Kebijakan Perdagangan AS Sulit Ditebak

Industri plywood

Pelaku usaha perkayuan bersiap menghadapi ancaman perang dagang yang didengungkan Amerika Serikat (AS) di bawah kendali Presiden Donald Trump. Untuk itu, upaya memperkuat jalur perdagangan yang sudah terbangun akan dilakukan. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan daya saing pun sangat diharapkan.

Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional, Gunawan Salim menyatakan, pelaku usaha harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan diambil oleh AS di bawah kepemimpinan Presiden Trump.

“Terus terang, AS dengan Presiden Trump saat ini sulit ditebak langkahnya. Kalau (neraca perdagangan) mengalami defisit banyak, langsung tambah bea masuk,” kata dia ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (14/7/2018).

AS memang termasuk salah satu pasar utama produk kayu Indonesia. Mengacu data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), AS berada di posisi ketiga negara tujuan ekspor produk kayu Indonesia pada tahun 2017 lalu, dengan nilai perdagangan mencapai 1,13 miliar dolar AS. Sementara total nilai ekspor produk kayu Indonesia tercatat 10,7 miliar dolar AS.

Salah satu produk yang penguasaan pasarnya cukup besar di AS adalah panel kayu. Berdasarkan data Departemen Pertanian AS (USDA), AS mengimpor produk kayu lapis dari Indonesia sebanyak 372.051 m3 dengan nilai mencapai 224,9 juta dolar AS pada tahun 2017.

Catatan itu menempatkan Indonesia di posisi kedua di bawah China. Negeri tirai bambu itu menguasai 48% impor AS untuk produk kayu lapis dengan rekor 1,3 juta m3 senilai 809 juta dolar AS.

Yang pasti, AS sudah mengenakan bea masuk besar hingga ratusan persen untuk produk-produk kayu lapis China sebagai bagian dari kampanye perang dagang Presiden Trump. “Untuk kayu lapis Indonesia saat ini belum ada (tambahan bea masuk oleh pemerintah AS). Tapi muncul kekhawatiran (akan dikenakan tambahan bea masuk) seperti yang sudah terjadi pada produk besi dan alumunium,” kata Gunawan Salim.

Kekhawatiran itu seiring dengan proses review daftar produk Generelized System Preferences (GSP) oleh pemerintah AS. GSP adalah fasilitas pengurangan bea masuk atau pajak sebuah produk yang diberikan pemerintah AS.

Sejauh ini, ada produk kayu Indonesia masuk dalam daftar produk yang sejatinya bisa dipertimbangkan memperoleh fasilitas GSP.  Salah satunya adalah kayu lapis dengan ketebalan maksimum 6 mm yang terbuat dari kayu tropis (HS 4412.31.41). Pada tahun 2017, ekspor kayu lapis HS 4412.31.41 dari Indonesia sebesar 176,3 juta dolar AS, dengan penguasaan pasar mencapai 80,1%. Selain produk tersebut, ada juga produk plywood dan flooring yang terbuat dari bambu.

Produk-produk kayu lapis sudah lama tak pernah masuk dalam daftar produk yang bisa menerima fasilitas GSP dan selalu dikenakan bea masuk normal oleh pemerintah AS, yaitu sekitar 8%

Pelaku usaha kayu lapis, ungkap Gunawan Salim, sudah mengajukan petisi untuk memperoleh fasilitas GSP melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag). “Tapi kami enggak yakin juga (dikabulkan), karena market share yang besar,” katanya.

Alih-alih mendapat pengurangan, bukan tak mungkin jika produk kayu Indonesia malah mendapat tambahan bea masuk karena kebijakan Presiden Trump yang tak pandang bulu. Untuk mengantisipasinya, pelaku usaha perkayuan akan bergabung dengan misi dagang yang difasilitasi pemerintah cq. Kemendag.

Menurut Gunawan, Kemendag berharap, melalui forum bisnis itu eksportir dan importir Indonesia bisa memperkuat jejaring dengan mencari dukungan dari klien di AS untuk mencegah pengenaan tambahan bea masuk oleh pemerintah AS.

“Kami akan menjelaskan bahwa plywood Indonesia bukan ancaman bagi AS,” kata Gunawan.

