Korupsi Pengelolaan Sumber Daya Alam

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah baik untuk sektor tambang maupun pangan. Kekayaan alam yang melimpah itu memberikan tantangan dan kesempatan untuk membawa ekonomi Indonesia ke arah pembangunan berkelanjutan.

Pengelolaan sumber daya alam dengan bertanggung jawab, lestari, dan adil akan memastikan bahwa kekayaan ini berguna untuk banyak pihak — bukan hanya sebagian orang — dan bahwa manfaat jangka panjang akan lebih dari mengkompensasi dampak eksploitasi.

Sayangnya, pengelolaan sumber daya alam itu belum dilakukan dengan baik. Masih banyak kegiataan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara ilegal dan bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia.

Hal ini setidaknya tercermin dari aksi Indonesia Corruption Watch (ICW)  bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat daerah yang bergerak di lingkungan hidup melaporkan dugaan kasus dugaan penjarahan sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengaduan dilayangkan ke KPK karena masih banyak kasus-kasus di tingkat daerah yang hingga kini belum terjamah. ICW menilai, banyak sumber daya alam dijadikan sebagai komoditi yang diselewengkan oleh pihak swasta maupun pejabat daerah.

ICW menyatakan berdasar temuannya, terdapat beberapa kasus yang terindikasi menjadi lahan korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan di enam wilayah. Enam di antaranya yakni Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur.

Akibat kegiatan korupsi di sumber daya alam itu, perkiraan kerugiannya luar biasa, sekitar Rp 201.81 triliun. kerugian ratusan triliun itu dihitung dari potensi kerugian tujuh kasus yang terjadi di enam wilayah yang dimaksud. Dugaan korupsi dilakukan dalam praktik pengusahaan perkebunan teh, sawit, pertambangan batubara dan biji besi.

Kerugian terbesar diyakini terjadi dalam praktik pengusahaan tambang biji besi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Potensi kerugian negara di wilayah itu ditaksir mencapai Rp200,75 triliun. Menurut ICW Angka itu dihitung berdasarkan dana reklamasi untuk proyeksi 20 tahun ke depan.

Modus yang dilakukan untuk menjarah sumber daya alam itu pun dinilai cukup beragam. Berdasarkan catatan ICW, pola-pola yang dilakukan para penjarah SDA itu adalah dengan cara menyiasati perizinan, tidak membayar dana reklamasi, menyewa broker untuk mengurusi perizinan, serta menggunakan proteksi back up dari oknum penegak hukum.

Selain itu, tidak jarang para pengusaha merambah hutan baik secara ilegal maupun legal untuk melakukan penebangan di wilayah konservasi. Bahkan tidak sedikit pejabat yang memanfaatkan posisinya sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya bisa memperoleh konsesi.

Meihat kerugian negara yang cukup besar, sudah seharusnya instansi-instansi terkait segera mengambil tindakan tegas terhadap aksi korupsi di sumber daya alam ini.

Dalam kasus ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Pemberian izin pengelolaan lahan perlu dilakukan secara ketat dengan mengacu pada pengelolaan sumber alam yang berkelanjutan.