Balai Konservasi Sumber Daya Alam, sering disingkat sebagai Balai KSDA atau BKSDA, adalah unit pelaksana teknis setingkat eselon III (atau eselon II untuk balai besar) di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Instansi ini di antaranya bertugas untuk mengelola kawasan-kawasan konservasi, khususnya hutan-hutan suaka alam (suaka margasatwa, cagar alam) dan taman wisata alam. Selain itu Balai KSDA juga bertanggung jawab mengawasi dan memantau peredaran tumbuhan dan satwa yang dilindungi di wilayahnya; termasuk memantau upaya-upaya penangkaran dan pemeliharaan tumbuhan dan satwa dilindungi oleh perorangan, perusahaan dan lembaga-lembaga konservasi terkait.
Tugas yang tidak ringan dan perlu tanggung jawab yang besar. Karena tugas ini berpotensi untuk bersinggungan dengan banyak hal, banyak kepentingan, baik dari sifat manusia ataupun pekerjaan yang lebih mementingkan ambisi dan ekonomi dibanding untuk menjaga alam dan lingkungan. Tidak mudah, tetapi tugas yang besar ini tetap dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh Untung Suripto ST, MT, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta. Bagaimana Untung menjalani aktivitasnya, Agro Indonesia berkesempatan berbincang dengannya. Berikut kutipannya.
Tugas yang diemban Anda sangat berat, bersinggungan banyak kepentingan, bagaimana mengatasinya?
Memang banyak hal di lapangan yang perlu penanganan, tetapi bila bersinggungan dengan kepentingan yang berbeda, akan dikembalikan kepada aturan yang berlaku karena semua ada aturannya. Ada kaidah konservasi dan tidak semua hal di lapangan ada sanksi pidana, kadang juga berupa imbauan.
Kaidah konservasi? Apa maksudnya?
Misal ada yang suka melakukan penyilangan, kita imbau supaya kemurnian jenis dijaga. Jelas nama latinnya, tetapi bila disilangkan, dikawinkan nama latinnya apa, itu salah satu bentuk konservasi. Contoh ayam hutan dan ayam kampung disilangkan, jadi bekisar. Ayam hutan dan ayam kampung, jelas genetiknya. Bekisar genetik apa? Ayam hutan bukan, ayam kampung bukan. Jadi dijagalah supaya tetap ada kemurnian genetik.
Apakah ada larangan atau sanksi untuk penyilangan?
Di beberapa tempat banyak satwa yang tidak dilindungi kadang disilangkan. Disilangkannya satwa yang tidak dilindungi memang tidak ada pidana. Sanksi pidana yang umumnya diketahui adalah menguasai, memelihara, membawa, mengatur, menjual, satwa dilindungi. Karena untuk penyilangan satwa yang tidak dilindungi tidak ada sanksi, kami hanya mengimbau, juga kepada pemerhati konservasi.
Kalau disilangkan, berarti akan kehilangan genetik, kemurniannya, dan suatu saat bisa punah. Perlahan lahan kita sampaikan, supaya bisa menjaga kemurnian genetik. Juga untuk menghilangkan image “komunitas” identik dengan penyilangan-penyilangan.
Bagaimana dengan masyarakat atau lembaga yang melakukan konservasi?
Ikuti alur yang ada, peraturan yang ada, jika ingin melakukan penangkaran, izin penangkaran. Kalau lebih besar, untuk konservasi ada lahan 2 ha. Bisa dicari, dari lahan desa atau dimana, jadi juga tidak dipenggal penggal. Contoh Kulon Progo menggunakan lahan kas desa, ada perjanjian, Moyudan juga dengan lahan kas desa. Ada daftar satwa, ajukan.
