Wacana pemerintah menaikkan biaya keluar (BK) kakao asalan menjadi 20%, disambut dingin Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKI). Pasalnya, sekarang ini produksi kakao Indonesia nyaris tidak ada yang diekspor.
“Buat petani, BK kakao asalan dinaikkan tidak ada dampaknya karena produksi kakao kita hampir tidak ada yang diekspor. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja produksi kita masih kurang,” kata Ketua Umum APKI, Arif Zamroni kepada Agro Indonesia, Jumat (23/12/2016).
Dia menyebutkan, tahun 2015 ekspor kakao Indonesia hanya 170.000 ton. Tahun ini, ekspor jauh lebih kecil dari tahun lalu, karena produksi kakao nasional memenuhi permintaan pasar dalam negeri.
“Permintaan biji kakao untuk kebutuhan dalam negeri sudah cukup banyak. Hal ini terjadi karena kapasitas industri pengolahan biji kakao sangat tinggi,” ungkapnya.
Arif menilai, tumbuhnya industri pengolahan kakao dalam negeri tidak diimbangi dengan kesiapan bahan baku kakao. Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) yang diluncurkan tahun 2009 ternyata tidak mampu meningkatkan produksi kakao nasional.
Menyinggung harga kakao asalan dengan fermentasi, Arif mengatakan secara umum tidak ada perbedaan harga yang signifikan. “Kakao fermentasi itu ada pasar khusus. Kalau pasar khusus yang negoisasinya juga khusus dan jumlah permintaan tidak terlalu besar,” terangnya.
Dia menyebutkan, di kalangan pedagang pengumpul kakao asalan dan fermentasi perbedaan tidak menonjol. “Kasus-kasus tertentu saja, memang ada satu dua, tempat penjualan kakao yang membedakan harga kakao asalan dan fermentasi. Tapi secara umum hampir tidak ada perbedaan,” katanya.
Arif menyebutkan, perbedaan harga yang mencolok justru terjadi di daerah-daerah yang sarana transportasinya sulit terjangkau. Daerah produksi kakao yang terpencil, justru harganya jauh lebih murah, dibandingkan dengan harga kakao di daerah sentra produksi.
Dia memberikan contoh harga kakao asalan di daerah Manokwari. Harga kakao per tanggal 23 Desember 2016 tercatat Rp22.000/kg. Sementara di daerah sentra produksi seperti di Sulawesi Barat (Sulbar) dan Sulawesi Selatan (Sulsel), harga sudah mencapai Rp32.000/kg. “Perbedaan ini terjadi karena petani di Manokwari jauh dari informasi pasar. Jadi, pedagang pengumpul di sana menekan harga petani,” tegasnya.
Arif sangat setuju jika BK kakao fermentasi dihapuskan menjadi nol persen, sementara kakao asalan dinaikkan menjadi 20%. Cara seperti ini, sebenarnya bisa mendorong petani untuk melakukan fermentasi. Hanya saja, sayangnya, selisih harga tidak terlihatnya.
Menurut dia, harga kakao sangat ditentukan pedagang pengumpul. Apalagi kalau di daerah yang terpencil, harga bisa ditekan pedagang. “Pedagang pengumpul itu tidak hanya membeli kakao, tapi komoditi lain seperti cengkih, lada dan lainnya. Dengan demikian, pedagang bisa memainkan harga,” ungkapnya.
Batasi kapasitas pabrik
Christian, importir kakao yang dihubungi Agro Indonesia mengatakan, pemerintah semestinya membatasi kapasitas industri pengolahan kakao. “Industri kakao sekarang ini sudah kelebihan kapasitas. Akibatnya, industri kecil yang tidak mempunyai kemampuan finansial terancam gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan industri raksasa,” tegasnya.
Dia menyebutkan, sudah ada beberapa industri pengolahan kakao yang tutup karena tidak mendapatkan bahan baku, di antaranya industri Teja Sekawan, Kopi Jaya dan Maju Bersama. “Sementara Kalla Cacao dan Bumi Tanggerang sudah megap-megap,” katanya.
Christian juga menyebutkan, beberapa industri kakao skala kecil di Bandung sudah diambil alih Group Berry. “Pemerintah mestinya membatasi kapasitas pabrik pengolahan kakao,” katanya.
Selain itu, lanjut Christian, pabrikan tidak membeli langsung kakao kepada petani, tetapi bisa melalui pengumpul. “Sekarang ini pabrik banyak yang beli langsung kakao kepada ke petani. Akibatnya, pedagang pengumpul sulit mendapatkan kakao,” ungkapnya.
Menurut dia, hal ini bisa terjadi karena kondisi kapasitas pabrik sudah terlalu besar. Sementara bahan baku sangat terbatas. Meskipun demikian, hukum pasar tidak berlaku, karena pabrik yang membeli langsung kepada petani bisa menekan harga petani.
“Logikanya, kalau permintaan banyak dan pasok terbatas, mestinya harga kakao di petani mahal. Tapi ini tidak terjadi, karena pabrikan tekan harga,” tegasnya.
Bahkan, lanjut Christian, harga jual petani dengan pabrikan sama dengan harga jual dengan pedagang pengumpul. “Kalau sistem ini terus berjalan, maka pedagang pengumpul lama-kelamaan akan gulung tikar. Ini sudah tidak sehat,” tegasnya.
Menurut dia, industri yang profesional adalah industri yang mempersiapkan bahan baku secara terencana. “Kalau orang yang sudah pengalaman dalam industri kakao mestinya dia tahu kapan petani lokal panen,” katanya.
Industri pengolahan kakao seharusnya mempunyai stok bahan baku minimal untuk 6 bulan. Dengan demikian, pada saat petani tidak panen, bahan baku industri tetap tersedia.
