KLHK: Data Greenpeace Tidak Valid

MR Karliansyah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan data pemantauan kualitas udara yang dilansir Greenpeace tidak bisa dijadikan rujukan publik. Pasalnya, alat pemantauan udara yang digunakan tidak bisa menyediakan data valid.

“Greenpeace menggunakan alat yang hanya cocok digunakan di dalam ruangan. Tidak tepat jika digunakan di luar ruangan,” kata Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK MR Karliansyah di Jakarta, Senin (3/4/2017).

Menurut Karliansyah, Greenpeace menggunakan laser egg untuk memantau kualitas udara. Alat itu ternyata tak bisa membedakan partikel debu udara dengan uap air. Akibatnya, tentu berpengaruh pada data kualitas udara yang dihasilkan. “Kami tentu berterima kasih ada inisiatif untuk memantau kualitas udara. Tapi datanya yang dihasilkan tidak bisa menjadi rujukan,” katanya.

Direktorat Jenderal PPKL KLHK sudah menguji sendiri kemampuan alat tersebut. Ada fluktuasi tajam kualitas udara yang dihasilkan. Ini berbeda dengan data yang dihasilkan Air Quality Monitoring System (AQMS)  yang dimiliki KLHK dan sejumlah Pemerintah Daerah. “Kualitas udara memang naik-turun, tapi tidak mungkin drastis,” kata Karli.

Di pasaran, laser egg yang dimanfaatkan Greenpeace dibandrol sekitar Rp1,5 juta. Bandingkan dengan AQMS yang dioperasionalkan KLHK yang harganya mencapai Rp2,5 miliar. Jika alat AQMS itu didatangkan impor, maka harganya bisa mencapai Rp7,5 miliar.

Dia menegaskan, KLHK memberi perhatian penuh pada penyediaan kualitas udara yang lebih baik bagi masyarakat. Kebijakan terkait itu pun diimplementasikan, termasuk penerapan standar Euro IV untuk bahan bakar kendaraan bermotor.

Karli juga menyatakan untuk memantau kualitas udara di perkotaan KLHK akan memasang alat pemantau kualitas udara AQMS di 45 ibukota di Indonesia sampai 2019 mendatang. Saat ini sudah ada 30 unit AQMS yang dipasang di berbagai kota di Indonesia baik milik KLHK atau pemerintah daerah. Sugiharto