Walaupun sudah diputuskan di Rakortas Menko Perekonomian, impor raw sugar sebanyak 381.000 ton belum bisa berjalan mulus. Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih menyatakan, hingga kini Kemendag belum mengeluarkan izin impor raw sugar tersebut.
“Memang telah disepakati akan impor, namun saat ini Kemendag belum mengeluarkan izin impornya,” tuturnya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurutnya, belum keluarnya izin impor itu dikarenakan masih perlu dilakukan pembicaraan atau kesepakatan mengenai beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan impor dan penerapannya di dalam negeri.
“Pekan depan kami akan mengadakan pertemuan dengan instansi terkait untuk membahas hal-hal teknis dalam pelaksanaan impor dan penerapannya di dalam negeri,” paparnya.
Karyanto juga menegaskan, kebijakan impor raw sugar sebanyak 381.000 ton itu dilakukan dengan tujuan memberikan bantuan kepada petani tebu untuk mendapatkan tingkat rendemen yang lebih tinggi.
“Kebijkan impor raw sugar itu bukan dilakukan karena kekurangan pasokan atau tingginya harga gula. Tapi jika memang dengan masuknya raw sugar itu nantinya harga gula akan turun, itu sangat bagus,” ucapnya.
Sebelumnya, Kantor Menko Perekonomian juga telah menugaskan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk mengimpor 200.000 ton raw sugar dan kemudian digiling di pabrik gula di dalam negeri. Penugasan itu dilakukan untuk menekan harga gula di pasaran yang merangkat naik sebelum musim giling berlangsung.
Menurut Karyanto, gula-gula yang diimpor oleh PPI tersebut sudah mulai masuk dan sudah ada kegiatan operasi pasar (OP) yang dilakukan BUMN tersebut di sejumlah daerah. “Sejak bulan Mei gula milik PPI yang telah digiling telah beredar di pasaran melalui operasi pasar. Kegiatan OP itu sudah digelar di 33 kota di Indonesia,” katanya.
Dengan adanya kebijakan impor raw sugar sebanyak 381.000 ton, maka hingga saat ini pemerintah telah menerbitkan izin impor raw sugar — di luar alokasi impor raw sugar untuk industri gula rafinasi sebanyak 3,22 juta ton — sebanyak 581.000 ton. Jika dikonversi menjadi gula kristal putih (GKP), maka akan ada pemasukan GKP impor sekitar 523.000 ton. Jika ditambah lagi dengan adanya impor raw sugar untuk dua pabrik gula baru, yang diperkirakan mencapai 100.000 ton atau 90.000 ton GKP, maka total GKP impor yang masuk ke dalam negeri adalah sekitar 613.000 ton.
Jumlah tersebut cukup untuk mengatasi kekurangan pasokan GKP pada awal 2017 yang diperkirakan Asosiasi Gula Indonesia (AGI). AGI merinci jika produksi gula nasional tahun ini sebesar 2,3 juta ton ditambah dengan stok awal tahun 817.000 ton, maka jumlah gula yang tersedia di taun 2016 sebesar 3,117 juta ton.
Adapun konsumsi gula nasional tiap tahun sebesar 2,8 juta ton (2016), jadi sisanya hanya 317.000 ton. Itu stok awal di 2017. Kalau konsumsi 235.000 ton/bulan, maka stok gula itu akan habis di pertengahan Februari 2017. Artinya, untuk bisa menutupi kebutuhan setengah bulan Februari, kebutuhan bulan Maret-April 2017, dibutuhkan pasokan sekitar 590.000 ton GKP.
Rafinasi
Selain GKP, di Indonesia juga terdapat produk bernama gula kristal rafinasi. Gula tersebut ditujukan untuk kebutuhan industri makanan dan minuman di dalam negeri. Gula tersebut digiling oleh pabrik gula milik industri gula rafinasi yang jumlahnya mencapai 11 perusahaan. Pada tahun ini, pemerintah menetapkan alokasi impor raw sugar untuk industri gula rafinasi sebesar 3,2 juta ton.
Terkait dengan alokasi impor raw sugar untuk industri gula rafinasi ini, Arum Sabil mengatakan sebaiknya pemerintah lebih dulu mengkaji realitas kebutuhan gula untuk konsumsi dalam negeri sebelum memutuskan kuota impor raw sugar untuk gula rafinasi.
