Pemerintah merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Beleid itu memberi peluang mendapat pengakuan bagi mereka yang mengklaim kepemilikan lahan di kawasan hutan. Akankah kawasan hutan hilang besar-besaran?
Perpres No. 88/2017 diteken Presiden Joko Widodo pada 6 September 2017 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 11 September 2017. Perpres dirilis dengan pertimbangan untuk menyelesaikan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.
Pelaksana Tugas Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuyu Rahayu menyatakan, perpres tersebut bisa memberi kepastian atas lahan yang dikuasai yang ada di dalam kawasan hutan. “Ini juga berarti kepastian kawasan hutan akan menjadi lebih baik,” kata dia di Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Sekadar mengingatkan, ada regulasi di tingkat yang lebih rendah untuk menyelesaikan pengusaaan lahan di kawasan hutan. Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.79 tahun 2014, No PB.3/Menhut-II/2014, No 17.PRT/M/2014, No 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Dalam Kawasan Hutan.
Perber ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan penerbitan Pentunjuk Pelaksanaan (juklak) Kegiatan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dalam Kawasan Hutan. Terbitnya juklak tersebut sempat bikin heboh. Pasalnya, koordinator untuk kegiatan tersebut ada di Kementerian ATR/BPN meski wilayah yang akan diinventarisasi sesungguhnya menjadi yurisdiksi Kementerian LHK.
Kehebohan juga tak lepas dari persyaratan yang mudah untuk mendapat pengakuan atas tanah yang dikuasai. Selain dikuasai 20 tahun berturut-turut, bukti yuridis untuk mendapat pengakuan bisa sangat sederhana, misalnya surat keterangan riwayat tanah (SKT) yang diterbitkan Kepala Desa.
Kehutanan jadi kiblat
Dalam Perpres 88/2017, yurisdiksi sektor kehutanan dijadikan kiblat. Berdasarkan ketentuan itu, penguasaan tanah yang akan diselesaikan bisa berada pada seluruh fungsi kawasan hutan. Baik hutan produksi, hutan lindung, bahkan hutan konservasi. Hanya saja, pola penyelesaiannya akan berbeda-beda tergantung tipe penguasaan lahannya.
Sesuai pasal 8 pada Perpres 88/2017, pola penyelesaian bisa berupa pengeluaran bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan (enclave). Bisa juga dilakukan dengan tukar-menukar kawasan hutan. Pola lain adalah dengan pemberian akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial dan melakukan resettlement (pemindahan).
Pola resettlement adalah satu-satunya opsi untuk penyelesaian penguasaan lahan di kawasan hutan konservasi.
Selain tipe penguasaan lahan, yang juga ikut mempengaruhi pola penyelesaian yang akan diambil adalah luas kawasan hutan yang harus dipertahankan. Berdasarkan Perpres 88/2017, luas kawasan hutan harus tetap dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, dan fungsi pokok kawasan hutan (lihat grafis).
Dalam Perpres juga tersedia klausul tentang pemberian pengakuan atas lahan yang telah dikuasai selama 20 tahun. Meski ada klausul tersebut, Yuyu memastikan tak semua klaim akan serta merta mendapat pengakuan. “Akan ada inventarisasi dan verifikasi terlebih dahulu,” tegasnya.
Lewat inventarisasi dan verifikasi itu, hanya mereka yang benar-benar menguasai lahan sejak lama yang bisa mendapat pengakuan. Ini sekaligus menutup pintu pada klaim atas tanah yang datang dari perambah hutan yang baru datang belakangan. Apalagi, lanjut dia, sesuai ketentuan dalam Perpres, tak semua penguasaan lahan di kawasan hutan bisa mendapat legalisasi.
Yuyu menjelaskan, nantinya akan disusun Rencana Aksi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Rencana aksi sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Menurut Yuyu, lewat tim percepatan, persoalan penguasaan lahan di kawasan hutan diharapkan tak lagi berlarut-larut. Di sisi lain, keterlibatan banyak Kementerian/Lembaga pada tim tersebut diharapkan juga bisa memberi kontribusi pada pembangunan masyarakat pada lahan hutan yang akhirnya dilegalisasi.
