Apkasi seharusnya tidak perlu repot-repot mengajukan uji materi UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan jika saja memahami bagaimana peran dan fungsi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Medan perang uji UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah digelar Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Dalam pandangan Apkasi, kewenangan pengelolan hutan seharusnya ada di tangan pemerintah daerah.
Menurut Sekjen Kementerian Kehutanan Kemenhut, Hadi Daryanto, apa yang dituntut Apkasi sebenarnya sudah diakomodasi dengan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). “Di KPH pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk pengelolaan hutan. Pemerintah pusat mengawasi dan mengawal operasionalnya,” kata dia di Jakarta, Jumat (12/9/2014).
KPH adalah unit pengelola hutan di tingkat tapak. Nantinya, setiap jengkal kawasan hutan akan terbagi habis untuk dikelola KPH. Secara struktur organisasi, KPH adalah unit kerja dari pemerintah daerah. Menariknya, KPH diberi kemandirian penuh mengelola kawasan hutan. Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian, juga pemanfaatannya. KPH juga wajib melaksanakan pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pengelolaan hutan yang ada di wilayahnya.
Dengan beroperasionalnya KPH, maka peran pemerintah pusat, juga pemerintah daerah adalah menentukan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) pengelolaan hutan yang akan dilaksanakan oleh KPH.
Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan areal Pemanfatan Kawasan Hutan Kemenhut, Is Mugiono menyatakan, KPH adalah salah satu instrumen penguatan desentralisasi dalam pengelolaan hutan. “Hal itu sesuai dengan UU Kehutanan yang mengamanatkan dalam penyelenggaran kehutanaan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenanganan kepada pemerintah daerah,” katanya.
Kemenhut sendiri menggenjot pembangunan KPH dalam lima tahun belakangan. Kemenhut menargetkan sampai akhir 2014 sudah ada penetapan 600 wilayah KPH dan 120 wilayah di antaranya beroperasi sebagai unit KPH.
Izin
Beroperasinya KPH akan membuka jalan berakhirnya rezim perizinan di Kemenhut. Pasalnya, KPH juga diberi kewenangan memanfaatkan potensi yang ada secara langsung, baik yang berupa kayu maupun non kayu. Jangan heran jika seiring perjalanan waktu, tidak akan ada lagi investor yang repot-repot mengurus izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) ke Kementerian Kehutanan. Sebab, sang investor cukup datang ke kantor KPH untuk meraih peluang pemanfaatan kayu.
Is menjelaskan, KPH memang diberi kewenangan untuk memanfaatkan hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan. Hal itu sudah diatur dalam PP No.6 tahun 2007 jo. PP No.3 tahun 2008 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPH Lindung dan KPH Produksi. “Sesuai ketentuannya, salah satu kewenangan KPH memang memanfaatkan hutan,” katanya.
Menurut Is, kewenangan KPH untuk memanfaatkan hutan ada pada wilayah tertentu, yaitu wilayah yang belum dibebani izin oleh Kementerian Kehutanan. Di sana, KPH bisa menjalin kemitraan baik dengan masyarakat, maupun badan usaha.
Sebagai gambaran, dari 103,86 hektare (ha) hutan produksi dan hutan lindung di Indonesia, saat ini baru terdapat 49,97 juta ha yang dibebani izin, baik dalam bentuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam, HTI atau dikelola oleh Perum Perhutani. Sementara 53,89 juta ha lagi masih tanpa pengelola di tingkat tapak. Di lokasi itulah masing-masing KPH bakal memainkan perannya.
Is menyatakan, meski punya kewenangan untuk memanfaatkan hutan, tak berarti KPH bisa sembarangan melepas izin kepada mitra. KPH, katanya, tetap terikat kepada peraturan perundangan. “KPH juga harus secara rutin melapor dan memberi pertanggungjawabannya kepada kepala daerah dan menteri kehutanan untuk pemanfaatan hutan yang dilaksanakan,” katanya.
Is mengingatkan, tugas KPH bukan sekadar mengeksploitasi hutan. Namun, jauh lebih besar, yaitu untuk mendukung perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak menuju pengelolaan hutan lestari.
Model
Menurut Is Mugiono, untuk mengakselerasi pembangunan KPH, Kemenhut mendorong pembangunan KPH Model. Lewat KPH Model diharapkan daerah bisa membuktikan bahwa pengelolaan hutan akan lebih efisien dan lestari sekaligus memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah.
Pada KPH Model, Kemenhut akan memfasilitasi pembiayaan pembangunannya. “Termasuk yang akan difasilitasi adalah penyediaan sarana dan prasarana KPH, seperti kantor, kendaraan operasional dan peralatan pendukung lainnya,” kata dia.
Dia semakin optimis pembangunan KPH bakal berjalan lancar karena dukungan dari instansi pemerintahan lainnya juga kuat. Sebagai bukti, fasilitasi pembiayaan pembangunan KPH Model mendapat dukungan penuh dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Dukungan juga datang dari Kementerian Dalam Negeri dengan diterbitkannya Permendagri No.61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPH Lindung dan KPH Produksi.
“Dengan sinergi semua pihak, kami tentu optimis pembangunan KPH yang bertujuan mendorong pengelolaan hutan lestari akan berjalan dengan baik,” ujar Is Mugiono. Sugiharto
Pusat Harus Tetap Punya Kewenangan
Dukungan bagi Kementerian Kehutanan menghadapi tuntutan Apkasi bukan hanya datang dari Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi juga datang dari elemen masyarakat lainnya, termasuk kalangan pengusaha.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Suprihanto menyatakan, pemerintah pusat sebaiknya tetap memiliki kewenangan dalam pengelolaan hutan. “Ini sebagai kontrol terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang sudah diserahkan ke daerah,” katanya.
Dia mengingatkan, sumber daya hutan adalah unik. Sumber daya itu bisa dimanfaatkan namun tetap harus dipertahankan kelestariannya untuk menjaya keseimbangan lingkungan. Purwadi khawatir, jika kewenangan pengelolaan hutan dilepas sepenuhnya kepada pemerintah daerah tanpa kontrol, maka hasilnya adalah hutan yang semakin terdegradasi.
“Pengalaman juga menunjukan ketika hutan dikelola pemerintah daerah secara penuh, terjadi kerusakan hutan yang cukup luas,” katanya. Sugiharto
LUAS KAWASAN HUTAN BERDASARKAN FUNGSI
Kawasan | Luas (± ha) | % |
HUTAN KONSERVASI (DARAT & TAMAN BURU) | 20.889.375,97 | 11,12 |
HUTAN LINDUNG (HL) | 32.082.028,72 | 17,08 |
HUTAN PRODUKSI TERBATAS (HPT) | 22.815.021,26 | 12,15 |
HUTAN PRODUKSI TETAP (HP) | 33.768.115,73 | 17,98 |
HUTAN PRODUKSI YG DAPAT DIKONVERSI (HPK) | 20.910.845,00 | 11,14 |
LUAS KAWASAN HUTAN | 130.465.386,68 | 69,48 |
AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) | 57.319.264,32 | 30,52 |
LUAS TOTAL | 187.784.651,00 | 100,00 |
Sumber: Ditjen Planologi Kemenhut