Sutera alam sudah lama lekat dengan kebudayaan Indonesia. Berbagai produk sandang dari berbagai daerah memanfaatkan serat yang berasal dari kepompong ulat sutera (kokon) itu sebagai bahan bakunya. Mulai dari batik, tenun, sarung, hingga kebaya. Seratnya yang halus berkilau memberi kesan mewah bagi siapapun yang mengenakannya.
Sayangnya, meski sudah dimanfaatkan dan diperdagangkan sejak zaman Kerajaan Majapahit, produksi sutera Indonesia kemudian merosot hingga ke titik nadir. Saat ini sekitar 95% dari total kebutuhan benang sutera nasional dipenuhi dari impor, terutama China. Kalaupun ada sutera alam yang diproduksi dalam negeri, bahan baku berupa telur ulat sutera tetap didatangkan dari luar negeri.
Padahal, kondisi alam Indonesia sesungguhnya cocok untuk pengembangan budidaya ulat sutera (Bombyx mori). Budidaya ulat sutera sesungguhnya juga menjanjikan karena potensi pasar yang besar.
Usaha untuk meningkatkan produksi sutera alam nasional saat ini terus dilakukan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah merilis ulat sutera hibrid (keturunan) unggul PS 01 yang adaptif dengan beragam kondisis rumah budidaya. Selain itu ada juga tanaman murbei pakan ulat sutera SULI 01 yang produktivitasnya tinggi meski tanpa pemeliharaan khusus.
Kombinasi keduanya meningkatkan produksi kokon sebesar 39% dari produksi ulat sutera pada umumnya, serta menghasilkan 20% lamen benang lebih panjang.
Inovasi tersebut mulai dimanfaatkan oleh petani pembudidaya ulat sutera. Dukungan dari produsen sutera, PT Begawan Sutera Nusantara diharapkan bisa memperluas pemanfaatan SULI 01 dan PS 01 untuk mendukung peningkatkan produksi sutera alam nasional
Pimpinan PT Begawan Sutera Nusantara Firman Nitiwisastra mengungkapkan pihaknya bekerja sama dengan KLHK untuk memasyarakatkan dan memanfaatkan inovasi SULI 01 dan PS 01. “Kami dan bermitra dengan kelompok tani hutan untuk mendorong produksi sutera nasional,” katanya ketika ditemui beberapa waktu lalu.
Untuk tahu bagaimana praktik dari kerja sama tersebut di lapangan, berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana teknis kerja sama pemasyarakatan inovasi sutera alam yang dihasilkan KLHK?
Kami ada kerja sama dengan Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK. Oleh kami, inovasi BLI KLHK di perbanyak agar bisa dimanfaatkan petani. Yang nunjuk kami, petani. Ini produk bagus yang mesti dimanfaatkan. Kami perbanyak dalam telur ulat sutera PS 01 untuk kemudian dimanfaatkan oleh petani mitra. Kami tidak menjual telur ulat sutera. Kalau ada yang mamu membeli silakan kontak langsung dengan BLI KLHK.
Jadi Anda tidak menjual telur ulat sutera. Lantas bagaimana pola kemitraan dengan petani?
Kami memproduksi telur ulat sutera PS 01. Telur tersebut kemudian kami pelihara sekitar 13 hari hingga menjadi ulat kecil. Ini kami lakukan karena waktu tersebut adalah fase paling kritis dalam metamorfosis ulat sutera.
Setelah 13 hari, ulat-ulat kecil yang kami kemas dalam kotak (boks) kami serahkan kepada petani mitra. Gratis. Tidak perlu membayar bahkan kami antar. Selanjutnya selama 13 hari dilakukan pemeliharaan oleh petani. Setelah ulat berubah menjadi kokon, kami beli. Jadi kami serahkan gratis, setelah jadi kokon, kami beli. Satu boks ulat sutera bisa menghasilkan sekitar 40 kilogram kokon. Saat ini harga kokon sekitar Rp40.000 per kilogram.
Jika petani menghadapi kesulitan, tentu kami bantu. Kalau soal permodalan, jika kami tidak ada juga, kami akan menjadi jembatan untuk petani mendapat permodalan.
Dimana lokasi kemitraan yang dilaksanakan?
Di Sukabumi. Di sana ada beberapa kecamatan yang mulai tumbuh minat budidaya ulat sutera. Saat ini mitra kami ada 9 kelompok tani hutan yang sudah berjalan. Sementara 17 lainnya masih belajar.
Untuk membudidayakan sebenarnya tidak butuh lahan luas. Ada yang hanya punya lahan seperempat hektare, sudah mencukupi untuk memelihara tanaman murbei untuk pakan ulat sutera sebanyak dua boks.
Untuk memelihara tanaman murbei pakan ulat sutera, apa kesulitannya?
Pertama bibit. Sekarang sudah ada SULI 01. Kedua untuk membudidayakan tanaman murbei untuk pakan, butuh lahan dengan pasokan air yang cukup. Kita tahu, musim penghujan umumnya 6 bulan, setelah itu kemarau, tidak ada air.
Makanya kita harus fokus selesaikan persoalan itu. Bagaimana petani bisa mendapat pasokan air di musim kemarau.
Mengapa Anda mau repot-repot untuk ikut mengembangkan sutera?
Ini berdasarkan pengalaman sendiri. Suatu hari, datang customer ke toko kami. Dia bilang, ini bukan asli sutera. Kami bingung. Apa benar, wong kami sendiri yang membuatnya. Memang benangnya kami impor dari luar. Lantas apa benar dari benang yang diimpor itu ada yang tercampur atau sengaja dicampur? Benang itu kan kecil ya. Selembar itu ada sekitar 10 deliran serat. Nah apakah diantara itu ada campurannya? Kami tidak tahu. Yang pasti customer kami bisa membedakan.
Jadi kalau ada negara yang produksi benang sutera, terus dikirim ke Indonesia, kira-kira dia mau kirim yang terbaik atau nggak? Yang terbaik pasti dipakai sendiri.
Itu makanya kami ingin mendukung pengembangan sutera alam asli Indonesia Sutera yang 100% asli sutera Indonesia. Karena kami tahu prosesnya mulai dari telurnya bahkan tahu pakannya.
Bagaimana pasarnya?
Saat ini hampir 100% kami gunakan benang dari PS 01. Kami punya nieche market, yang memang tidak terlalu banyak secara volume. Nieche market ini kita mesti kenal konsumennya secara pribadi.
Sugiharto