Kementerian Perindustrian telah menciptakan persaingan tidak sehat dan bisa mematikan pabrik gula lama dengan membuat aturan tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula dalam rangka pemenuhan kebutuhan gula nasional. Alih-alih menegakkan aturan lama, Kemenperin malah melanggengkan pabrik gula baru boleh mengimpor raw sugar jika pasok tebu di dalam negeri tidak cukup.
Entah apa yang ada di benak pemerintah ketika Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Berdasarkan aturan baru yang diundangkan 11 Februari 2011 ini, pabrik gula (PG) penghasil gula kristal putih (GKP) dibolehkan mengimpor gula kristal mentah (raw sugar) jika pasok tebu perusahaan ataupun petani tidak mencukupi. Sialnya, aturan itu hanya berlaku untuk industri gula yang dibangun setelah tanggal 25 Mei 2010, baik industri baru ataupun perluasan.
Berdasarkan aturan ini, maka hanya ada 20 pabrik baru dan perluasan yang berhak memperoleh keistimewaan tersebut. Dari data Agro Indonesia, sebanyak 13 unit adalah PG di Jawa dan sisanya PG luar Jawa. Sementara puluhan PG lainnya yang sudah lebih dulu ada, terutama di Jawa, harus gigit jari. Beleid ini juga seolah persiapan memperpanjang “nyawa” aturan lama soal diskriminasi perlakuan pemerintah, yakni Permenperin No. 10/M-Ind/Per/3/2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam rangka Pembangunan Industri Gula. Aturan ini membolehkan industri baru di Jawa mengimpor raw sugar selama 5 tahun, dan untuk luar Jawa selama 7 tahun.
Yang jadi soal, industri gula baru nampaknya memang mengincar izin impor raw sugar ketimbang membangun kebun tebu terintegrasi. Ketua DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikun menilai, industri baru nampaknya enggan mencari lahan tebu untuk pasok bahan baku pabrik. “Mereka sepertinya tidak pernah serius,” ujar Soemitro, Jumat (30/4/2021). Sialnya lagi, mereka malah memilih bermitra dengan petani tebu yang selama ini sudah jadi binaan BUMN PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
Kondisi ini jelas merugikan, bahkan membahayakan PG lama. Pasalnya, mereka kalah bersaing untuk memperoleh tebu rakyat. Pabrik baru, kata Soemitro, berani membeli tebu petani lebih tinggi. Ini terjadi karena industri baru punya keuntungan dari selisih pembelian raw sugar yang lebih murah untuk dialihkan dengan menaikkan harga beli tebu petani.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, dia khawatir akan banyak PG yang gulur tikar alias stop berproduksi. Padahal, kebutuhan gula di dalam negeri terus mengalami peningkatan. Di tahun 2021, Kementerian Perekonomian menyebut kebutuhan GKP nasional diperkirakan mencapai 2,8 juta ton. Dari jumlah itu, yang baru bisa dipenuhi dari produksi di dalam negeri sekitar 2,18 juta ton.
Sejauh ini, pemerintah belum pernah mengaudit atau mengumumkan luasan perkebunan tebu yang sudah dibangun industri baru. Jika mengacu pada Permenperin 10/2017, harusnya mereka sudah memiliki kebun tebu yang luas. Pasalnya, sejak tahun pertama mereka harus menggunakan tebu dalam negeri 20% dan terus meningkat sampai 90% pada tahun ketujuh. Alih-alih mengaudit, yang terjadi malah lahir beleid baru. Hebatnya lagi, aturan itu tidak punya batasan. AI