Indonesia Ancam Balik Norwegia

Perang dagang terhadap minyak sawit (CPO) dan produk turunannya sudah tidak bisa ditolerir. Bahkan, Norwegia, yang selama ini bekerjasama erat dalam penurunan emisi gas rumah kaca dengan Indonesia, ikut mengancam ekspor sawit nasional. Indonesia menyatakan siap membalas dan Letter of Intent (LoI) REDD+ pun terbuka untuk dievaluasi.

Keunggulan kelapa sawit nasional terus dirongrong dan mendapat tekanan kuat negara-negara pasar. Bahkan, hambatan ekspor atas nama lingkungan — yang jelas-jelas sebagai perang dagang — sudah menimbulkan kerugian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dua bulan terakhir (Januari-Februari 2018) neraca perdagangan RI mengalami defisit 872 juta dolar AS. Padahal, di dua periode yang sama tahun lalu, neraca perdagangan surplus 2,69 miliar dolar AS

Pukulan terbesar memang datang dari hambatan dagang terhadap CPO dan produk turunannya, terutama biodiesel. Di pasar AS, ekspor biodisel Indonesia sedang dituduh dumping hingga dikenakan bea masuk antidumping, sementara di India ekspor CPO turun 34,55% dari 543,359 juta dolar AS pada Januari menjadi 348,266 juta dolar AS pada Februari. Penurunan ke India akibat terus naiknya bea masuk CPO dan produk turunannya masing-masing 44% dan 54%.

Namun, yang mengejutkan adalah Norwegia. Mitra Indonesia dalam upaya negeri ini mengurangi emisi gas rumah kaca dari kawasan hutan dan gambut melalui skema REDD+ ternyata ikut-ikutan menggebuk. Mereka siap mengimplementasikan larangan penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit. “Saya dapat kabar rencana pelarangan itu dari duta besar kita di sana. Saya akan segera panggil Duta Besar Norway (Norwegia) untuk mengecek kebenarannya,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita usai membuka Munas X Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Jakarta, Rabu (14/3/2018).

Langkah Norwegia dinilai tidak adil dan memicu perang dagang. “Ini sudah tidak benar kalau begini, dan kita akan sampaikan kepada mereka ‘you start trade war’. Perang dagang dimulai kalau sudah seperti itu karena sangat tidak adil,” tegasnya, seraya menyebut Indonesia siap melarang masuknya impor ikan salmon dari Norwegia. Apalagi, selama ini neraca dagang RI dengan Norwegia selalu defisit.

Suara keras juga disampaikan Pelaksana Tugas (Plt.) Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Agus Justianto. Dia mengingatkan, jika Norwegia mengimplementasikan kebijakan yang mendiskriminasi produk kelapa sawit, maka hal itu bisa saja mempengaruhi berbagai kerjasama yang sudah terjalin dengan Indonesia. Termasuk LoI untuk pengurangan emisi GRK dari kawasan hutan. “Bisa saja (LoI) dievaluasi,” tegasnya di Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Menteri LHK Siti Nurbaya juga kecewa, mengingat Norwegia adalah negara yang banyak kerjasama dengan Indonesia terkait lingkungan hidup, kehutanan dan perubahan iklim. Harusnya mereka memahami apa saja yang telah dilakukan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. “Seharusnya Norwegia mengerti apa yang kita lakukan. Karena Norwegia adalah negara yang paling dekat,” katanya, Kamis (15/3/2018). AI

Baca juga:

Pemerintah Norwegia Akui Masih Evaluasi

Enggar: Ini Sudah Perang Dagang