucapnya.

Djarot mengakui, dalam penyerapan beras di dalam negeri, Bulog memiliki sejumlah permasalahan di lapangan. Misalnya, perkembangan harga gabah atau beras yang masih cenderung di atas HPP. “Waktu panen juga tidak serentak dan cenderung mundur,” jelasnya.

Sesuai dengan Impres Nomor 5 tahun 2015, Perum Bulog hanya bisa membeli gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp3.700/kg dan gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan sebesar Rp4.600/kg.

Sementara untuk beras medium, Bulog hanya dapat membeli beras medium di gudang-gudang dengan harga maksimal Rp7.300/kg. Sayangnya, Bulog harus bersaing keras dengan pedagang yang berani membeli beras petani di atas harga Rp7.300/kg.

Kendala lainnya adalah space gudang di beberapa divre sentra produksi beras masih minim (stok gudang masih tinggi), infrastruktur pengolahan masih terbatas.

Untuk mengatasi kendala tersebut, ungkap Djarot, Perum Bulog akan meningkatkan penyediaan space gudang di divre produsen dengan cara melakukan move out ke divre non produsen maupun melakukan sewa gudang non Bulog.

“Kami juga akan melakukan kerjasama sewa sarana pengelolaan milik swasta atau BUMN dan pelayanan di gudang dan perbankan agar tetap dibuka pada hari libur,” paparnya.

Dengan berbagai upaya tersebut, Djarot yakin Perum Bulog pada bulan puasa nanti akan memiliki stok beras sekitar dua jutaan ton. Jumlah itu cukup untuk menjaga stabilisasi harga bahan pokok tersebut.

Mulai naik

Terkait dengan kegiatan impor beras oleh Perum Bulog, Ketua Koperasi Pedagang Beras Pasar Induk Cipinang (Koppic), Zulkifly Rasyid menyatakan dukungannya. “Memang kalau pemerintah perlu impor beras, Bulog lah yang harus melakukannya,” ujarnya.

Menurut Zulkifly, jika kegiatan impor beras diberikan kepada Bulog, maka pemerintah dapat melakukan tindakan cepat dalam menstabilkan kebutuhan dan harga beras di dalam negeri jika terjadi kekurangan pasokan beras.

“Jika kegiatan impor beras dilakukan oleh swasta, pemerintah tidak akan mampu mengambil tindakan secara cepat jika terjadi suatu hal dalam pasokan dan harga beras di dalam negeri,” ucapnya.

Zulkifly mengingatkan, swasta lebih cenderung melakukan kegiatan sesuai kaidah bisnis. Mereka tentu akan mencari keuntungan dari kegiatan yang dilakukannya, termasuk dalam hal kegiatan impor beras. “Sementara Bulog, dalam melakukan kegiatannya, juga terkandung tugas-tugas dari pemerintah,” katanya.

Menurutnya, di Pasar Induk Beras Cipinang, salah satu pasar yang menjadi acuan pasokan dan harga beras di dalam negeri, saat ini beras yang diperdagangkan para pedagang di pasar tersebut adalah beras dari dalam negeri.

“Memang ada juga pedagang yang menjual beras khusus, seperti beras basmati, yang diimpor dari sejumlah negara, tetapi volumenya tidak banyak,” jelasnya.

Zukifly mengakui, di pasar induk Cipinang ada sejumlah pedagang yang mengoplos berasnya. Hal ini merupakan kegiatan yang wajar dan diperbolehkan mengingat tidak semua beras yang dijual petani memiliki standar yang sama, terutama rendemennya.

Menurutnya, sebagian beras petani itu memiliki kadar air yang cukup tinggi, yakni sekitar 16%-18 %. Agar beras tersebut tidak lekas bulukan, maka perlu dicampur dengan beras jenis lain yang memiliki kandungan kadar air yang rendah, yakni sekitar 5%.

Sementara mengenai perkembangan harga beras, Zulkifly mengakui saat ini harga beras mulai mengalami kenaikan, yakni sekitar Rp100 hingga Rp 200/kg. Kenaikan itu wajar karena puncak panen raya beras di sejumlah wilayah produsen utama sudah selesai. Dengan demikian, pasokan tidak membludak lagi. B Wibowo

Murahnya Harga Beras Impor

Impor beras yang dilakukan Bulog jelas pukulan telak buat Kementerian Pertanian. Gembar-gembor surplus produksi ternyata tidak terbukti, bahkan malah menyengsarakan konsumen akibat aksi spekulasi yang membuat harga beras di dalam negeri jauh lebih tinggi dari harga internasional.

