Oleh: Bambang Edy P (Yayasan Sarana Wanajaya)
Pada tahun 2014 dengan dibentuknya kabinet baru dalam Pemerintahan Presiden Joko Widodo, kehutanan dan lingkungan hidup digabung menjadi satu Kementerian yang sebelumnya masing-masing terpisah sebagai Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Belum ada alasan yang jelas Presiden Joko Widodo melakukan penggabungan kedua kementerian tersebut, beberapa pakar menduga karena kehutanan tidak boleh hanya menjadi faktor produksi saja, tetapi dengan kondisi hutan yang sudah kritis seharusnya kelestarian hutan yang mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi lingkungan hidup harus dijaga. Beberapa informasi menyebutkan bahwa Tim Transisi Jokowi-JK yang merekomemdasikan penggabungan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup karena adanya beberapa tugas dan kewenangan yang tumpang tindih, selain itu berdasarkan UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 15 menyebutkan dalam Kabinet jumlah Kementerian paling banyak 34 karena ada penambahan satu Menteri Koordinator yaitu MenKo Maritim menjadi 3 MenKo yang sebelum hanya 2 MenKo, akhirnya Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup digabung menjadi satu.
Penggabungan kedua Kementerian tersebut pada saat itu, banyak yang tidak menduga terutama lembaga swadaya masyarakat advokasi lingkungan selama ini cenderung memilih penguatan Kementerian Kehutanan dari pada penggabungan kehutanan dan lingkungan hidup. Penguatan Kementerian Kehutanan menjadi sangat penting karena proses penegakan hukum saat ini dipandang kurang efektif yang disebabkan keterbatasan kewenangan yang dimiliki. Alih-alih memerkuat, yang terjadi justru penggabungan Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Lingkungan Hidup yang memiliki chemistry berbeda diibaratkan seperti air dengan minyak walaupun diaduk tetap terpisah. Urusan lingkungan hidup melingkupi antar kementerian, seharusnya mendapat kedudukan diatas kementerian yang ada dan lebih tepatnya berada pada Menteri Koordinator.
Melebur dua birokrasi yang berbeda dengan kelemahan, kekuatan dan kapasitas masing-masing merupakan sebuah tantang di negara manapun dalam kontek apapun, diperlukan waktu yang cukup panjang sebelum kementerian baru tersebut beroperasi dengan kecepatan penuh. Dengan berjalannya waktu hampir sepuluh tahun dalam dua periode pemerintahan, masih perlu dipertanyakan apakah penggabungan tersebut telah memenuhi alasan yang diinginkan, yaitu konsolidasi pengelolaan berbagai isu yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian dapat tercapai, misalnya kebakaran hutan tidak lagi menjadi tuding-tudingan tingkat nasional tetapi telah menjadi tindakan riil dan terpadu dalam menangani penyebab mendasar kebakaran tersebut terutama dalam pencegahannya. Tidak adanya satu kementerian tunggal yang fokus mengurus kehutanan apakah hutan menjadi terabaikan karena prioritas lain terutama isu-isu tentang lingkungan hidup, misalnya isu tentang perubahan iklim, karbon, limbah dan pencemaran udara.
