Memahami Tutupan Hutan Dalam Konstelasi Pemanasan Global

Pramono DS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan (2021) dan Membangun Hutan Menjaga Lingkungan (2023))

 

Pemanasan global, semua orang sudah tahu dan paham karena sudah merasakan dampaknya. Di Indonesia akibat pemanasan global yang panjang menyebabkan efek El Nino yang membawa kekeringan berkepanjangan yang terjadi pada 2023 lalu. Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu oleh emisi karbon di atmosfer. Emisi karbon adalah hasil aktivitas ekonomi manusia.

Penyebab terbesar dari adanya emisi karbon diantaranya adalah akibat dari alih fungsi hutan untuk kepentingan non kehutanan. Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.

Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun illegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan. Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah didunia setelah negara Brasil dan Republik Demokratik Kongo yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya.

Penelitian Departemen Teknik di University of Hongkong dan Southern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan berlebihan.  Kehilangan simpanan karbon hutan tropis diseluruh dunia naik 0,97 miliar ton per tahun pada 2001-2005 menjadi 1,99 miliar ton per tahun pada 2015-2019.  Dalam konteks penggundulan hutan yang berlebihan tersebut, tentu tidak terlepas dan berbanding lurus dengan terminologi hilangnya tutupan hutan yang menjadi andalan utama bagi penyerpan emisi karbon di dunia.

Tutupan Hutan

Istilah tutupan hutan (forest coverage) belakangan populer karena Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menghapus pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan. Pasal ini mewajibkan pemerintah mempertahankan rasio luas kawasan hutan dan tutupan hutan minimal 30% untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran proporsional. Penghapusan ini, tentu saja, menghilangkan kewajiban pemerintah mempertahankan tutupan hutan. Meski ada argumen bahwa pemerintah bisa menambah kawasan hutan lebih dari itu, penghapusan ini memantik kecurigaan bahwa pemerintah hendak mengubah kawasan hutan dan tutupan hutan untuk usaha atau proyek strategis nasional. Harapan bahwa tutupan hutan diatur kembali dalam peraturan pemerintah pupus karena aturan turunan yang sudah disahkan tak mencantumkan ketentuan lebih spesifik soal ini. Sebab, ketentuan 30% ini menjadi daya dukung lingkungan minimal agar sebuah DAS atau wilayah atau pulau bisa tetap memiliki fungsi hidrologi sehingga terhindar dari banjir dan bencana klimatologi lain.

Tapi apa itu kawasan hutan dan tutupan hutan? Secara teknis, ini dua istilah yang merujuk ke dalam makna dan fakta yang berbeda.

Dalam pasal 1 ayat 3 UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sementara dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) yang dimaksud dengan tutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.

Di Indonesia pemerintah menetapkan kawasan hutan seluas 125,2 juta hektare. Dari luas itu ada yang memiliki tutupan hutan dan ada pula yang tak memilikinya. Sebaliknya, tutupan hutan bisa terjadi dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Kawasan dan bukan kawasan hutan adalah pengertian penguasaan oleh negara dan oleh pihak lain. Jika disebut “kawasan hutan” maka hak pengelolaannya berada di tangan negara.

Masalahnya bagaimana membedakan kawasan hutan dan tutupan hutan di lapangan? Instrumen hukum apa saja yang mampu melindungi tutupan hutan yang statusnya di luar kawasan hutan untuk mencegah deforestasi, sementara dalam kawasan hutan saja pemerintah tidak mampu mempertahankan sepenuhnya tutupan hutan dari laju deforestasi setiap tahun.

Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan tutupan hutan untuk setiap DAS dan/pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Optimalisasi manfaat hutan adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari.

Dengan mempertimbangkan curah dan intensitas hujan yang tinggi, konfigurasi daratan bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air, penetapan 30% luas kawasan hutan menjadi syarat menjaga kawasan tersebut dari bencana.

Secara fungsi, wilayah yang harus dipertahankan adalah kawasan lindung, yang terdiri dari hutan lindung dan hutan konservasi. Mempertahankan luas di atas 30% tak lagi menimbang dan menghitung kondisi biofisik, iklim, sosial-ekonomi masyarakat. Sehingga kewajiban mempertahankan 30% kawasan dan tutupan hutan adalah areal penggunaan lain (APL).

APL adalah wilayah yang pengelolaannya berada di tangan pemerintah daerah untuk keperluan di luar kepentingan kehutanan, seperti perkebunan, pertanian, pertambangan. Karena itu APL bukan kawasan hutan. Saat ini luas APL mencapai 67,4 juta hektare. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seluas 12% APL atau 7,9 juta hektare masih memiliki tutupan hutan.

Bagaimana dengan DAS? Mayoritas memiliki tutupan hutan di bawah 20%. Terutama di pulau Jawa yang sudah padat penduduk dan pertanian. DAS Ciliwung tinggal 8,9%. DAS Solo malah tersisa 4%. DAS Citarum 15,9%.

Dengan luas tutupan hutan sekecil itu, tekanan penduduk terhadap ekosistem DAS begitu berat. Jika musim hutan kota-kota di Jawa, dan kini Kalimantan, terendam banjir.

Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK mengatakan Indonesia menetapkan klasifikasi kelas hutan dengan mengacu pada beberapa ketentuan. Antara lain Peraturan Direktur Jenderal Planologi NomorP.1/VII-IPSDH/2015, Dokumen FREL (Forest Reference Emissions Level) 2016, SNI 8033, 2014, dan SNI 7645-1, 2014.

Klasifikasi kelas hutan itu terbagi menjadi hutan alam yang mencakup hutan primer dan sekunder. Selain hutan alam, ada hutan tanaman. Hutan primer adalah hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Sementara hutan yang mendapatkan gangguan disebut hutan sekunder.

Sebaran dan Kerusakan Hutan Tropis

Daerah utama hutan hujan tropis di dunia adalah Amerika Selatan, Afrika dan pulau-pulau besar Asia Tenggara. Tiga negara hutan tropis –Brasil, Republik Demokratik Kongo dan Indonesia- mempunyai hampir 50 persen dari hutan tropika dunia yang berdaun lebar dengan tajuk tertutup. Kebanykan  dari hutan yang terisisa (57 persen) dijumpai di Dunia Baru, 19 persen lainnya di Afrika dan 24 persen di Australasia. Diperkirakan terdapat 1,6 milliar hektar hutan tropika basah dan lembab sebelum terjadi penebangan hutan skala besar dan masif yang disebabkan manusia. Daerah ini telah susut menjadi sekitar 1,1 miliar hektar. Yang diketahui adalah penebangan hutan tropika sekarang sudah dan sedang berlangsung pada kecepatan paling tidak satu persen per tahun dan dari ekstrapolitasi angka-angka ini, 20 -40 hektar hutan hilang setiap menit. Bahkan di beberapa negara, situasinya bahkan lebih buruk. Dipantai Gading dan Nigeria, Afrika Barat, misalnya laju penebangan hutan mencapai setinggi lima sampai enam persen per tahun. Tempat-tempat parah lainnya termasuk El Salvador (3,3 persen), Thailang (2,9 persen) dan Kosta Rika (4,0 persen). Indonesia masuk dalam kisaran 0,5 persen kehilangan hutannya setiap tahun.

Indonesia yang menurut menurut The State of Indonesia’s Forest 2020, mempunyai hutan seluas 120,3 juta hektar, juga tidak lepas dari masalah deforestasi yang cukup akut. Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektar (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektar, hutan lindung 2.379.371 hektar, hutan produksi 5.109.936 hektar, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektar, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektar. Sebaran deforestasi di Indonesia berada dalam pulau-pulau besar yang mempunyai hutan tropis terluas yakni Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Meski Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP 26 di Glasgow, 01 November 2021, mengklaim bahwa laju deforestasi turun signifikan dalam 20 tahun terakhir, namun bukan berarti turunnya laju deforestasi semata-mata karena upaya pemerintah mampu mencegah adanya kegiatan deforestasi tersebut. Sejak 1990, angka deforestasi tertinggi terjadi pada 1996-2000, yaitu 3,51 juta hektare per tahun, lalu menurun pada tahun berikutnya. Selama 2014-2015, total deforestasi di Indonesia mencapai 1,1 juta hektare, lalu menurun menjadi 630.000 hektare pada 2015-2016 dan terus menurun lagi menjadi 496.370 hektare pada 2016-2017. Pada tahun 2018-2019 laju deforestasi sebesar 462,46 ribu hektar dan tahun 2019-2020 diklaim turun menjadi berada pada angka 115,46 ribu hektar. Pulau terluas deforestasi adalah Kalimantan dan Sumatera. Pemerintah berharap deforestasi pada 2030 antara 450.000 hektare-325.000 hektare per tahun.

Boleh jadi, laju deforestasi trennya  terus menurun dari tahun ketahun karena kawasan hutan alam primer yang dimiliki Indonesia memang sudah mulai menyusut luasnya. Dalam buku The State of Indonesia’s Forest 2020, dari luas hutan 120,3 juta hektar; 45,3 juta hektar diantaranya adalah masih berupa hutan alam primer, yang terbagi lagi menjadi hutan alam primer dalam kawasan hutan konservasi 12,5 juta hektar, hutan lindung 15,9 juta hektar, hutan produksi 17,0 juta hektar. Hutan konservasi dan hutan lindung yang berupa hutan alam primer seluas 28,4 juta hektar telah masuk dalam kawasan hutan yang dimoratorium secara permanen untuk tidak dapat diberikan izin dalam pemanfatan dan penggunaan kawasan hutan sejak tahun 2011. Sementara hutan produksi yang seluas 17,0 juta hektar, 2,5 juta hektar diantaranya berupa hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang memang dipersiapkan untuk dilepas kawasannya dalam alih fungsi lahan hutan untuk pembangunan non kehutanan dalam mekanisme pelepasan kawasan hutan. Sementara sisa hutan produksi lainnya yang masih berupa hutan alam primer seluas 14,5 juta hektar masuk dalam skema kawasan hutan alam primer yang dimoratorium permanen yang luasnya mencapai lebih dari 60 juta hektar. Jadi sangat wajar apabila laju deforestasi hutan alam luas dan kenderungan makin lama makin mengecil, karena peluang untuk melakukan aktivitas deforestasi ruang lingkup makin terbatas dan sempit. ***