Pada 2015, pemerintah menetapkan alokasi impor raw sugar 2,8 juta ton, yang ternyata serupa dengan alokasi 2014. Alokasi kuota impor pada 2012 adalah 2,35 juta ton, sementara 2013 turun menjadi 2,26 juta ton.
“Pemerintah mestinya menetapkan kuota impor gula rafinasi untuk tahun 2016 ini bukan berdasar idle capacity pabrik gula rafinasi, akan tetapi berdasar kebutuhan. Dengan demikian, kalau memang kebutuhannya hanya 1-2 juta ton, sebaiknya alokasinya mengikuti itu,” papar Arum Sabil.
Dia benar-benar mengharapkan agar pemerintah mematok kuota impor raw sugar atau gula mentah untuk bahan baku produksi gula rafinasi berdasar kebutuhan. Kuota impor yang ditetapkan selama ini hanya mengacu pada idle capacity atau kapasitas menganggur pabrik gula rafinasi.
Arum Sabil juga menekankan, data yang dimiliki pemerintah dengan APTRI cenderung selalu berbeda. Jika mengacu pada data pemerintah, konsumsi gula nasional, baik konsumsi maupun industri, besarnya 5,7 juta ton. Sebaliknya, APTRI memiliki data konsumsi gula nasional 4,7 juta ton. Dengan begitu, ada selisih 1 juta ton.
“Produksi gula kristal putih nasional 2,5 juta ton. Sedangkan kapasitas pabrik gula rafinasi 5 juta ton. Dengan demikian, kalau utilitas pabrik gula rafinasi mencapai 100%, produksi gula Indonesia bisa 7,5 juta ton/tahun. Indonesia bisa banjir gula,” kata Arum. Elsa Fifajanti/B Wibowo
Taksasi Gula 2016 Belum Disepakati
Pelaksana Harian Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan Gde Wirasuta mengatakan, sampai sekarang belum ada kesepakatan dari instansi terkait mengenai taksasi produksi gula tahun 2016.
“Belum ada kesepakatan mengenai taksasi gula 2016,” kata Gde Wirasuta kepada Agro Indonesia, di Jakarta. Instansi yang terlibat dalam penentuan taksasi gula antara lain Kementerian Perekonomian, Perdagangan, Perindustrian dan Kementerian Pertanian.
Data Ditjen Perkebunan Kementan mencatat produksi gula pada tahun 2014 yaitu 2,579 juta ton. Tahun 2015 produksi gula turun menjadi 2,497 juta ton.
Untuk tahun 2016, produksi gula diprediksi akan turun lagi menjadi 2,40 juta ton.“Penurunan produksi tahun ini karena faktor iklim. Selain itu areal tanaman tebu juga mengalami penurunan,” katanya.
Menurut Gde, produksi gula nasional bisa ditingkatkan dengan menambah luas areal tanam dan produktivita tanaman tebu. Rendemen tanaman tebu petani berkisar antara 7%-8%. Namun, untuk tahun ini target rendemen sebesar 8%.
Menurut, dia tidak ada penambahan luas areal tanam yang signifikan, maka Indonesia sulit untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi masyarakat.
“Tahun 2019 itu kita targetkan pemenuhan kebutuhan gula konsumsi masyarakat sebanyak 3,2 juta ton. Jika untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman, kita butuh produksi 5,7 juta ton,” katanya.
Dia menambahkan, untuk mencapai produksi sebanyak itu, maka kebutuhan lahan menjadi mutlak. Persoalannya, lahan tidak tersedia, terutama di Jawa. Selain itu, usia PG yang sudah tua menjadi tidak efisien. “Kita akan cek lahan-lahan yang ada untuk pengembangan tebu. Pengecekan ini akan dilakukan bersama Kementan, BPN dan instansi terkait lainnya. Untuk kegiatan ini butuh waktu lama,”tegasnya.
Dirjen Perkebunan Kementan, Gamal Nasir pernah mengatakan, untuk mendongkrak swasembada gula memang dibutuhkan daya ungkit yang kuat mulai dari tambahan lahan, revitalisasi pabrik gula, hingga pembangunan pabrik gula baru.
Menurut Gamal, jikan mau swasembada gula perlu tambahan lahan sedikitnya 350.000 hektare, karena lahan yang ada saat ini minim yakni hanya 400.000 hektare. Selain itu juga masalah revitalisasi pabrik gula kewenangannya ada di Kementerian Perindustrian. Jamalzen