Jangan Berburu Rente Naikkan PNBP

foto: Antara

Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali membuat resah nelayan dan pengusaha perikanan tanah air. Dengan alasan pemasukan negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan tangkap terlalu rendah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 Tahun 2021, sekaligus mengubah aturan mengenai produktivitas kapal penangkap ikan dan harga patokan ikan (HPI). Buntutnya, PNBP naik ratusan persen dan nelayan pun menggelar unjuk rasa.

Alkisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menganggap PNBP dari subsektor perikanan tangkap terlalu kecil. Pasalnya, dari total nilai produksi perikanan tangkap nasional tahun 2020 sebesar Rp224,78 triliun, PNBP yang dikumpulkan hanya Rp600 miliar atau 0,26%. Padahal, jika mau, katakan 5% saja, PNBP perikanan tangkap bisa menyumbang Rp12 triliun. Dari pemikiran inilah akhirnya sejumlah aturan main dirombak. Yang paling utama adalah PP No. 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada KKP, yang diubah dengan PP No. 85/2021 dan mulai berlaku 21 September 2021.

Namun, tak cukup merombak PP yang mengatur tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP), Trenggono juga mengubah dua keputusan menteri, yakni tentang produktivitas kapal penangkap ikan serta harga patokan ikan (HPI), melalui Keputusan MenKP No.87/2021 dan Keputusan MenKP No. 86/2021. Nah, tarif PHP, produktivitas kapal ikan serta HPI adalah tiga komponen yang menentukan besaran PNBP. Akibatnya dahsyat. Per 21 September 2021, nelayan harus membayar kenaikan pungutan sampai ratusan persen.

Yang paling telak adalah kenaikan HPI. Bayangkan, jika sebelumnya harga ikan tuna sirip biru harga patokannya Rp27.000/kg, kini nelayan harus membayar ikan yang sama Rp80.000/kg untuk grade A dan Rp40.100/kg untuk grade B atau naik hampir 3 kali lipat. Yang parah harga cumi. Sebelumnya, harga patokan cumi hanya Rp16.000/kg. Sekarang, nelayan harus membayar Rp75.000/kg atau meroket 468% lebih.

Tak aneh, aksi penolakan nelayan pun terjadi dan terus meluas. Menurut Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tegal, Riswanto, terbitnya PP 85/2021 terkait PNBP beserta aturan turunannya sangat memberatkan pelaku usaha dan berdampak pada berkurangnya pendapatan bagi hasil nelayan ABK. Belum lagi berbagai persoalan lain yang tak kalah pelik. “Biaya operasional yang setiap tahun bertambah naik, kendala yang harus dipikirkan dan dihadapi serta tetap dijalankan oleh pelaku usaha perikanan tangkap sendiri dengan beban sendiri dan segala risiko ditanggung sendiri demi keberlanjutan pendapatan orang banyak,” ujarnya, Kamis (7/10/2021).

Aksi protes nelayan ini juga membuat khawatir praktisi perikanan Hendra Sugandhi. Jika aksi penolakan terus meluas, kegiatan penangkapan ikan dalam negeri pasti terganggu. “Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan di dalam negeri kemungkinan bisa menurun drastis,” ujarnya. Yang ironis, kenaikan PNBP sebagai prioritas KKP 2021-2024 sebetulnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun, alih-alih mendapat sambutan, nelayan justru malah terancam.

Itu sebabnya, Sekjen Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), Nimmi Zulbainarni menilai keliru jika PNBP dijadikan tujuan untuk meningkatkan pendapatan. PNBP justru instrumen untuk mengendalikan pemanfaatan sumberdaya perikanan, dan pemerintah adalah wakil publik untuk mengendalikan pemanfaatannya. “Artinya, pemerintah tak boleh jadi pemburu rente dalam penerapan PNBP, yang akan membuat orang enggan berinvestasi di sektor ini,” ujar Nimmi dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu. AI