Uni Eropa (UE) terus menyerang produk kelapa sawit Indonesia dari segala jurusan. Bahkan, kekalahan di forum WTO terkait pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) untuk produk biodiesel Indonesia tidak menghentikan aksi sepihak UE. Kini, giliran Parlemen Uni Eropa menggunakan isu lingkungan dengan melakukan politik diskriminasi yang tidak masuk akal, melarang biodiesel berbahan baku sawit pada tahun 2021.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan kabar gembira bahwa Indonesia berhasil memenangkan sengketa biodiesel dengan Uni Eropa di WTO. “Hasil akhir putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas UE,” ujar Mendag dari Islamabad, Pakistan, akhir pekan lalu.
Menurut Enggar, keputusan WTO ini merupakan kemenangan telak Indonesia dan bakal membuka lebar akses pasar dan memacu kembali kinerja ekspor biodiesel ke UE. Maklum, sejak 2013 sampai 2016, ekspor biodiesel Indonesia ke UE rontok 42,84%, dari 649 juta dolar AS (2013) tinggal 150 juta dolar AS (2016).
Namun, kabar baik itu langsung dibayangi ancaman yang lebih mematikan. Parlemen Uni Eropa, melalui pemungutan suara pada 17 Januari 2018, merevisi Renewable Energy Directive (RED) dan sepakat untuk menghentikan penggunaan biofuel dari tanaman makanan pada tahun 2030. Sialnya, untuk biofuel berbasis minyak sawit mentah (CPO), penghentian penggunaannya dipercepat menjadi tahun 2021. Dengan kata lain, jika proses politik terus berjalan mulus, maka tahun 2021 (yang hanya 3 tahun dari sekarang), biodiesel Indonesia terlarang total dijual di blok ekonomi kuat ini.
“Kebijakan itu sangat diskriminasi,” tegas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, di Jakarta, Jumat (26/01/2018).
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guérend mengatakan, pemungutan suara yang dilakukan Parlemen UE terhadap biofuel berbasis tanaman makanan, terutama CPO, dilakukan karena komoditas tersebut tidak memberikan kontribusi besar terhadap upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Penggunaan biodiesel dari sawit akan mengikis luas kawasan hutan (deforestasi), lahan gambut dan lahan basah karena perluasan perkebunan dan pertanian. “Kondisi ini akan menyebabkan emisi gas rumah kaca yang besar,” ujarnya. Tapi dia mengaku keputusan yang diambil Parlemen UE itu belum keputusan final.
Indonesia memang tidak boleh main-main dengan UE karena ini pasar terbesar kedua setelah India. Itu sebabnya, berbagai cara ditempuh pemerintah untuk membatalkan keputusan diskriminatif tersebut. “Protes terhadap keputusan itu telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri,” jelas Oke. Jalan lain harus segara dilakukan. Di luar retaliasi, Indonesia juga perlu membuka pasar baru, termasuk menempuh pola barter seperti yang dilakukan dengan Rusia. AI