Kondisi Hutan
Luas kawasan hutan lebih dari 60% dari luas daratan Indonesia yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia menempati urutan kedua setelah Brasil sehingga disebut mega biodiversity country. Berdasarkan data tahun 2019 tutupan hutan telah menyusut menjadi 90 juta hektar dari luas kawasan hutan seluas 125 juta hektar, berarti kawasan hutan yang sudah tidak berhutan seluas 35 juta hektar. Potensi kayu berasal dari hutan alam mengalami penurunan sangat drastis dari rata-rata 150 m3 per hektar tinggal sekitar 30 m3 per hektar (APHI, 2022), dengan kondisi seperti tersebut banyak usaha pemanfaatan hutan kayu yang bersumber dari hutan alam (HPH-HA) mengalami kemunduran kegiatan usahanya. Kosekuansi logis dari penyusutan tutupan hutan alam adalah menyusutnya potensi kekayaan keanekaragaman hayati bahkan banyak terjadi kepunahan dari sumber daya alam hayati (flora dan fauna) yang terkandung didalamnya. Memperhatikan secara sekilas penurunan tutupan hutan tersebut disebabkan perambahan hutan, kebakaran hutan, over cutting, illegal logging yang masih terjadi lapangan dan belum dapat diatasi secara efektif, hal ini merupakan pekerjaan rumah cukup besar bagi pemerintahan yang akan datang yang memerlukan perhatian secara serius. Berdasarkan pernyataan pemerintah akhir-akhir telah terjadi penurunan degradasi dan deforestasi hutan yang disebabkan intervensi pemerintah melalui kebijakan penghentian izin pemanfaatan hutan primer, tetapi degradasi dan deforestasi masih tetap terjadi. Padahal melakukan restorasi hutan alam yang mencakup pengembalian habitat alami, seperti hutan dan pengembalian keanekaragaman yang telah terganggu sangat sulit dilakukan dan bahkan tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat, memerlukan suksesi ekologi dalam waktu cukup lama bisa puluhan tahunan atau bahkan jutaan tahun setelah kepunahan masal, kondisi ini yang disebut irreversible (tidak dapat balik). Hutan alam yang rusak (forest loss) pada tahun 2019 seluas 35 juta hektar tersebut diatas apabila pengelolaan hutan dilakukan dengan ‘business as usual’ diperkirakan pada tahun 2040 hutan Indonesia hampir mendekati kondisi irreversible dengan forest loss sekitar 55 juta hektar dan menjadi negara yang hutan alamnya dalam kondisi sangat kritis, artinya akan terjadi banyak kepunahan-kepunahan sumber daya alam hayati yang tidak dapat dikembalikan lagi. Masih segar ingatan kita tentang wabah yang menimpa dunia dan hampir meluluh lantakkan kehidupan manusia yaitu Covid 19 yang disebabkan virus corona. Pandemi Covid 19 yang terjadi menjadi bola salju yang menimbulkan krisis-krisis yang lain, krisis ekonomi, energi dan pangan yang sebelumnya tidak pernah dipridiksi negara-negara di dunia. Pandemi tersebut disebabkan perpindahan virus dari hewan ke manusia (zoonosis) yang sangat dipengaruhi kondisi hutan, pada saat kondisi hutan belum rusak bakteri dan virus yang berada di hewan hutan dalam keadaan stabil, tetapi dengan rusaknya hutan yang menyebabkan rusaknya habitat hewan-hewan hutan mengalami kekurangan makanan dan kondisi dalam keadaan tidak sehat sehingga virus yang hidup di hewan hutan berpindah ke manusia. Peneliti dari Lempaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik P Nugroho mengatakan, potensi zoonosis seperti yang terjadi di Wunan-China dalam kasus wabah penyakit virus corona yang diperkirakan perpindahan virus dari hewan kelelawar ke manusia dipicu karena deforestasi.
Memperhatikan kondisi hutan alam seperti yang digambarkan diatas, rupanya pengembalian kerusakan hutan alam tidak sekedar upaya rehabilitas hutan dengan hanya mengejar meningkatnya tutupan hutan saja dan nilai ekonomi dari kayu serta hasil hutan lainnya, seharusnya lebih kepada fungsi hutan yang lebih mendasar sebagai penunjang hidup manusia seperti disebutkan dalam landasan filosofis dan konstitusi dalam pengurusan hutan. Memperhatikan betapa petingmya hutan dalam semua aspek kehidupan manusia, sewajarnya hutan dan kehutanan mendapat perhatian yang besar bagi pemerintah yang akan datang dengan memberikan penguatan-penguatan khususnya dalam pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia yang bertujuan menyelamatkan dan mempertahankan hutan dari kerusakan-kerusakan yang terjadi.
Penguatan Pengurusan Hutan
Pengurusan hutan yang maksud adalah keseluruhan tindakan manajemen terhadap sumber daya hutan dalam rangka mendapatkan totalitas barang-barang, manfaat-manfaat dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Memperhatikan kondisi hutan di Indonesia seperti telah disebutkan diatas dan pentingnya peranan hutan dalam kehidupan manusia, penguatan pengurusan hutan seharusnya dimulai dengan pembentukan kelembagaan yang kuat dan fokus, artinya kuat dalam organisasi, kewenangan, dukungan perundang-undangan dan dukungan dari stakeholder, pendanaan serta sumber daya manusianya, dan fokus pada pengurusan hutan dengan tujuan untuk menghentikan degradasi dan deforestasi, optimalisasi pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan restorasi ekologi hutan, penataan kawasan hutan, konservasi hutan serta sumber daya alam hayati. Memperhatikan tujuan pengurusan hutan tersebut masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan sampai tahun 2040.