“Pemerintah ingin pembangunan masyarakat di kawasan hutan dilakukan secara benar, komprehensif dan ada dukungan dari sektor lain,” katanya. Sugiharto
Maksimal 4,8 Juta Ha Hutan yang Dilepas
Adanya Perpres 88/2017 dengan salah satu klausul tentang legalisasi lahan di kawasan hutan yang sudah dikuasai lebih dari 20 tahun menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya kawasan hutan dalam skala yang cukup luas.
Namun, Plt. Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuyu Rahayu meredam kekhawatiran tersebut. Meski mengakui belum ada data pasti tentang penguasaan lahan di kawasan hutan, namun Yuyu menyatakan, luas lahan yang dikuasai tidak akan lebih luas dari yang sudah dilakokasikan pemerintah untuk mendukung penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
“Luas kawasan hutan yang dialokasikan untuk TORA sudah mengantisipasi penguasaan lahan di dalam kawasan hutan,” katanya.
Baca juga: Perpres Pelepasan Hutan Untuk Rakyat, Titik Kritis Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Asal tahu, Kementerian LHK siap melepas kawasan hutan seluas 4,8 juta hektare (ha) sebagai TORA. Kesiapan itu tertuang dalam Surat Keputusan tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan Untuk Penyediaan Sumber TORA No SK.180/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya 5 April 2017.
Yuyu menjelaskan, kawasan hutan yang dialokasikan untuk TORA memang sedikit lebih luas dari target yang ada pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang seluas 4,1 juta ha. “Karena di lapangan akan ada verifikasi lagi. Jadi, untuk memastikan lahan dalam TORA tetap minimal 4,1 juta ha, maka kami alokasikan sedikit lebih luas,” katanya.
Rincian kawasan hutan yang disiapkan untuk reforma agraria adalah alokasi 20% untuk kebun masyarakat seluas 437.937 ha dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, program pencetakan sawah baru (65.363 ha), dan pemukiman transmigrasi (514.909 ha), pemukiman, fasilitas umum dan sosial (439.116 ha).
Selain itu, lahan berupa lahan garapan sawah dan tambak rakyat (379.227 ha), pertanian lahan kering yang menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat (847.038 ha), dan yang paling luas adalah dari Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak produktif (2,1 juta ha).
Yuyu juga memastikan, areal HPK seluas 2,1 juta ha yang bisa dilepas saat ini dalam kondisi tak berhutan. Ini bisa menepis tudingan soal deforestasi jika nantinya lahan tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas unggulan nasional seperti sawit. “Saat ini kondisinya adalah belukar dan alang-alang,” katanya.
Yuyu juga menyatakan, pemanfaatan lahan TORA untuk kebun sawit oleh masyarakat memang tidak dilarang. Meski demikian, Yuyu menegaskan, arahan Kementerian LHK untuk pemanfaatan pada lahan tersebut bukanlah untuk perkebunan sawit. “Bisa untuk komoditas lain, baik kayu maupun non kayu,” katanya.
Alokasi lahan pada peta indikatif ini menjadi acuan untuk reforma agraria di kawasan hutan. Nantinya, peta indikatif ini akan direvisi setiap enam bulan sekali. Yuyu menjelaskan, proses penyelesaian alokasi lahan untuk reforma agraria tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan. “Namun untuk rakyat, tata caranya akan dipermudah dan dipercepat,” katanya. Sugiharto
Perpres 88/2017
Pasal 9
(1) Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi dilakukan melalui resettlement.
(2) Pola penyelesaian pada kawasan hutan dengan fungsi konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa memperhitungkan luas kawasan hutan dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi.
Pasal 10
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi:
a. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement;
b.dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pasal 11
(1) Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi:
a. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement;
b. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
c. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
d. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pasal 12
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi:
(1) a. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau resettlement;
b. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pasal 13
(1) Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi:
a. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
b. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
c. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.