Pasalnya, produk kayu lapis yang diproduksi Indonesia bukanlah produk sejenis yang juga bisa diproduksi oleh AS. Jadi, dipastikan tidak ada persaingan. Selain itu, produk kayu lapis Indonesia sesungguhnya juga menjadi salah satu bahan baku untuk industri pengolahan lanjutan di AS, seperti industri pembuatan karavan mobil.

Pengaruhi kinerja

Sementara itu, Ketua Asosiasi Industri Kayu Olahan dan Kayu Gergajian Indonesia (ISWA) Soewarni menyatakan, kampanye perang dagang yang dikibarkan Presiden AS Donald Trumps akan berpengaruh pada kinerja ekspor produk kayu Indonesia. “Sedikit banyak, pasti ada pengaruhnya,” kata dia.

Untuk mengantisipasinya, Soewarni berharap pemerintah bisa memberi bantuan agar produk kayu di Indonesia mengalami peningkatan daya saing. Caranya dengan bersunguh-sungguh menghapus ekonomi biaya tinggi.

Menurut Soewarni, komitmen untuk membuat iklim usaha yang kondusif sejatinya sudah ada di pemerintah pusat di bawah kendali Presiden Joko Widodo. Sayangnya, komitmen itu seringkali mentok di level pemerintah daerah.

Contoh saja, kebijakan untuk menghapus persyaratan izin gangguan (HO) dan SIUP dalam pengurusan sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Namun, kenyataanya di daerah, hal itu tidak dilaksanakan karena adanya peraturan daerah yang tetap mewajibkannya. “Presiden memang pangkas perizinan, tapi di bawah kurang jalan,” kata Soewarni.

Soewarni juga berharap pemerintah bisa mengundang investor lebih banyak ke tanah air, sehingga pengolahan bahan baku kayu menjadi produk akhir bisa dilakukan sepenuhnya di tanah air. Untuk itu, proses perizinan harus dibuat sederhana dan tak berbelit-belit.

Dia menyatakan, sudah ada langkah bagus dari pemerintah dengan menerbitkan kebijakan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Eleketronik (online single submission/OSS). Namun, praktiknya tentu masih butuh pembuktian. “Kita tahu ada perizinan satu pintu. Memang satu pintu, tapi mejanya banyak,” katanya. Sugiharto

Produk Kayu Andalkan SVLK

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengandalkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menjawab tantangan perang dagang yang dikibarkan Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan Presiden Donald Trump. Berbekal SVLK, produk kayu Indonesia akan memiliki impresi sebagai produk yang dihasilkan secara legal dan lestari. Ini bisa menjadi senjata untuk meningkatkan daya saing di pasar global, termasuk AS.

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Hilman Nugroho menyatakan optimismenya, dengan berbekal SVLK produk kayu Indonesia bisa selamat dari perang dagang dan tidak akan mengalami penurunan kinerja ekspor. “Enggak lah, enggak bakal berkurang,” katanya, di Jakarta, Jumat (13/7/2018).

Hilman menjelaskan, implementasi SVLK akan diteruskan untuk seluruh usaha berbasis kayu di tanah air mulai dari hulu hingga hilir. Bagi pelaku usaha besar, tentu tak akan mengalami kesulitan untuk menjalani proses audit SVLK. Namun untuk pelaku usaha kecil, biasanya akan menghadapi kesulitan pendanaan.

“Untuk itu, pemerintah akan memberi subsidi biaya setifikasi bagi usaha kecil,” katanya.

Untuk tahun 2018, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp7,5 miliar untuk mensubsidi biaya sertifikasi SVLK bagi 375 unit usaha kecil. Tahun depan, jumlahnya akan ditingkatkan menjadi Rp9,5 miliar bagi 475 unit usaha kecil.

Hilman menyatakan, berbekal SVLK, nilai ekspor produk kayu Indonesia bisa terus meningkat. Tahun 2016 nilai ekspor produk kayu Indonesia tercatat 9,2 miliar dolar AS. Jumlahnya kemudian meroket menjadi 10,7 miliar dolar AS pada tahun 2017. “Untuk tahun ini, kami optimis jumlahnya bisa mencapai 12 miliar dolar AS,” kata Hilman. Sugiharto

Baca juga:

Ekspor Indonesia ke AS Terancam

Neraca Perdagangan Indonesia Selalu Surplus

CPO pun Kena Getah Perang Dagang AS-China