Oleh karena itu, dalam pengurusan hutan diperlukan organisasi kementerian kehutanan yang efektif dan integrative sesuai proses fungsi manajemen, misalnya Eselon satu terbagi dalam fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating dan controlling guna menghindari pengkotakan kewenangan dengan struktur yang seimbang antara pusat, daerah dan tapak. Organisasi kehutanan di tingkat tapak sangat penting terutama untuk pengamanan hutan, saat ini kelambagaan atau organisasi kehutanan ditingkat tapak sangat lemah bahkan kosong sehingga perambahan hutan, illegal logging marak terjadi yang berakibat degradasi serta deforestasi hutan tidak dapat dibendung.
Melihat kebelakang sebelum berlakunya UU otonomi daerah, terdapat kelembagaan atau organisasi ditingkat tapak yang dikenal sebagai Kepala Resort Polisi Hutan (KRPH) yang memiliki wilayah teritorial kawasan hutan hampir sama dengan wilayah kecamatan, pada awalnya mempunyai wewenang sebagai pembantu jaksa dalam perkara tindak pidana dibidang kehutanan, sampai ada perubahan UU tentang Kepolisian Negara. Diatas KRPH terdapat Kepala Bagian Daerah Hutan (KBDH) dan seterusnya sampai pada Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) atau Kepala Cabang Dinas Kehutanan (KCDK) memiliki wilayah pengelolaan hutan setara wilayah kabupaten atau daerah aliran sungai yang dikelola secara lestari dan selanjutnya pada tingkat provinsi terdapat Kepala Dinas Kehutanan yang melaksanakan pengurusan kehutanan.
Pengalaman menunjukkan pentingnya penguatan kelembagaan dan organisasi ditingkat daerah sampai tapak dalam pengurusan kehutanan yang dapat mencegah kerusakan hutan sebelum meluas menjadi keterlajuran-ketelanjuran yang sangat rumit penyelesaiannya. Disamping penguatan kelembagaan dan organisasi kehutanan, penting dilakukan desentralisasi kebijakan dan perizinan guna mendorong partisipasi aktif dan tanggung jawab dari pemerintah daerah dalam pengurusan hutan. Pelibatan pemerintah daerah seharusnya tidak hanya dalam prosedur tetapi penentuan dan penetapan kebijakan serta perizinan dalam pengurusan hutan di tingkat daerah sangat diperlukan, pemerintah pusat menetapkan arahan kebijakan nasional dan garis besarnya. Dengan demikian terjadi keterkaitan antara pusat dan daerah (linkages) sehingga timbul tanggung jawab bersama terhadap pengurusan hutan dan diperlukan kolaborasi antar pemerintah pusat dan daerah, parlemen, pakar dan akademisi, pelaku usaha dan filantropi, kelompok masyarakat serta media, sedangkan pemerintah pusat menjadi intermediary.
Ditengah degradasi dan deforestasi yang masih berlanjut, bertambahnya hutan yang kritis, terancam punahnya satwa langka diperlukan strategi pengelolaan lanskap yang berkelanjutan, untuk mencapainya kerjasama antar pemangku sangat penting, guna mendorong penerapan prinsip-prinsip berkelanjutan dan memastikan senergi dalam pengelolaan sumber daya alam antar sektor, private dan komunitas. Dengan kemajuan teknologi saat ini, guna penguatan pengurusan hutan sangat penting melakukan transformasi digital, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi serta inovasi pada semua bidang untuk menuju pengelolaan hutan yang efesien dan efektif.
Dalam rangka penguatan pengurusan hutan ditingkat tapak, organisasi kesatuan pengelolaan hutan seharusnya diberi kewenangan yang kuat sebagai regulator atau pelaksana regulator tingkat daerah serta pusat yang tidak terlibat dalam bisnis pemanfaatan hutan untuk menghindari bias dalam pengelolaan hutan, dengan melaksanakan perencanaan hutan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan hutan sehingga lebih tepat disebut sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan.
