Kementerian Pertanian (Kementan) menganggap harga pokok pembelian (HPP) gula kristal putih (GKP) Rp9.700/kg sudah menguntungkan petani. Apalagi jika menggunakan patokan harga internasional. Bulog juga tidak bisa ditekan untuk menaikkan harga karena hanya sebagai operator.
Memasuki bulan keempat sejak musim giling dimulai Mei, harga gula kristal putih (GKP) benar-benar pahit buat petani tebu. Tataniaga baru, melalui harga eceran tertinggi (HET) dan Bulog selaku penyerap, membuat harga gula petani di musim giling 2018 hanya dihargai Rp9.700/kg. Padahal, berdasarkan kajian independen sejumlah perguruan tinggi, seperti UI, UGM dan Unbraw, harga gula petani yang layak Rp10.500/kg. Buntutnya, 350.000-500.000 ton gula petani menumpuk.
Yang menarik, Kementan belakangan juga menyetujui penetapan harga yang ditetapkan oleh Surat Edaran (SE) Mendag No. 885/M-DAG/SD/8/2017 tanggal 16 Agustus 2017, yang menindaklanjuti surat Menko Perekonomian Nomor: S-202/M.EKON/08/2017, di mana gula milik pabrik gula (PG) BUMN dibeli Perum Bulog seharga Rp9.700/kg. Padahal, sebelumnya, Kementan mengusulkan kenaikan HPP sesuai kajian tim independen Rp10.500/kg.
“Mudah-mudahan (dengan harga Rp9.700/kg) sudah mendapatkan keuntungan karena sebagian (produksi) petani sebenarnya banyak yang dari ratoon (lama),” kata Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan), Agus Wahyudi di Jakarta, Jumat (3/8/2018).
Agus menjelaskan, HPP yang ditetapkan pemerintah telah melewati berbagai pertimbangan. Untuk produksi tebu yang berasal dari ratoon lama, maka komponen biaya utama yang dikeluarkan hanya pemupukan saja. Sementara usulan HPP sebesar Rp10.500/kg, seperti hasil kajian dari perguruan tinggi, itu dengan mempertimbangkan dan dihitung dari penanaman ulang dan bongkar ratoon. Selain itu, harga internasional yang lebih rendah saat ini juga jadi bahan pertimbangan. “Harga internasional memang murah sekali,” ungkapnya.
Namun, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen menilai harga internasional tidak bisa dijadikan patokan. Selain itu, perubahan kebijakan penjualan gula di luar Bulog juga tetap memberatkan, karena masih ada klausul hanya Bulog yang boleh menjual gula dalam bentuk curah di pasar tradisional. “Ya mana mau pedagang membeli gula petani. Mereka akan kesulitan menjualnya ke pasar,” ucap Soemitro. Maklum, Bulog memonopoli penjualan di pasar tradisional.
Yang lucu, sikap berbeda disuarakan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Mereka minta petani tidak menekan Bulog untuk membeli gula lebih tinggi lagi. “Perum Bulog hanya menjalankan tugas yang diperintahkan pemerintah,” kata Ketua Dewan Pembina APTRI, Arum Sabil. AI