Saat ini Kementerian Pertanian tengah mengembangkan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal yang fokus kepada satu komoditas utama per provinsi. Diversifikasi pangan difokuskan kepada enam pangan lokal sumber karbohidrat non beras diantaranya ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang dan sorgum.
Hal ini dilakukan karena pemerintah berkomitmen menjaga kebutuhan pangan dan mencegah masyarakat kelaparan di saat pandemi Covid-19. Apalagi BMKG menyebut akan ada kekeringan. Era new normal ada program peningkatan ketersediaan pangan.
Diversifikasi pangan ini bertujuan mengantisipasi krisis, penyediaan pangan alternatif, menggerakkan ekonomi dan mewujudkan sumber daya manusia yang sehat. Dengan sasaran menurunkan ketergantungan konsumsi beras.
Terlebih lagi, Kementan berencana dalam lima tahun ke depan menargetkan penurunan konsumsi beras nasional sebesar 7%. Khusus tahun 2020 rata-rata konsumsi beras ditargetkan turun ke posisi 92,9 per kg per kapita per tahun dari posisi tahun lalu sebesar 94,9 per kg per kapita per tahun.
Hingga tahun 2024 mendatang, ditargetkan konsumsi sudah turun 7% ke posisi 85 per kg per kapita per tahun. Penurunan itu setara 1,77 juta ton senilai Rp17,78 triliun. Namun dengan catatan, penurunan konsumsi beras bisa dicapai asalkan ada intervensi dari pemerintah.
Oleh karena itu, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Sahara menyatakan pandemi Covid-19 merupakan momen yang tepat untuk mempercepat pengembangan diversifikasi pangan.
Seperti apa penuturan wanita kelahiran Tebing Tinggi itu soal diversifikasi pangan? Berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan wanita yang menempuh pendidikan doktoralnya di University of Adelaide, Australia itu saat di temui dalam Diskusi Forum Wartawan Pertanian dengan tema “Diversifikasi Pangan Kokohkan Ketahanan Pangan Nasional” beberapa waktu lalu.
Mengapa Anda sangat mendukung diversifikasi pangan?
Karena pola pandang harus diubah bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat. Selama ini, pemerintah masih terlalu fokus pada pengembangan pangan jenis beras. Padahal, Indonesia memiliki ragam jenis pangan yang sangat berlimpah.
Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 110 jenis rempah dan bumbu, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, dan 40 jenis bahan minuman.
Akan tetapi saat ini masyarakat di Indonesia sangat tergantung pada beras dan nasi. Bagaimana menurut anda tanggapan ini?
Ya, konsumsi beras per kapita di Indonesia terlampau tinggi. Kondisi tersebut kontra produktif lantaran dapat menghambat investasi dan pengembangan produk pangan selain beras. Efeknya, kemampuan kita memproduksi pangan lokal secara kontinyu rendah. Belum lagi bicara soal teknologi pengolahan pangan lokal yang masih terbatas.
Menurut Anda, Pandemi Covid-19 ini merupakan hal yang tepat untuk memulai pengembangan diversifikasi pangan?
Ya. Karena diversifikasi pangan telah digaungkan sejak beberapa tahun silam. Kini, merupakan momentum yang pas di musim Covid-19 untuk mempercepat diversifikasi pangan selain beras, yakni ubi kayu, kentang, sagu, talas, dan jagung.
Diversifikasi pangan tidak hanya untuk pangan pokok, tetapi juga pada upaya mendorong keragaman konsumsi berbagai jenis makanan yang mengandung protein, serat dan vitamin yang tinggi. Makanya, upaya diversifikasi pangan harus dilakukan secara terintegrasi melalui aspek permintaan dan suplai.
Kemudian apa saja tantangan yang harus dihadapi dalam diversifikasi pangan ini?
Pertama, mindset mengenai ketergantungan pada satu jenis pangan utama (beras). Kedua, kebijakan pengembangan pangan yang masih berfokus pada beras ini terlihat dari konsumsi beras per kapita di Indonesia masih tinggi, investasi dan pengembangan produk pangan selain beras rendah, kemampuan memproduksi pangan lokal secara kontinu rendah, dan teknologi pengolahan pangan lokal yang masih terbatas sulit untuk bersaing dengan pangan yang berbasis impor.
Tantangan ketiga, belum maksimalnya peran stakeholders di luar pemerintah (Industri, Lembaga Penelitian). Berikutnya yang menjadi persoalan diversifikasi adalah tingginya konsumsi makanan olahan (processed food).
Lalu bagaimanya solusi anda dalam menjawab tantangan ini. Terlebih lagi jumlah konsumsi beras di Indonesia ini tinggi?
Jalan keluarnya adalah mengubah cara berpikir masyarakat bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat di sinilah perlunya peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Berikutnya, membangun promosi pentingnya mengkonsumsi pangan lokal dan pangan yang beragam.
Kita dapat mempromosikan aspek kesehatan mengenai pentingnya mengkonsumsi nutrisi dan gizi yang berimbang.
Kemudian, sistem distribusi yang terintegrasi baik di pasar output output merupakan syarat perlu bagi upaya peningkatan produksi pertanian. Untuk itu, produk pertanian di hasilkan di wilayah pedesaan, sementara Sebagian besar konsumen tinggal di wilayah perkotaan dan input pertanian dihasilkan di luar wilayah produksi.
Bagaimana tanggapan Anda Sektor perekonomian pertanian Indonesia saat pandemi ini?
Sektor pertanian saat ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19. hal itu terlihat dari pertumbuhan ekspor pertanian yang selalu meningkat signifikan.
Saat sektor lain mengalami perlambatan, sektor pertanian tetap menunjukkan kinerja yang positif. Bisa dikatakan sektor pertanian menjadi penyelamat bagi perekonomian indonesia, terutama seperti sekarang ini, di mana kita sedang menghadapi wabah pandemi.
Makanya, pasca pandemi Covid-19 nanti, fokus pembangunan pada sektor pertanian dan industri hilirnya wajib menjadi perhatian utama bagi semua pemangku kebijakan. Langkah ini perlu dilakukan mengingat nilai ekspor pertanian selalu berada dalam posisi positif
Atiyyah Rahma