Gernas Kakao
Sementara itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang mengatakan, Gernas Kakao yang dimulai tahun 2009 kini telah memberi kontribusi terhadap produksi kakao nasional. “Jika produksi tahun 2016 mencapai sekitar 500.000 ton, maka dari jumlah itu sekitar 30% berasal dari produksi Gernas,” katanya.
Dia menambahkan, jika tidak ada program Gernas Kakao, maka produksi kakao nasional akan jauh lebih anjlok lagi. “Kalau kita lihat dari produksi kakao nasional, maka kontribusi produksi dari program Gernas tidak terlihat nyata, karena memang areal Gernas hanya 460.000 hektare (ha) atau 4,6% dari luas areal kakao nasional 1,7 juta ha,” katanya.
Dia mengatakan, kontribusi program Gernas kakao terhadap produksi kakao nasional masih sangat kecil atau sekitar 30% dari produksi nasional. “Tapi kontribusi produksi Gernas tiap tahun terus meningkat,” tegasnya.
Dia mengatakan, tahun pertama setelah Gernas kakao dilaksanakan, yaitu 2010, kontribusi produksi gernas hanya 4,6% dari produksi kakao nasional sebesar 837.919 ton. Tahun 2011 kontribusi produksi Gernas kakao naik menjadi 12,2% dari produksi nasional yang mencapai 712.230 ton.
Kemudian tahun 2012 kontribusi produksi Gernas kakao meningkat lagi menjadi 20,8% dari produksi nasional yang mencapai 740.513 ton dan tahun 2013 produksi kakao nasional tercatat 777.537 ton. Dari jumlah ini produksi gernas mencapai 30%.
Produksi kakao dari program Gernas dapat meningkat jika dilakukan pemeliharaan. Jika tidak, maka produksi akan turun. “Jika tidak dilakukan pemeliharaan atau pemupukan, maka produksinya dapat menurun kembali,” kata Bambang.
Untuk itu, dalam upaya meningkatkan produksi, produkstivitas dan mutu kakao perbaikan tanaman kakao tetap menjadi prioritas (peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi). Jamalzen
Naikkan Produksi dengan Bibit Super
Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman maupun Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang sepakat, pemerintah harus segera meningkatkan produksi kakao nasional guna mengatasi kekurangan bahan baku biji kakao di industri pengolah kakao dan berkurangnya pendapatan petani kakao.
Zulhefi mengatakan, saat ini produktivitas kebun kakao di dalam negeri masih sangat rendah, hanya sekitar 400 kg hingga 500 kg/hektare (ha). Minimnya produktivitas kebun itu tentu saja membuat petani sulit mendapatkan hasil yang baik. Apalagi, harga biji kakao saat ini hanya mencapai Rp30.000/kg atau turun Rp10.000 dari bulan-bulan sebelumnya.
Karena itu, dia mendukung penuh upaya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) yang mampu menghasilkan bibit kakao super yang bisa berbuah cepat dan hasil yang lebih banyak.
Peneliti senior Puslitkoka Jember, Pujiyanto mengatakan, pihaknya telah mengembangkan bibit kakao super dengan teknologi PUAS.
Melalui tenologi ini, ungkapnya, di tahun 2017 diharapkan dapat dihasilkan 1 juta bibit kakao super yang akan ditanam di areal seluas 1.000 ha. Setelah itu, bakal dibangun pembibitan baru di sentra-sentra produksi kakao sehingga akan lebih banyak lagi bibit super yang dihasilkan.
Ditargetkan, setiap tahun dihasilkan 20 juta bibit yang bisa ditanam pada areal seluas 20.000 ha. Bila ini dilakukan, maka dalam lima tahun ada 100.000 ha yang akan meningkatkan produksi kakao secara signifikan. “Minimal kita bisa memenuhi kapasitas produksi industri pengolahan yang sudah ada,”jelasnya.
Dia menjelaskan, paket teknologi PUAS terdiri dari 4 komponen, yaitu penggunaan bibit kakao SUPER; penggunaan tanaman pelindung sementara dan tanaman pelindung tetap yang produktif; pengendalian terpadu gulma, hama dan penyakit; pemupukan organik dan anorganik; tumpang sari dengan tanaman kompatibel.
Bibit kakao SUPER merupakan bibit kakao unggul hasil sambungan yang menggunakan batang atas kakao unggul dengan batang bawah 2 kakao hibrida, sehingga memiliki perakaran dua kali lebih banyak dari sebelumnya dan mampu mendukung perakaran lebih cepat, panen lebih awal dan hasil lebih tinggi. Produktivitasnya pun mencapai 2,5 ton/ha, dan pada umur 1,5 tahun tanaman sudah berbuah.
Tanaman pelindung sementara untuk TBM adalah pisang, sedang pelindung tetap gamal dan lamtoro. Pengendalian gulma terpadu dilakukan secara manual maupun kimiawi untuk menjamin kondisi kebun tetap terkendali dari organisme penganggu tanaman. “Pemupukan awal menggunakan pupuk organik dan selanjutnya menggunakan kombinasi pupuk organik dan kimia,” katanya
Sedangkan tumpangsari menggunakan tanaman produktif lada atau panili yang dirambatkan pada tanaman penaung untuk menjamin ketahanan pendapatan petani dari gejolak harga biji kakao. Tanaman tumpangsari lainnya adalah padi.
Pujiyanto mengakui kalau dampak positif dari bibit kakao super itu bagi produksi kakao Indonesia baru bisa dirasakan setelah jumlah areal lahan kakao yang ditanami dengan bibit kakao super itu bertambah minimal 20.000 ha setiap tahunnya. B. Wibowo