Menggugat Keputusan BPH Migas

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang tidak secara frontal menolak kebijakan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) — yang telah menetapkan pengendalian bahan bakar minyak (BBM) tertentu.

Dalam Surat Edaran No. 937/07/Ka.BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 perihal Pengendalian Konsumsi BBM Tertentu Tahun 2014 menunjukkan BBM jenis minyak solar (gas oil) dikurangi 20% di lembaga penyaluran nelayan (stasiun pengisian bahan bakar/SPBB, stasiun pengisian BBM untuk nelayan/SPBN, solar packed dealer untuk nelayan /SPDN dan agen penjualan minyak dan solar/APMS).

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo dalam suratnya kepada Kepala BPH Migas menunjukkan sikap penolakannya. Dalam surat yang ditulisnya pada 8 Agustus 2014: Penurunan alokasi jenis BBM tertentu (minyak solar) di lembaga pengatur nelayan SPBB/SPBN/SPDN/APMS menyesuaikan penurunan kuota BBM secara nasional 4,17% tidak ditekan sebesar 20%.

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf, instansinya memahami persediaan premium dan solar bersubsidi yang ada sangat terbatas. Hingga Juli 2014, persediaan premium tinggal 42% dan solar bersubsidi tinggal 40% dari kuota tahun 2014 ini. Untuk premium diperkirakan akan habis pada 19 Desember 2014 dan solar bersubsidi diprediksi ludes pada 30 November 2014.

Apalagi, sesuai amanah Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 23/2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 telah ditetapkan perubahan kuota nasional jenis BBM tertentu, dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL.

“Kami memahami beban subsidi BBM nasional yang semakin besar. Jadi, memang harus ada pengurangan. Tapi kenapa kok yang paling besar sektor perikanan hingga 20%. Kami belum mengatakan apakah menerima atau menolak, hanya mempertanyakan kebijakan BPH Migas. Apakah hitungannya sudah benar,” ujar Gellwynn kepada Agro Indonesia di kantornya pekan lalu.

Menurut Gellwynn, kebijakan BPH Migas yang akan mengurangi BBM bersubsidi untuk nelayan sebanyak 20% hingga akhir tahun 2014 dari 900.000 kiloliter (KL) menjadi 720.000 KL sungguh berat. “Tidak dipotong saja berat, apalagi dipotong. Karena 900.000 KL saja kurang. (Kebutuhan) minimal 1,3 juta KL,” ujarnya.

Gellwynn mengaku kesal dengan alasan BPH Migas yang menyatakan bahwa pemotongan 20% itu akibat banyaknya penyelewengan penggunaan solar bersubsidi di lapangan. “Saya kesal. Tapi ini pelajaran buat kita untuk bisa mengawal distribusi BBM hingga sampai di titik-titik lembaga penyaluran.”

Gellwynn pun menuntut Pertamina agar penyalurannya tidak lagi disatukan dengan kebutuhan transportasi yang selama ini dilakukan. Dia minta penyaluran BBM untuk nelayan dipisahkan secara khusus agar memudahkan pengawasan pihaknya.

Dia juga menyangsikan pelaksanaan kebijakan BPH Migas. “Walaupun ada imbauan BPH Migas bahwa yang diutamakan nelayan kecil, tapi di lapangan kan siapa yang datang, yang dilayani duluan. BPH Migas dan Pertamina harus menjamin nelayan kecil yang dapat. Penyalurannya juga harus tepat dan diawasi ketat. Apalagi stok sudah menipis.”

Di sisi lain, Gellwynn juga menyesalkan kebijakan BPH Migas yang memprioritaskan kapal perikanan di bawah 30 gross ton (GT). Apalagi, BPH Migas menilai armada di atas 30 GT adalah kapal besar dan bukan nelayan serta banyak yang diselewengkan penggunaannya.

“Padahal, kapal perikanan yang di atas 30 GT banyak nelayannya. Mereka umumnya buruh dengan sistem bagi hasil. Saat ini, ada 3.000 kapal perikanan yang berukuran 30-100 GT,” kata Gellwynn.

Meresahkan

Kritik terhadap keputusan BPH Migas juga disuarakan kalangan akademisi. Peneliti dan Pengajar di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Etty Riani menyesali kebijakan BPH Migas yang tidak pro pada nasib nelayan kecil.

“Hidup nelayan sudah susah akibat pencemaran, perubahan iklim dan pembangunan. Sekarang dipersulit lagi dengan adanya kebijakan BPH Migas yang memangkas 20% solar bersubsidi untuk mereka. Kesusahan mereka jadi bertambah dua kali lipat,” ujar Etty saat dihubungi Agro Indonesia pekan lalu.

