Implementasi Teknologi Genjot Produktivitas Minyak Sawit

Dr. Sahat Sinaga (No.2 dari kanan), pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Tentang Teknologi & Inovasi Minyak Sawit di Indonesia, Rabu, 24 April 2024.

Implementasi teknologi terbaru seperti perubahan dari “wet process” ke “dry process” bisa meningkatkan produksi minyak sawit Indonesia hingga 71,8 juta ton pada tahun 2028 dengan luas lahan yang sama saat ini yaitu 16,4 juta hektar dengan potensi pemasukan negara hingga 107 miliar dolar AS.

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 24 April 2024 lalu.  Diskusi yang mengambil topik:” Re-Launching Minyak Sawit Indonesia: Dari Kualitas Inferior Menjadi Kualitas Superior”. Diskusi menghadirkan Dr Sahat Sinaga, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), dipandu oleh Profesor Tien Muchtadi, Mantan Deputi Menteri Ristek dan Guru Besar Universitas Pasundan, Bandung.

Pada tahun 2023, produksi minyak sawit Indonesia berhasil meraup pemasukan total  62,9 Miliar dolar AS, setara Rp943,5 triliun,  terdiri dari perdagangan domestik  21,4 Miliar dolar AS, dari devisa ekspor 38,4 miliar dolar AS dan dari produk energi biomasa 3,1 miliar dolar AS.

Sahat menjelaskan istilah Crude Palm Oil (CPO) sebagai salah kaprah dan memberi kesan inferior.  Ia menegaskan bahwa dari 13 jenis  minyak hasil tanaman, tidak satupun yang dibumbui kata-kata “Crude” atau “minyak mentah”, apakah itu minyak jagung, minyak bunga matahari, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak kanola  dan minyak nabati lainnya.

Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia mengkampanyekan  “Minyak Sawit” tanpa kata “Crude”.  Apalagi ada stigma pembuatan minyak sawit melalui “wet  process” dikenal kotor dan tidak higienis.  Semua stigma tadi harus diubah dan minyak sawit sebenarnya adalah “Hadiah Tuhan Untuk Kemanusiaan”  dan ini adalah “Pohon Yang Luar Biasa (Incredible trees)”.  Betapa tidak, pohon sawit bisa menghasilkan 179 jenis produk turunan, baik produk makanan, produk nutrisi maupun untuk energi biomassa.

Di Indonesia saat ini, ada 16,2 juta orang bekerja di industri sawit. Berarti total ada sekitar 64,8 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri sawit dari hulu sampai hilir, 42% diantaranya petani sawit rakyat.

Sejak pertama kali pohon sawit ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848, maka perkebunan sawit mulai bermunculan di Indonesia dan pada tahun 1922 Pabrik Sawit pertama didirikan di Sungai Liput, Kab.Aceh –Tamiang. Pada tahun 1990, riset biodiesel dimulai dan pada tahun 2005 menghasilkan biodiesel B-10 (10% campuran minyak sawit), B-25 (2016) dan saat ini sudah ada biodiesel B-30, alias 30% minyak sawit dan 70% minyak solar.  Pada tahun 2023 luas kebun sawit di Indonesia mencapai 16,4 juta hektar.

Menurut Sahat, dengan sentuhan teknologi dan inovasi serta regulasi progresif yang digariskan Pemerintah, maka pada 2028 diproyeksikan produksi minyak sawit Indonesia bisa mencapai 71,8 juta ton, atau naik  30,8% dibanding produksi tahun 2023, dengan nilai ekonomi mencapai 107 miliar dolar AS.

Inovasi teknologi perlu diterapkan lewat penggantian sistem produksi minyak sawit dari “wet process”, yang mengandalkan uap air bertekanan tinggi dan “sterilisasi” untuk memisahkan minyak sawit dari buah sawit dan produk ikutan lainnya, menuju “dry process”.

Pada “dry process”, yang tidak menggunakan uap air lagi, melainkan menggunakan sistem mekanis.  Minyak sawit yang dihasilkan bukan CPO tapi Degummed Palm Mesocarp Oil (DPMO), yang lebih murni. Vitamin dan nutrisi pada minyak sawit DPMO akan tetap tinggal sehingga bisa dipakai untuk membuat beragam fitonutrient, seperti: Carotenoids, Vitamin E, Squalene , Phytosterols, Omega 6 dan Omega 9.

Komposisi asam lemak pada minyak sawit hasil “dry process” setara dengan air susu ibu (ASI) sehingga sangat sesuai untuk bayi dan anak kecil.  Dengan menerapkan  teknik methane capture pada dry process maka DPMO yang dihasilkan akan juga memiliki tingkat emisi karbon yang rendah.

Dibanding minyak nabati lainnya, minyak sawit memiliki tingkat produktivitas tinggi, yaitu mencapai 4.5 ton/hektar/tahun.  Lebih tinggi dari minyak kanola dengan produktivitas 0,69 ton/hektar/tahun, atau minyak bunga matahari yang produktivitasnya 0,3 – 0,6 ton/hektar/tahun, minyak kedelai dengan produktivitas  0,3 – 0,4 ton/hektar/ tahun, minyak jagung 0,2 – 0,5 ton/hektar/ tahun dan minyak kelapa dengan produktivitas 1,5 – 2,5 ton/hektar/tahun.

Oleh sebab itu, industri sawit di Indonesia perlu didukung regulasi yang tepat, di samping untuk meningkatkan produksi di dalam negeri, juga menghadapi tantangan beragam peraturan perdagangan luar negeri. Tantangan itu termasuk beragam hambatan perdagangan seperti regulasi deforestasi di Uni Eropa, juga beragam sertifikasi, seperti International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Apalagi harga minyak sawit Indonesia sangat bersaing dibanding produk minyak nabati lainnya. Sebagai contoh, harga minyak kanola di eropa harganya sekitar US$ 200 lebih tinggi per-tonnya dibandingkan minyak sawit.

Regulasi di dalam negeri juga perlu akomodatif  untuk mendukung pengembangan industri sawit menjadi superior, antara lain tentang Kebijakan One Map Policy, percepatan implementasi UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja utamanya yang berkaitan dengan keterlanjuran lahan sawit di kawasan hutan, serta diharapkan Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (Keppres No.9/Th.2023)  dapat segera menyelesaikan tugasnya. ***