Peningkatan ekspor pupuk sama sekali tidak mengganggu pengadaan pupuk dalam negeri, terutama pupuk urea subsidi. Tahun ini, ekspor pupuk urea ditargetkan mencapai 1,77 juta ton.
Dibandingkan dengan tahun lalu, angka ekspor tahun 2019 meningkat 55,13%. Tahun tahun lalu, ekspor pupuk hanya tercatat 1,14 juta ton.
“Jumlah pupuk urea nonsubsidi yang diizinkan diekspor pada 2019 adalah sebanyak 1,77 juta ton,” kata Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Abdul Rochim, beberapa waktu lalu.
Adapun produksi urea ditargetkan mencapai 7,5 juta ton dengan prognosa kebutuhan dalam negeri sebanyak 5,98 juta ton. Perinciannya, kebutuhan itu berasal dari pangan sebanyak 4,1 juta ton urea dan 1,88 juta ton untuk sektor perkebunan dan industri.
Rochim menjelaskan, kuota dan izin ekspor urea nonsubsidi itu diberikan oleh Kementerian Perdagangan dengan didasari kondisi produksi PT Pupuk Indonesia (Persero) dan adanya kepastian kebutuhan pupuk urea dalam negeri terpenuhi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Dadang Heru sebelumnya memperkirakan, ekspor pupuk akan meningkat pada tahun ini, lantaran mendapatkan dorongan dari dalam negeri dan tarikan luar negeri.
Pertama, stok kebutuhan pupuk dalam negeri yang telah dipenuhi oleh para produsen. Hal itu membuat para produsen lebih mudah mendapatkan rekomendasi dan izin ekspor pupuk nonsubsidi dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Kedua, dampak penurunan produksi komoditas pupuk di China, di mana pabrikan pupuk berskala kecil yang masih menggunakan bahan bakar batubara banyak yang ditutup Pemerintah China.
Pasar India
Rochim mengatakan, India menjadi pasar potensial bagi ekspor produk pupuk nasional seiring dengan pemenuhan stok kebutuhan dalam negeri. “India merupakan pasar potensial ekspor urea karena kebijakan pemupukan di sana mirip dengan Indonesia, yaitu berbasis urea,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia bisa mengisi celah kebutuhan tersebut lantaran pasokan pupuk urea dari China menurun. China, jelas dia, telah mengurangi pabrik petrokimia berbasis gasifikasi batubara.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Juli 2019 nilai ekspor pupuk dari Indonesia meningkat 55,27% dari periode yang sama tahun lalu sebesar 371,27 juta dolar AS menjadi 576,48 juta dolar AS.
Tidak Mengganggu
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementeri Pertanian (Kementan), Sarwo Edhy yang dimintai tanggapannya mengatakan, peningkatan ekspor pupuk oleh industri sama sekali tidak mengganggu pengadaan pupuk dalam negeri.
“Ekspor pupuk tidak mengganggu persediaan pupuk subsidi. Yang diekspor adalah pupuk nonsubsidi. Biasanya pihak produsen lebih mengutamakan kepentingan nasional. Setelah itu baru ekspor,” tegasnya kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Sarwo menyebutkan, data stok pupuk subsidi dari PT Pupuk Indonesia hingga 15 November 2019 tercatat untuk pupuk urea stok di lini I sebanyak 530,157 ton, lini II tercatat 109,450 ton, lini III sebanyak 601,849 ton dan lini IV tersedia 74,022 ton.
Untuk pupuk stok di lini I tercatat 177,50 ton, lini II sebanyak 185,305 ton, lini II tersedia 375,305 ton dan lini IV sebanyak 41,872 ton. Stok pupuk SP-36 di lini I tercatat 69,054 ton, lini II sebanyak 69,449 ton, lini III tersedia 106,770 ton dan lini IV sebanyak 14,118 ton.
Sementara stok pupuk ZA hanya ada di pabrik Petrokimia Gresik. Total stok di lini I hingga IV sebanyak 174,491 ton. Untuk pupuk organik, stok di lini I tercatat 186 ton, lini II sebanyak 6,754 ton, lini III tersedia 73,079 ton dan lini IV sebanyak 31,671 ton
Dia menyebutkan, pemerintah berupaya melakukan pengawalan penyaluran pupuk bersubsidi salah satunya melalui pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi yang dilakukan secara proaktif dengan sebaik-baiknya.
“Ini sebagai bagian dari kegiatan pengendalian dan pemantauan oleh Pemda terhadap penyaluran pupuk bersubsidi di masing-masing wilayahnya,” tuturnya.
Menurut dia, Pemda memegang peran yang sangat penting. Baik dari segi perencanaan, regulasi dan tata laksana mulai dari perencanaan kebutuhan pupuk melalui RDKK.
RDKK menjadi alat kontrol dalam pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani. Bagi petani yang belum berkelompok agar bergabung dalam kelompok tani sehingga petani punya hak menebus pupuk subsidi.
Sarwo Edhy mengungkapkan, ada temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan harus menjadi perhatian, antara lain RDKK tidak valid dan tidak tepat waktu penerbitan SK (Surat Keptusan).
Selain itu, catatan BPK menyebut alokasi pupuk tidak tepat waktu, ketidakpatuhan distributor dan kios dalam menyalurkan pupuk bersubsidi baik dari segi administrasi ataupun ketentuan yang berlaku.
Untuk itu, kebijakan penyaluran pupuk bersubsidi ke depan diarahkan pada penebusan berbasis e-RDKK dengan menggunakan Kartu Tani. “Dengan cara ini kita harapkan penyaluran pupuk bersubsdi dapat menjadi lebih baik dan tepat sasaran,” tegasnya.
Realisasi penyaluran pupuk subsidi per 25 Agustus 2019 sudah mencapai 64,8% dari alokasi setahun sebanyak 8,8 juta ton. Rinciannya, urea sudah terealisasi 2,46 juta ton (64,4%) dari alokasi setahun 3.825.000 ton; SP-36 dari alokasi sebanyak 779.000 ton sudah terserap sebanyak 566,6 ribu ton (72,7%).
Sedangkan untuk pupuk ZA, dari alokasi 996.000 ton sudah tersalurkan 610,6 ribu ton (61,3%); NPK alokasi sebanyak 2.326.000 ton sudah terealisasi sebanyak 1,63 juta ton (70,1%); dan pupuk organik alokasi 948.000 ton sudah tersalurkan 477,7 ribu ton (50,4%). PSP