Etty mengakui, di lapangan memang ada oknum nelayan yang suka menyalahgunakan BBM. “Istilah ‘kencing’ di laut memang ada. Oknum nelayan dapat 50 liter solar, 20 liternya dijual. Tapi ini pun tidak serta merta kebijakan pembatasan 20% tepat diterapkan.”

Menurut Etty, sebaiknya pemerintah mengoptimalkan penggunaan kartu nelayan. Melalui kartu ini, penggunaan BBM akan terdata dengan baik, karena aktivitas, kebutuhan dan rute nelayan akan tercatat dengan baik. “Sehingga, lewat kartu nelayan penyelewengan BBM bisa diminimalisir.”

Memang, KKP juga akan meregistrasi kembali kapal-kapal perikanan agar kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dapat dikalkulasikan dengan tepat, tidak lebih, tidak kurang.

“Kita akan mendata ulang kapal-kapal perikanan agar bisa diketahui berapa hari mereka operasional, berapa kebutuhan BBMnya dan kapan mendarat,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo.

Sharif berharap, dengan data yang tepat, BPH Migas mau mengevaluasi kembali kebijakannya yang membatasi jatah solar bersubsidi untuk nelayan.

Di sisi lain, Sharif kecewa dengan kebijakan BPH Migas yang justru menjamin pasokan BBM bersubsidi untuk nelayan di kawasan Timur Indonesia. Padahal, menurutnya, kebutuhan BBM nelayan di kawasan Barat Indonesia seperti Jawa dan Sumatera justru yang harus diutamakan.

“Nelayan di Jawa dan Sumatera justru yang harus diprioritaskan, karena harus melaut hingga 100 mill. Sedangkan nelayan di wilayah Timur 5-10 mil saja sudah dapat ikan. Jadi, tolong jangan salah kaprah,” kata Sharif.

Sharif pun khawatir industri perikanan di Jawa dan Sumatera menjadi lesu jika nelayan di dua kawasan ini tidak mendapat solar bersubsidi. Apalagi BBM merupakan komponen vital bagi nelayan. Biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan ini bisa mencapai 70% dari total ongkos melaut. Fenny

Nelayan pun Makin Jarang Melaut

Buat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),  Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf, pengurangan kuota solar nelayan sebanyak 20% sudah berdampak buruk buat nelayan, yang pada gilirannya akan memukul target tangkapan ikan 2014 sebesar 6 juta ton. Hingga akhir semester I/2014, tangkapan ikan nasional baru mencapai 2,5 juta ton.

Dia mengungkapkan hasil temuannya di Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Di sana, Gellwynn kecewa dengan kuota yang minim dan pasokan solar yang sering terlambat tiba di SPDN Gebang.

Dilaporkan, sejak awal Agustus, SPDN Gebang kehilangan kuota hingga 32.000 liter. Sejak awal Agustus hanya mendapat kuota 22 kali pengiriman. Sebelumnya jatah mereka biasanya 26 pengiriman, dimana sekali pengiriman 8.000 liter.

Padahal, 1974 unit perahu di Kecamatan Gebang, rata-rata mengkonsumisi 40 liter solar setiap melaut. Jika semua perahu yang semuanya hanya berbobot 7 gross ton (GT0 ini rata-rata mengkonsumsi 40 liter solar setiap melaut, maka kebutuhan solar nelayan sekitar 80.000 liter per hari atau 2,4 juta per bulan.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo pun khawatir industri perikanan di Jawa dan Sumatera menjadi lesu jika nelayan di dua kawasan ini tidak mendapat solar bersubsidi. Apalagi BBM merupakan komponen vital bagi nelayan.

Dalam laporan Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyar untuk Keadilan Perikanan (Kiara) per Agustus 2014 menunjukkan masalah pengelolaan BBM bersubsidi bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah) berulang-ulang dari tahun ke tahun.

Kiara mencatat fasilitas SPBB/SPBN/SPDN/APMS tidak tersedia di Palu, Langkat, Konawe, Tarakan dan Kendal. “Hal ini telah memicu persaingan tidak sehat antara nelayan kapal <30 GT dengan >30 GT,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim.

Menurut Halim, kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang telah dipatok pemerintah. Di 5 wilayah yang ditemui Kiara, nelayan justru mendapatkan solar dengan kisaran harga Rp7.000–20.000. Sebanyak 80% nelayan tradisional di Langkat tidak dapat membeli solar di SPBN.

Pola melaut yang berbeda-beda dan dikesampingkan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan. “Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerjasama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan,” usul Halim.

Gellwynn jelas-jelas kecewa dengan BPH Migas. “BPH Migas sepihak, tanpa koordinasi. Dulu juga begitu. Tiba-tiba saja. Jadinya,  kita tidak tahu menahu,” sergahnya. Fenny