Izin penangkaran lebih sederhana, Bahkan di-Juknis belum ada ukuran minimal kandang, Kalau Lembaga Konservasi (LK) ada persyaratan 2 ha. Dulu dengan Permenhut No P.31/MENHUT-II/2012 sudah dicabut disempurnakan dengan Peraturan Menteri LHK No P.22/MENLHK/SETJEN/.KUM.1/5/2019 dan sekarang harus link ke OSS
Untuk jenis satwa, bisa per kelas, misal kelas Ampibhi, semua Ampibhi, kelas Aves sendiri , dan tidak bisa dicampur. Misal Amphibi dengan Aves, dalam 1 perizinan.
Kalau seperti kampung satwa, bagaimana?
Aturannya adalah LK, khusus atau umum. Taman satwa Kulon Progo komersil bisa tarik tiket. Ada aspek legal hukum. Penarikan tiket tidak ada dasar hukum bisa pungli.
Ada dasar hukum untuk suatu wilayah yang membentuk kampung satwa. Bila tidak ada dasar hukumnya, yang ditakutkan kelak akan timbul masalah atau bisa jadi masalah. Kalau tidak ada masalah aman aman saja. Kalau ada masalah, ada kasus yang muncul, sumbernya bisa digali dari berbagai hal. Bisa karena tidak ada perizinan, atau karena punglinya, dan sebagainya.
Untuk kampung satwa, bisa dimulai dengan izin penangkaran. Bisa badan usaha, baik negara atau swasta, koperasi atau perorangan. Regulasi terendah yang bisa dilakukan adalah izin penangkaran. Yang bisa dimanfaatkan adalah satwa hasil penangkaran. Jadi jika tidak ada dasar hukumnya, kampung satwa lebih pada brand, nama, sebagai pecinta satwa.
Adakah masalah dengan masyarakat?
Masyarakat justru banyak membantu, kami sangat mengapresiasi masyarakat sangat membantu kegiatan BKSDA. Banyak hal diluar yang masyarakat ikut andil, memantau. Mereka ikut juga membantu, termasuk jika ada yang mereka pandang menganiaya binatang, mereka lapor kepada kita sehingga kita bisa tindak lanjuti.
Kita punya call center untuk pelayanan, banyak laporan masuk, seperti burung hantu, di obyek wisata, sebagai tontonan, sebagai objek, ternyata ada pengunjung yang juga pecinta satwa. Dan melapor kepada kita. Setiap laporan kita tindak lanjuti. Di tempat wisata, pengelola terpisah dengan pemilik. Jadi yang punya burung “Ngamen” di situ. Pengelola tidak mengetahui. Tetapi sepanjang tidak dilindungi lebih kepada imbauan, karena juga ada juga penularan hewan dari pengunjung ke manusia.
Masyarakat juga ada yang menyerahkan satwa kepada kita. Kita punya Stasiun Flora Fauna Bunder. Kalau bisa kita titipkan di sana, kalau tidak bisa di stasiun kita, misal buaya kita titipkan ke ke LK atau YKAY KP dan melepas satwa juga harus sesuai habitatnya,
Ini yang memang kita harapkan, bantuan masyarakat. Karena bantuan mereka terhadap tugas kami sangat membantu untuk kelestarian lingkungan. Kemitraan seperti inilah yang kita harapkan, baik secara individu, komunitas ataupun dengan instansi instansi. Meski kita ada sosialisasi yang terjadwal, tidak semua bisa terjangkau. Makanya kita butuh mitra, seperti komunitas, instansi, media, dan berbagai pihak.
Seperti contoh, misal ada kebakaran hutan, kalau masyarakat di sana dan instansi di sana tidak membantu turun tangan, dan hanya mengandalkan BKSDA, kebakaran seperti itu sulit diatasi. Tetapi dengan kesadaran seperti itu, kemitraan seperti itu, masalah bisa diatasi. Kami juga dibantu dengan temuan temuan masyarakat. Karens kalau hanya mengandalkan tenaga yg ada di kantor tidak akan tercover. Contoh lagi dengan bandara, jika kemitraan baik, alur barang masuk dab keluar bisa termonitor.
Visi misi Anda?
Kita tidak bisa sendiri. berhubungan dengan yang lain, menjalin hubungan dan kerjasama dengan baik.
Anna Zulfiyah