Dibukanya keran impor jelas menimbulkan pertanyaan sejauhmana kerja keras Kementerian Pertanian dalam urusan produksi padi. Apalagi, Presiden Joko Widodo sejak awal memerintah berjanji menciptakan swasembada beras dan menyetop impor. Janji itu pula yang membuat Presiden menambah anggaran Kementerian Pertanian.

Terbukti, Kementan merupakan satu dari 10 kementerian/lembaga penerima anggaran tertinggi. Jika tahun 2014 anggaran Kementan masih Rp13,2 triliun, maka di era Jokowi anggaran tersebut melesat 148,8% menjadi Rp32,8 triliun dalam APBN-P 2015. Tahun ini, meski menyusut sedikit, namun jumlahnya masih besar: Rp31,5 triliun.

Sayangnya, ketika anggaran meningkat dua kali lipat, ternyata impor masih tetap dilakukan. Yang menyakitkan, impor berarti menguras devisa negara. Berdasarkan Permendag No.103/M-DAG/12/2015 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras, impor beras Bulog  masuk dalam nomor HS ex. 1006.30.99.00 dalam kategori beras lain-lain. Berdasarkan aturan ini, beras Bulog adalah beras medium karena tingkat kepatahan (broken) maksimal 25%. Namun, dalam nomor HS ini juga termasuk beras premium atau beras kebutuhan khusus, yakni japonica dengan broken maksimal 5% dan basmati dengan broken maksimal 5%.

Berdasarkan data BPS, impor beras dengan nomor HS 1006.30.99.00 pada November-Desember 2015 adalah 502.990 ton dengan nilai 199,6 juta dolar AS. Sementara untuk triwulan I/2016 (Januari-Maret), impor beras mencapai 961.987 ton dengan devisa yang dibuang 393 juta dolar AS. Jadi, dari total impor beras ini, devisa yang dibelanjakan mencapai 592,6 juta dolar AS atau sekitar Rp7,7 triliun (dengan kurs Rp13.000/dolar AS).

Yang menarik, dengan dana sebesar itu, Bulog tidak akan mampu membeli beras di dalam negeri dengan volume dan kualitas yang setara dengan beras impor. Pasalnya, harga beras impor memang jauh lebih murah dibandingkan harga beras di dalam negeri. “Harga beras impor itu sebetulnya low artificial price. Pasalnya, harga beras yang dijual ke pasar adalah beras kelebihan produksi, yang harus dijual pada harga berapapun. Atau bisa juga itu harga dumping,” ujar guru besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa.

Berdasarkan data harga beras Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), harga beras Thailand broken 5% pada Oktober-Maret berkisar antara 363-384 dolar AS/ton atau Rp4.719-Rp4.992/kg. Harga itu lebih murah lagi untuk kualitas broken 25%, di mana pada periode yang sama kisaran harganya 356-375 dolar AS/ton.

Sementara untuk beras Vietnam, saingan utama Thailand, harga beras dengan kualitas broken 5% lebih murah lagi, yakni di kisaran 344-365 dolar AS/ton. Dengan kurs Rp13.000/dolar AS, maka harga beras Vietnam tersebut hanya Rp4.472-Rp4.745/kg. Untuk kualitas 25%, harga lebih murah lagi, yakni di kisaran 330-345 dolar AS/ton.

Dengan bea masuk beras sebesar Rp450/kg, maka harga beras impor Bulog yang paling mahal (broken 5%), maksimum sekitar Rp5.500/kg. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan harga beras di tingkat grosir/pedagang besar. Data BPS mencatat, di tingkat pedagang besar atau grosir, harga rata-rata beras selama Oktober 2015-Maret 2016 di atas Rp11.000/kg (terendah Rp11.169/kg dan tertinggi Rp11.729/kg). Bahkan, harga impor itu juga masih jauh di bawah HPP untuk beras medium di gudang Bulog, Rp7.300/kg. Jadi, tinggal hitung berapa keuntungan yang bisa diraup saat Bulog harus melakukan OP dengan beras impor. AI