Dampak Penurunan Harga BBM

Di tengah menghangatnya situasi politik di dalam negeri terkait pengangkatan Kapolri baru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan kabar baik, yakni penurunan harga bahan bakar minyak, gas elpiji 12 kg dan semen.

Jumat pekan lalu, Presiden Jokowi mengumumkan, penurunan harga bensin premium dari sebelumnya Rp7.600/liter menjadi Rp 6.600/liter, dan solar dari Rp7.250/liter menjadi Rp 6.400/liter. Harga tersebut berlaku nasional, kecuali Bali, mulai Senin (19/1).

Jika dihitung, selama hampir empat bulan Presiden Jokowi memimpin Indonesia, sudah tiga kali harga BBM diubah. Satu kali naik, dua kali turun. Pertama kali harga BBM direvisi pada 18 Nopember 2014. BBM jenis premium naik menjadi Rp 8.500/liter, dari sebelumnya Rp 6.500/liter. Sedangkan Solar naik dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 7.500/liter.

Kebijakan ini diambil, karena saat itu stok BBM menipis gara-gara konsumsi meningkat. Anggaran pemerintah juga sudah defisit, karena harus terus impor BBM dan menanggung subsidi yang besar.

Namun, di akhir tahun, harga minyak dunia justru anjlok hampir 50%. Kondisi ini membuat Jokowi kembali mengubah harga BBM. Selain menurunkan harga, pemerintah juga mengambil kesempatan rendahnya harga minyak untuk menghilangkan subsidi di bensin premium.

Pada 1 Januari 2015, harga bensin premium akhirnya diturunkan menjadi Rp 7.600/liter. Pemerintah tak lagi memberi subsidi bensin beroktan 88 ini. Sedangkan harga solar turun menjadi Rp 7.250 per liter, masih disubsidi Rp 1.000 per liter.

Dan yang terbaru, adalah diturunkannya lagi harga premium menjadi Rp6.600/liter dan solar Rp 6.400/liter sebagai dampak dari terus melemahnya harga minyak bumi di dunia.

Kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM, elpiji dan semen merupakan hal yang perlu mendapatkan apresiasi dari semua pihak. Kebijakan itu menunjukkan adanya keinginan pemerintah mensejahterahkan rakyatnya.

Namun, akan lebih baik lagi jika penurunan harga BBM itu juga diikuti oleh penurunan pada sektor lainnya, seperti ongkos transportasi dan harga bahan kebutuhan pokok.

Ongkos transportasi dan harga bahan kebutuhan pokok langsung melonjak ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM  tangal 18 Nopember 2014.

Namun ketika harga BBM diturunkan pada awal Januari, ongkos transportasi dan harga bahan pangan belum menunjukkan keselarasannya dengan harga BBM.

Banyak alasan yang dilontarkan pengusaha angkutan. Misalnya, harga BBM hanya memiliki porsi 20 % dari seluruh faktor penentu tarif angkutan. Selain BBM, ada juga pengaruh dari suku cadang, biaya operasional, serta investasi.

Begitu juga dengan harga bahan kebutuhan pokok, belum ada penurunan harga  yang signifikan selaras dengan penurunan harga BBM. Bahkan untuk sejumlah komoditas tertentu, harganya masih belum bergerak turun.

Asosiasi yang menaungi pelaku usaha juga sudah menyatakan pesimismenya bagi terjadinya penurunan harga bahan kebutuhan pokok secara cepat. Asosiasi itu  tak bisa memaksa para anggotanya untuk serta merta menurunkan harga jual produknya. Pasalnya, BBM bukan satu-satunya faktor penentu dalam pembentukan harga jual produk.

Kondisi ini tentunya menjadi tantangan bagi pemerintah, Upaya menurunkan harga bahan kebutuhan pokok harus jadi fokus pemerintah. Pemerintah harus membuat terobosan baru , bukan sekadar menaik-turunkan harga BBM.