Meluruskan Program Reforma Agraria

pembagian sertifikat TORA (ilustrasi)
Pramono DS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

 

Harian Kompas, Senin (15 Januari 2024), menerbitkan berita dihalaman utama berjudul “Capaian Reforma Agraria Masih Timpang”. Capaian program reforma agraria dinilai masih jauh dari harapan meski pemerintah berupaya menjalankannya. Program reforma agraria masih bertumpu pada legalisasi aset tanah sehingga belum benar-benar mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria.  Realisasi program reforma agraria yang digulirkan selama periode 2015-2023 juga masih timpang. Reforma berskema legalisasi aset dan redistribusi tanah eks hak guna usaha (HGU), tanah terlantar, dan tanah negara jauh lebih dominan capaiannya katimbang redistribusi tanah di kawasan hutan. Reforma agraria merupakan agenda Nawacita ke-5 Presiden Joko Widodo. Program ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 yang kemudian dilanjutkan dalam RPJMN 2020-2024. Untuk memahami secara utuh program reforma agraria berikut capaiannya, sebagai pemerhati kehutanan, pertanahan dan lingkungan, saya mencoba untuk meluruskan dan menguraikan apa yang dimaksud dengan program reforma agraria.

Program Reforma Agraria yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya sudah agak terlambat digaungkan karena seharusnya sudah dimulai sejak tahun 1998 terhitung mulai runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Reforma agraria merupakan implementasi dari amanat UUD 45 pasal 33 (ayat 3) yang berbunyi , Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Reforma agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan lahan, baik tanah di hutan ataupun di desa-desa. Dalam reforma agraria tersebut terdapat dua hal yang diperhatikan pemerintah, yakni tanah objek reforma agraria (TORA) dan perhutanan sosial. Dalam praktiknya, lahan yang termasuk dalam TORA dan perhutanan sosial akan dibuat secara per klaster dan dikelola oleh kelompok masyarakat terutama untuk diberdayakan di bidang pangan. Namun, bedanya terletak pada hak pemanfataannya. Jika lahan TORA bisa digunakan dengan hak milik atas tanah, maka lahan perhutanan sosial digunakan melalui hak akses/izin/kemitraan pengelolaan hutan. Untuk lahan TORA adalah hak milik yang sertifikatnya akan dibuat untuk tidak bisa dijual dan tidak bisa dipecah melalui sistem waris. Sedangkan penggunaan lahan perhutanan sosial tidak boleh merusak ekosistem hutan dan penebangan kayu hanya dibolehkan di hutan produksi. Kegiatan TORA menjadi domainnya dan tanggungjawabnya Kermenterian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sementara itu Perhutanan Sosial menjadi domainnya dan tangungjawabnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Jadi membahas reforma agraria tidak terbatas pada legalisasi aset dengan target 4,5 juta ha dan redistribusi 4,5 juta ha (Kompas, 15/01/2024) yang dipahami sebagai kegiatan tanah obyek agraria (TORA), tetapi juga pengelolaan kawasan hutan melalui kegiatan Perhutanan Sosia (PS) yang targetnya mencapai 12,7 juta ha. Bagaimana kondisi kegiatan, progres dan capaian dari kegiatan TORA dan Perhutanan Sosial hingga saat ini. Berikut ini uraiannya:

 

Kegiatan TORA

Kegiatan tanah obyek agraria atau biasa disebut TORA yang menjadi domain dan tanggung jawab Kementerian ATR/BPN merupakan sdalah satu program reforma agraria yang paling rumit dan kompleks dibandingkan dengan kegiatan Perhutanan Sosial (PS). Pemerintah merencanakan TORA seluas 9 juta hektar. Target ini meliputi legalisasi aset seluas 4,5 juta ha dan redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha. Legalisasi aset mencakup 3,9 juta ha tanah warga dan 0,6 juta ha tanah transmigrasi. Adapun redistribusi tanah terdiri dari 4,1 juta ha kawasan hutan serta 0,4 juta ha eks HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya.

Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, Rabu (10/01/2024) mengatakan hingga akhir 2023, realisasi legalisasi aset mencapai 110,5 juta bidang tanah dari total target 126 juta bidang (87,69 persen). Sertifikasi aset ini mencakup tanah warga dan transmigran yang belum bersertifikat. Adapun redistribusi tanah di kawasan hutan baru terealisasi 379.621,85 ha atau 9,26 persen dari target 4,1 juta ha. Hal ini berbeda dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya yang terealisasi 1,43 juta ha atau 358,23 persen dari target 0,4 juta ha. Legalisasi aset sudah sesuai rencana. Demikian juga dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya yang jauh melampau target. Namun, untuk redistribusi tanah dalam kawasan hutan masih jauh dari optimal dan maksimal. Kenapa dapat terjadi demikian?

Menurut KLHK, penyediaan kawasan atau lahan hutan untuk kepentingan kegiatan TORA dilakukan melalui dua jalur yakni jalur Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Inver PTKH) dan jalur Non Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Non Inver PTKH). Dari jalur Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Inver PTKH) jelas lebih mudah proses pelepasannya karena sifatnya pemutihan. Kategori Inver PTKH menyangkut lahan transmigrasi, pemukiman, kebun lahan kering, fasilitas umum dan sosial, sawah, tambak rakyat dan sebagainya. Sementara itu, kawasan yang perlu dicermati adalah dari jalur non Inver PTKH yang meliputi alokiasi TORA dari 20 persen perkebunan, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) tak produktif dan program pemerintah untuk pencadangan pencentakan sawah baru.

Penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dari kawasan hutan telah menunjukkan progres capaian. Itu ditunjukkan dengan capaian hingga Desember 2021 seluas 2.749.663 hektare yang terdiri dari Non Eksisting/Non Inver seluas 1.407.465 hektare dan Eksisting/Inver seluas 1.342.198 Ha. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Ruandha A. Sugardiman pada saat diskusi Refleksi Akhir Tahun KLHK tahun 2021 di Jakarta, Kamis (16/12/2021) beberapa tahun lalu. Sementara dalam refeleksi akhir tahun 2023, Dirjen PKTL KLHK Hanif Faisol Nurofiq menyebut bahwa kawasan hutan yang telah didistribusikan untuk kegiatan TORA dari target 4,1 juta ha telah diselesaikan seluas 2,9 juta ha. Sisanya 1,2 juta ha akan diselesaikan pada 2024 ini. Masalah yang dihadapi dalam penyediaan kawasan hutan untuk kegiatan TORA adalah legitimasi terhadap kawasan hutan perlu pengukuhan masyarakat yang ada didalamnya. Disamping itu, lokasinya menyebar dan membutuhkan tenaga yang sangat besar.

Secara administratif KLHK telah menyediakan lahan kawasan hutan untuk TORA sampai akhir tahun 2023 telah mencapai 70,73 persen, namun Kementerian ATR/BPN untuk mensertifikasinya dalam bentuk redistribusi tanah dari kawasan hutan baru mencapai 379.621,85 ha atau 9,26 persen dari target 4,1 juta ha. Terdapat gap (perbedaan) yang cukup mencolok yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan dikejar oleh Kementerian ATR/BPN dalam menyelesaian redistribusi tanah dari kawasan hutan yakni sebesar kurang lebih 61 % dari realisasi yang telah dikerjakan oleh KLHK.

Kegiatan Perhutanan Sosial

Dalam rangka untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, pemerintah diwajibkan untuk memberdayakan  masyarakat didalam dan disekitar hutan  melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat didalam dan disekitar hutan dapat dilakukan melalui kegiatan hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (Hkm), dan kemitraan kehutanan (KK) (PP no. 6 tahun 2007). KLHK mendiskripsikan,  3 (tiga) kegiatan pemberdayaan masyarakat ini diperluas dan ditambah dengan kegiatan hutan adat (HA)  dan hutan tanaman rakyat (HTR) yang selanjutnya menjadi 5 (lima) skema kegiatan disebut dengan Perhutanan Sosial ( Peraturan Menteri LHK no. P. 83 tahun 2016).

Dengan terbitnya undang-undang (UU) no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan, kegiatan Perhutanan Sosial mendapat legitimasi yang lebih kuat karena secara tekstual Perhutanan Sosial termuat dalam pasal 29 A dan 29 B dalam revisi UU no. 41/1999 tersebut. Dalam PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, kegiatan Perhutanan Sosial dibahas dalam Bab VI pasal 203 sampai 247. Sementara, Peraturan Menteri LHK tentang Perhutanan Sosial diperbaharui melalui Permen LHK no. 9/2021.

Berdasarkan target luas kawasan hutan yang disediakan untuk kegiatan Perhutanan Sosial dari periode pertama (2015-2019) dan periode kedua (2020-2024) pemerintahan Presiden Jokowi adalah 12,7 juta hektar. Dari refleksi akhir tahun 2023, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, Bambang Supriyanto, menyebutkan bahwa realisasi Perhutanan Sosial seluas 6.372.449,22 hektar atau 50,17 persen, yang melibatkan 1.288.004 KK dengan menerbitkan 9.642 Surat Keputusan (SK). Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang telah terbentuk sebanyak 10.288 KUPS, yang terdiri dari KUPS biru   4.117 unit , KUPS perak 4.222 unit, KUPS emas 913 unit, KUPS platinium 51 unit. Ditjen PSKL KLHK dalam memberikan klasifikasi indikator keberhasilan pemegang izin PS (yang tidak lain adala KUPS) dibedakan  menjadi 3 (tiga) kelas. Berdasarkan panduan pendampingan perhutanan sosial, kelas yang dimaksud adalah Gold, jika kegiatan pendampingan telah berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan, kawasan dan usaha. Silver, jika kegiatan pendampingan baru berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan dan kawasan dan Blue, bila kegiatan pendampingan telah berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan. Dan yang sempurna adalah Platinum jika KUPS tersebut telah memiliki pasar yang luas baik nasional maupun internasional.

Ada tiga pilar penentu keberhasilan perhutanan sosial, yaitu masyarakat mau dan mampu membentuk kelompok atau gabungan kelompok; kesiapan, kemampuan dan ketrampilan penyuluh kehutanan dan pendamping kegiatan perhutanan sosial; kesiapan, kemauan dan kemampuan pemerintah memfasilitasi perizinan, permodalan, hingga pemasaran komoditas petani. Ukuran lain keberhasilan kelompok usaha perhutanan sosial adalah kemandirian kelompok. Pemerintah mengklasifikasikannya menjadi empat: blue, silver, gold, platinum. Menurut data Go KUPS 2023, KUPS blue dan silver 81,05 %. Ini mengindikasikan perhutanan sosial yang telah berjalan delapan tahun belum bisa mengentaskan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan secara signifikan. Pelaksanaan kegiatan perhutanan sosial perlu didorong dan difasilitasi oleh berbagai pihak terutama pemerintah daerah agar KUPS yang sudah terbentuk mampu mandiri menjalankan usahanya dengan menemukan pasar yang stabil.  ***