
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Dalam berita Tempo.Co, 20 Maret 2024 menyebut bahwa Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) peringatkan pembangunan IKN akan memperbesar deforestasi. Pembangunan IKN memang akan memperbesar deforestasi di wilayah IKN, di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur,” kata Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi Indonesia, Uli Arta Siagian, kepada Tempo, Jumat, 1 Maret 2024. Peringatan yang disampaikan oleh Walhi tersebut dibenarkan dengan temuan National Aeronautics and Space Administration Code (NASA) atau Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat. Satelit NASA memotret perbandingan kawasan hutan Kalimantan pada April 2022 dengan kondisi terbaru pada Februari 2024. Hasilnya, kawasan hutan yang hijau tampak menyusut.
Menurut Uli, upaya Walhi memperingatkan pemerintah soal ancaman deforestasi di IKN bukan tanpa alasan. Pasalnya, menurut dia, pembangunan ibu kota baru merupakan pembangunan berbasis infrastruktur skala besar. Sementara itu, pembukaan lahan secara luas otomatis membuat tutupan lahan hilang sehingga dapat memicu banjir maupun tanah longskor. Sebab, hutan kehilangan fungsinya sebagai tempat penahan air. Kemudian dalam skala makro, Uli melanjutkan, hilangnya kawasan hutan otomatis menghilangkan tempat penyerapan karbon. “Masalahnya, hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon tetap diikuti pelepasan emisi,” ucap Uli. Uli pun mengatakan pembangunan IKN perlu dibatalkan. Ia mengatakan, harus ada kajian komprehensif dengan mempertimbangkan kelayakan proyek IKN untuk dilanjutkan. Kajian komprehensif itu pun, kata Uli, harus meaningfull participation atau dengan melibatkan rakyat, termasuk koalisi masyarakat sipil. Selain itu, Uli mengatakan, pembangunan IKN mesti disetop hingga kajian komprehensif selesai. Benarkah sinyalemen yang dilontarkan oleh Walhi tersebut?
Sebagai rimbawan dan pengamat kehutanan yang malang melintang lebih dari 35 tahun berkecimpung di kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) serta pernah bertugas dan bermukim selama lima tahun (1999-2004) di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah, saya mencoba mengulik tentang forest city IKN dari aspek deforestasi dan reforestasinya.
Forest City IKN
Ibu Kota Negara (IKN) dibangun dengan konsep kota pintar, kota hutan dan kota spons. Kota pintar salah satunya mencakup akses dan mobilitas. Kota hutan dipilih karena IKN berlokasi di wilayah yang di dalamnya terdapat kawasan hutan dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dalam konsep Bappenas, IKN dibangun dan dikembangkan hanya menggunakan 20 persen kawasan lahan yang ada, sisanya akan dipertahankan sebagai kawasan hijau berupa kawasan hutan. IKN Nusantara, juga bagian dari komitmen Indonesia dalam penanggulangan perubahan iklim dengan pengurangan temperatur 2 derajat.
Secara administratif wilayah IKN terletak di dua kabupaten eksisting yakni Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah IKN berada di sebelah utara Kota Balikpapan dan sebelah selatan Kota Samarinda. Secara keseluruhan wilayah IKN, luasnya mencapai 256.143 hektar, yang terdiri dari tiga wilayah perencanaan yakni Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang merupakan bagian dari KIKN dengan luas 6.671 hektar, Kawasan IKN (KIKN) dengan luas wilayah 56.181 hektar dan Kawasan Pengembangan IKN (KP IKN) dengan luas wilayah 199.962 hektar (Kompas,24/02/2022).
Dalam rapat kerja Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kamis, (17/02/2022) lalu, Menteri LHK menjelaskan bahwa berdasarkan kawasan fungsi hutan wilayah IKN terdiri dari hutan lindung 0%, hutan produksi terbatas 1%, hutan produksi yang dapat dikonversi 16%, hutan produksi biasa 17%, hutan konservasi 25% dan areal penggunaan lain (APL) 41%. Sementara itu, berdasarkan peta tutupan lahan skala 1 : 5000 tahun 2019; kawasan IKN yang masih berhutan seluas 42,31% (hutan lahan kering 38,95%, hutan mangrove 2,15% dan hutan rawa gambut 1,21%), semak belukar dan tanah kosong 13,74%, perkebunan 29,18%, tanaman campuran dan tegalan/ladang 8,97%. Sisanya berupa sawah, padang rumput, pertambangan dan sebagainya dengan luasan yang relatif kecil rata- rata dibawah 1%. KLHK telah melakukan proses alih fungsi lahan hutan produksi biasa menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 41.493 hektar tahun 2019. Kawasan hutan ini yang akan menjadi KIKN melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL dan akan dilakukan atas usul otorita IKN.
