Pemerintah berhasil ‘membobol’ barikade penghalang pengembangan energi panas bumi (geotermal). Lewat revisi UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi, DPR menyetujui RUU Panas Bumi yang di dalamnya menghilangkan frase “penambangan”. Dengan hilangnya frase itu, pengelolaan energi geotermal pun halal dilakukan di kawasan hutan konservasi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pantas lega. Kerja keras selama delapan bulan membahas RUU Panas Bumi yang merupakan revisi UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, akhirnya disetujui DPR. Berdasarkan UU Panas Bumi yang baru itu, perizinan pemanfaatan panas bumi secara tak langsung, yakni mengubahnya menjadi energi listrik, kini dibetot ke pusat. Dengan penarikan izin ini, maka pengembangan panas bumi lebih cepat, karena “birokrasi perizinan di daerah bisa dipotong dan ditangani pusat,” ujar Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Rida Mulyana.
Tapi itu belum seberapa. Yang paling krusial, apalagi jika bukan hilangnya frase “penambangan”. UU No.27/2003 menyebut panas bumi adalah sumber energi panas yang pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Bahkan, izin usahanya pun bernama izin usaha pertambangan panas bumi. Kini, dalam UU hasil revisi, tak ada lagi penyebutan perlunya proses penambangan untuk pemanfaatannya. Dan, izin usaha penambangan panas bumi berubah jadi izin panas bumi saja.
Dengan hilangnya frase penambangan, maka kendala besar pengembangan panas bumi di kawasan hutan konservasi pun terbuka lebar. Asal tahu, Indonesia punya potensi geotermal terbesar di dunia sebesar 28 GigaWatt (GW) dan yang dimanfaatkan baru 4% (1.189 MW), kalah jauh dari Filipina yang mencapai 25%. Persoalannya, hampir separuh dari potensi geotermal ada di kawasan hutan, baik di hutan konservasi dengan potensi 3.428 MW (10,9%) maupun hutan lindung dengan potensi 8.491 MW (19,6%). Nah, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (KSA dan KPA), pemanfaatan KSA dan KPA tidak dilakukan melalui penambangan. Inilah yang selalu mengganjal pengembangan geotermal, sampai perlu dihapus untuk menghalalkannya.
Langkah ini kontan dikecam keras Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan dikritisi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Jatam, dibolehkannya eksploitasi geotermal di kawasan konservasi dan hutan lindung mengancam serapan dan sumber mata air. Hal yang sama disebut Walhi. “Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) butuh air sangat tinggi dan ini bakal berdampak buruk karena mereka umumnya ada di hulu yang bisa merusak pasok air di hilir,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan.
Kekhawatiran yang wajar, memang. Untungnya, meski revisi UU 27/2003 sudah disetujui, tapi belum bisa operasional. Pasalnya, pemanfaatan panas bumi di kawasan konservasi, yang dikategorikan Kemenhut sebagai pemanfaatan jasa lingkungan, ternyata tidak ada di PP 28/2011. Kalaupun disebutkan ada pemanfaatan energi panas, yang dimaksud adalah energi panas matahari (solar cell) untuk pembangkit listrik, bukan panas bumi. Jadi, nampaknya Kemenhut pun harus siap-siap digeruduk protes. AI