Disamping kelembagaan dan organisasi, dalam rangka pengurusan hutan tidak kalah pentingnya adalah penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas memiliki kemampuan dan kompetensi yang tinggi sehingga mampu mengurus dan mengelola hutan menjadi semakin baik. Penyiapan SDM yang berkualitas seharusnya dimulai sejak rekruitmen (recruitment) sampai regenerasi (regeneration) yang sebelumnya ditetapkan dalam perencanaan sumber daya manusia (human resource planning) sesuai karakteristik yang diperlukan. Oleh karena itu perencanaan SDM sangat penting dilakukan dalam pengurusan hutan karena mencakup wilayah yang luas, memiliki karakteristik khusus yang berhubungan dengan life supporting system tidak hanya terbatas untuk kepentingan lokal atau regional tetapi mencakup kepentingan global sehingga perlu ditangani oleh SDM yang memiliki kapabilitas, kompeten dan berakhlak seperti yang digambarkan secara ideal sebagai “Rimbawan Indonesia” oleh senior-senior yang berkecimpung dalam pengurusan hutan.
Masa depan hutan Indonesia
Hutan Indonesia memiliki peran yang strategis untuk masa depan bangsa dan negara, karena itu harus direfleksikan dalam pengelolaan yang arief dan seimbang antara konservasi dan ekonomi. Keberadaan hutan Indonesia tidak saja berpengaruh terhadap Indonesia namun juga berpengaruh terhadap global, mengingat secara luasan hutan Indonesia merupakan hutan tropis nomor 3 terbesar di dunia setelah Brazil dan Kongo. Hutan mampu menjadi modal penggerak ekonomi dalam pembangunan nasional, sehingga hutan harus dijaga, dikelola, dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang maupun yang akan datang.
Berdasarkan atas analisis trend siklus jangka panjang Kondratieff (Kondratieff wave) yang terjadi sekitar 60 tahunan pada tahun 2030 akan memasuki gelombang ke IV yang menjadi pendorong siklus ekonomi adalah kesehatan holistik, lingkungan hidup dan bioteknologi. Hutan merupakan “komoditas komposit” mengandung jasa ekosistem yang bersenyawa lekat dengan trend global Kondratieff gelombang ke IV, saat itu komputer, internet sudah mulai menurun sebagai global leading sector pada K20 (K-wave market economic). Indonesia seharusnya pada saat itu sudah masuk dalam gelombang Kondratieff ke IV karena memiliki hutan yang luas dan potensi yang besar sesuai basis global market pada saat itu, hal ini disampaikan oleh Prof. Agus Pakpahan Rektor Universitas IKOPIN pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan Pusat Kajian Strategis Kehutanan Yayasan Sarana Wana Jaya tanggal 1 Februari 2024. Pada kesempatan yang sama Prof. Agus Pakpahan menyampaikan gagasan hutan jati sebagai Tabungan Negara untuk pembayaran hutang luar negeri, dengan menanam pohon jati yang berasal dari klon unggul seluas 700.000 hektar dengan umur sekitar 25 tahun (sebagai basis analisis dihitung dimulai tahun 2020) Indonesia akan dapat membayar hutang luar negeri sebesar US$ 840 miliar pada tahun 2045. Di samping itu, mendapat tambahan hasil lainnya yang cukup besar dari perdagangan surat berharga dari riap pertumbuhan pohon jati, perdagangan karbon, hasil hutan non kayu dan jasa pengelolaan Hutan Tabungan Negara. Argumentasi dari gagasan tersebut adalah nilai tabungan hutan jati bertumbuh dengan pola yang sama sebagaimana yang terjadi dengan pertumbuhan hutang luar negeri yaitu tumbuh secara eksponensial seperti pola pertumbuhan riap. Pertumbuhan nilai hutan jati tabungan bersifat compounding walaupun bio-fisiknya mengalami the law of diminishing return nilai tabungan mengalami increasing return.
Uraian tersebut diatas sebagai gambaran betapa strategisnya peran hutan Indonesia dimasa yang akan datang sebagai solusi yang inovatif berbagai permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan penguatan pengurusan hutan dalam pemerintahan yang akan datang dengan membentuk satu kementerian kehutanan dan memperkuat kelembagaan serta organisasi yang dipimpin oleh profesional-profesional yang visioner guna mewujudkan hutan yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia yang berkelanjutan baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. ***
[…] Click here […]