Secara legal formal, kawasan IKN (KIKN), sudah siap dan tidak menjadi masalah karena kawasan tersebut adalah bekas HTI yang 0% konflik tenurial. Tutupan hutannya pun, secara ekologis luasnya masih sangat memadai yakni 42,31%. Sebagai kota yang mengusung konsep kota hutan (forest city) dan berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin atau tidak ada penebangan hutan, luasan tutupan hutan 42,31% ini dirasa belum cukup dan harus ditingkatkan lagi luasannya menjadi 70 – 80 %. Jadi secara ekologis, konsep pembangunan IKN yang menyebabkan terjadinya proses deforestasi baru yang dituduhkan oleh Walhi sebenarnya sudah terbantahkan dengan mengkaji eksisting tata guna lahan (land use) di IKN sekarang. Bahkan dari luas tutupan hutan (forest coverage) nya yang akan dikembangkan masih perlu ditambah dan ditingkatkan lagi 30 – 40 % persen agar dapat mencapai luas yang ideal yakni 70 – 80 % sesuai dengan konsep yang diharapkan.
Masalah Reforestasi
Dalam perbincangan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dalam President’s Corner di Metro TV bersama Zilvia Iskandar tanggal 22 Oktober 2022, Siti Nurbaya menyebut bahwa akan mengembalikan hutan tropika basah asli Kalimantan di ibukota negara (IKN) baru, Nusantara yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Kelihatannya konsep forest city yang akan dibangun di IKN adalah forest city yang sangat ideal sesuai dengan agroklimat aslinya di Kalimantan Timur. Mungkinkah kawasan IKN yang aslinya adalah hutan tropika basah dengan ratusan jenis pohon/tanaman dan telah menyatu membentuk ekosistem yang seimbang (equilibrium ecosystem) melalui proses ratusan tahun, kemudian diubah menjadi hutan tanaman yang monokultur akan dikembalikan lagi seperti aslinya sebagai hutan tropika basah (humida) asli Kalimantan?
Dalam kondisi aslinya kawasan IKN dulunya adalah sebagai hutan alam primer tropika basah yang telah mencapai tahap klimaks yang telah terbentuk ratusan tahun. Hutan Klimaks adalah komunitas hutan yang berada dalam tahap puncak pemantapan suksesi alam sesuai dengan kondisi alam setempat. Tahap klimaks dari hutan ditunjukkan dengan berbagai ragam jenis yang ditemukan di dalam hutan tersebut sehingga keseimbangan ekosistem semakin baik dan tinggi. Termasuk didalam keseimbanmgan ekosistem adalah keseimbangan tata air yang ada di dalam tanah yang membentuk ekosistem lingkungan yang holistik. Vegetasi asli hutan tropika basah di Kalimantan banyak didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae seperti meranti, kapur, belarengan dan sejenisnya adalah jenis yang pertumbuhannya lambat, membutuhkan naungan dalam pertumbuhannya (toleran), dan silvikulturnya belum dapat dikuasai sepenuhnya oleh para ahli kehutanan sehingga pengembangan dan pertumbuhannya lebih banyak tergantung dari alam. Lain halnya dengan jenis eukaliptus yang ditanam di lokasi IKN sebagai vegetasi hutan tanaman. Jenis tersebut mudah dan cepat tumbuh, monokultur dan tidak membutuhkan naungan dalam pertumbuhannya (intoleran).
Dalam konsep menanam pohon dalam suatu areal seperti kawasan IKN Nusantara, pemilihan jenis dan jumlah pohon yang ditanam tergantung dari karakteristik pohon itu sendiri, agroklimat dan fungsi kawasannya. Tidak semua bibit pohon dapat serta merta ditanam di tempat terbuka. Untuk tanaman pohon yang mempunyai karakteristik membutuhkan cahaya yang terbatas dalam pertumbuhannya seperti jenis meranti membutuhkan naungan (pengaturan cahaya dalam pertumbuhannya).
Kawasan IKN yang diharapkan sebagai forest city dengan jenis aslinya sebagai hutan tropika basah harus dipersiapkan dengan cermat dan matang. Dalam pembuatan persemaian tanaman hutan apalagi persemaian modern yang menggunakan input teknologi, produksi bibit berkualitas mutlak diperlukan. Dengan bibit yang berkualitas, tanaman sudah dapat dianggap mempunyai harapan hidup 40 persen, sisanya yang 60 persen adalah persiapan lahan tanam, waktu tanam, pemupukan, pemeliharaan dan pengawalan sampai bibit pohon menjadi pohon dewasa. Bilamana diperlukan, rekayasa dan manipulasi ruang (space), lingkungan dan juga cahaya sudah harus dapat digunakan sebagai salah satu intervensi teknologi untuk mempercepat realisasi kota hutan IKN Nusantara.
