Program pengembangan bahan bakar nabati (BBN) kini terdengar “sayup-sayup lembut”, kalah oleh ingar-bingar pemberitaan isu lain. Padahal, program BBN sangat vital bagi perekonomian domestik dan merupakan kartu “truf” dalam membangun ketahanan energi nasional.
Di atas kertas, seharusnya Indonesia bisa sukses melaksanakan program pengembangan BBN. Itu karena Indonesia merupakan negeri yang paling kaya BBN. Indonesia kaya BBN, mulai dari buah sawit, buah jarak pagar, singkong, jagung, enau, tebu, kelapa, jatropha, kemiri sunan, dan sweet sorghum. Belakangan, masyarakat juga dihebohkan oleh hasil penelitian bahwa buah kemiri sunan atau Reutealis trisperma (Blanco Airy Shaw) sangat potensial untuk dikembangkan menjadi BBN.
Kurang bergemanya program BBN mencuatkan kekhawatiran di masyarakat bahwa program tersebut kembali kandas seperti beberapa tahun silam.
Pemerintah sendiri tahun ini telah menetapkan mandatori penggunaan BBN sebagai campuran BBM bersubsidi jenis solar. Pemerintah telah menaikkan porsi penggunaan BBN yang terdiri atas biodiesel dan bioethanol dari 5 persen menjadi 10 persen, kemudian ditingkatkan lagi menjadi 20 persen.
Program pengembangan BBN perlu digenjot karena program ini tak hanya mampu menciptakan ketahanan energi nasional, tapi juga memberikan nilai tambah tinggi bagi perekonomian rakyat dan mampu mensejahterakan petani. Sebagai contoh, harga minyak sawit mentah (CPO) dunia bahkan bisa melonjak seiring meningkatnya penggunaan CPO untuk biodiesel, sehingga kinerja ekspor nonmigas nasional dapat terkatrol.
Selama ini, program pengembangan BBN mandek karena tidak adanya jaminan pasokan dari produsen bahan baku (perkebunan) ke industri pengolahan (pabrik).
Persoalan lain pengembangan BBN adalah harga bahan baku yang tidak kompetitif/ekonomis dan rendahnya subsidi BBN yang dikucurkan pemerintah.
Untuk mendorong percepatan program pengembangan BBN, ada baiknya pemerintah menerapkan pemberian insentif bagi pengembangan BBN, terutama BBN berbasis perkebunan rakyat. Namun, usulan insentif itu harus feasible, aplikabel, dan sesuai kebutuhan.
Pemerintah juga dapat mendorong institusi perbankan dan keuangan nasional untuk bisa menyediakan modal kerja bagi para petani yang menanam tanaman bahan baku BBN seperti sawit, jarak pagar, tebu, jatropha, kemiri sunan, sweet sorghum, ketela/singkong, dan jagung.
Selain itu, pengembangan BBN juga dapat dilakukan dengan melibatkan BUMN-BUMN perkebunan dan swasta. Mereka dapat didorong untuk menggandeng para petani untuk mengembangkan dan membudidayakan komoditas bahan baku pembuatan BBN, baik yang berbasis buah sawit, maupun yang lainnya.
Jika program BBN dapat berjalan dengan mulus, dipastikan Indonesia tidak akan lagi menjadi negara pengimpor minyak bumi yang selama ini menjadi penyebab utama besarnya nilai impor Indonesia selama ini.