Membangun kawasan hutan tropika basah asli Kalimantan membutuhkan proses dan waktu bertahun-tahun dan jangan membayangkan semudah membalikkan telapak tangan. Tingkat kesulitannya sangat tinggi meskipun telah dibantu dengan rekayasa teknologi.
Persemaian Mentawir yang Konvensional
Untuk menyikapi pembangunan forest city IKN tersebut, pemerintah melalui KLHK membangun persemaian di Desa Mentawir di Kec. Sepaku Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur mempunyai luas 22 hektar, yang terdiri dari sarana persemaian 22 hektar dan diantaranya prasarana air baku 6 hektar dengan kapasitas produksi bibit 15 juta batang/tahun sejak tahun 2021. Sayangnya, meskipun oleh KLHK persemaian itu diklaim megah, luas dan modern, ternyata masih bersifat konvensional. Kekurangan dan belum idealnya persemaian modern yang dibangun di Mentawir, jelas tergambar dari pernyataan guru besar Fakultas Kehutanan UGM, Muhammad Naim- dari mulai ketersediaan air yang kontinyu bagi sebuah persemaian modern, ukuran polybag yang terlalu kecil, sampai kualitas bibit yang dihasilkan.
Dalam pembuatan persemaian tanaman hutan apalagi persemaian modern yang menggunakan input teknologi, produksi bibit berkualitas mutlak diperlukan. Paling cepat bibit tanaman jika berhasil menjadi pohon dewasa membutuhkan waktu paling sedikit 15 tahun dengan melalui tahapan sebagai anakan (seedling), sapihan (sapling), tiang (pole) dan baru menjadi pohon dewasa (trees).
Dalam konsep menanam pohon dalam suatu areal seperti kawasan IKN Nusantara, pemilihan jenis dan jumlah pohon yang ditanam tergantung dari karakteristik pohon itu sendiri, agroklimat dan fungsi kawasannya. Tidak semua bibit pohon dapat serta merta ditanam di tempat terbuka. Untuk tanaman pohon yang mempunyai karakteristik intoleran (membutuhkan cahaya yang terbatas) dalam pertumbuhannya, seperti jenis meranti, membutuhkan naungan (pengaturan cahaya dalam pertumbuhannya). Sebaliknya untuk jenis bibit pohon yang toleran (membutuhkan cahaya penuh), sangat cocok untuk ditanam di tempat terbuka seperti jenis pionir pinus, misalnya, atau beberapa jenis pohon yang masuk dalam kategori cepat tumbuh (fast growing species).
Karena itu, dalam penyediaan bibit dengan jumlah yang cukup banyak dengan karakteristik jenis yang berbeda-beda seperti di Mentawir diperlukan adanya persemaian modern yang tidak saja untuk menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi tetapi juga bibit dalam jumlah yang massal. Salah satu ciri khas persemaian modern adalah bibit yang dihasilkan dari biji tidak menggunakan media tanah dan polybag (kantong plastik) tetapi dengan media khusus (seperti serabut kelapa, ampas tebu, dan sejenisnya) yang dicampur dengan hara tanaman yang berdosis tinggi yang dimasukkan dalam tabung-tabung plastik. Bila saat bibit siap tanam, bibit-bibit tersebut dapat langsung dicabut dari tabungnya dan yang tersisa adalah bibit dan akarnya yang menempel pada media tumbuh yang telah menyatu dengan hara tanaman. Berat bibit dari persemaian modern ini akan lebih ringan 10 kali dibanding dengan bibit dengan media tanah dan polybag. Ciri lain persemaian modern adalah kebutuhan air untuk tanaman tidak akan pernah putus dan selalu tersedia sprinkle air yang selalu menyemprot setiap saat. Di samping itu, cahaya matahari yang masuk dapat diatur dengan net (jaring) khusus sesuai dengan persentase cahaya yang dikehendaki jenis tanaman.
Beberapa jenis Dipterocarpaceae merupakan jenis intoleran dari sejak anakan sudah tentu membutuhkan cahaya yang terbatas dibanding dengan jenis-jenis yang toleran. Teknologi persemaian modern ini telah dikenal di Indonesia pada saat Departemen Kehutanan bekerja dengan pemerintah Finlandia di awal tahun 90-an dengan membangun persemaian modern di beberapa daerah di Indonesia. Biaya membangun persemaian modern memang lebih mahal dibanding dengan persemaian konvensional. Namun bibit yang akan dihasilkan jauh lebih berkualitas dan dalam jumlah yang massal.
Akankah Mentawir nantinya menggunakan teknologi modern seperti ini, dengan mengesampingkan masalah besarnya biaya? Nampaknya persyaratan persemaian modern yang ideal untuk membangun forest city IKN wajib dilakukan dan dibangun, bila menginginkan forst city IKN berhasil. Memabngun forest city dalam bentuk hutan tropika sesuai aslinya (tropical rain forest) membutuhkan proses, waktu, input teknologi dan tentu saja biaya yang cukup mahal. ***