Mitigasi Perubahan Iklim dengan Agroforestry

Kepala KPH Batutegi Yayan Ruchyansyah dan Kepala Pusat Standardisasi LHK Noer Ady Wardojo pada diskusi Pojok Iklim di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (10/1/2018).

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batutegi, Lampung mendorong penerapan implementasi perhutanan sosial dan penerapan pola agroforestry oleh masyarakat. Langkah tersebut merupakan solusi karena 50% dari kawasan hutan yang dikelola KPH Batutegi telah diduduki masyarakat untuk kegiatan pertanian terutama kopi.

“Langkah yang kami lakukan diharapkan bisa mengembalikan fungsi hutan lindung sekaligus memberi kesejahteraan bagi masyarakat,” kata Kepala KPH Batutegi Yayan Ruchyansyah pada diskusi Pojok Iklim di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (10/1/2018).

Pojok Iklim adalah forum multipihak untuk berbagi pengetahuan dan praktik terbaik dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bidang Energi Hudoyo dan Staf Ahli Menteri bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dewanthi. Diskusi yang dipimpin Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan kehutanan Noer Ady Wardojo itu juga dihadiri sejumlah peserta dari kalangan mahasiswa.

Yayan menuturkan, kawasan hutan yang dikelola KPH Batutegi adalah seluas 58.162 Ha. Kawasan hutan yang dikelola terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekampung dengan tiga sungai utama Way Sekampung, Way Sangharus, dan Way Rilau. Kawasan hutan yang dikelola KPH Batutegi merupakan sumber air Bendungan Batutegi yang memasok air untuk sawah di sejumlah kabupaten di Lapung, pembangkit listrik dan kebutuhan air bersih.

Sayangnya, kawasan hutan yang dikelola KPH menghadapi persoalan berupa perubahan tutupan hutan. Sekitar 70% kawasan hutan telah berubah menjadi lahan pertanian. Selain itu 50% areal KPH Batutegi telah diduduki masyarakat.

Kondisi itu, kata Yayan, menggangu fungsi hutan yang dikelola KPH Batutegi. Hal itu bisa dilihat dari kondisi air di Bendungan Batutegi. “Saat musim kemarau air di bendungan menyusut. Tapi saat musim penghujan, langsung penuh. Ini menjadi pertanda, hutan di atasnya tak lagi mampu menahan air, dan langsung mengalir ke bawah saat hujan,” katanya.

Kondisi itu juga berdampak pada  kesuburan lahan yang berdampak pada berkurangnya produktivitas. Biaya produksi petani pun akhirnya akan naik untuk penggunaan pupuk.

Sebagai solusi dari persoalan tersebut, KPH Batutegi mencoba melakukan pembinaan kepada petani untuk melakukan pertanian yang sesuai dengan pengelolaan hutan atau agroforestry. Skema perhutanan sosial dengan izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan kemitraan juga ditawarkan sebagai legalitas bagi masyarakat dalam mengelola hutan.

Hingga saat ini telah ada 35.990 hektare izin HKm yang ada di KPH Batutegi dan 5.240 hektare kemitraan. Sementara 6.694 hektare lain masih dalam proses perizinan HKm.

Menurut Yayan, bukan hal mudah untuk mengajak petani mmelakukan agroforestry. Umumnya masyarakat resisten karena khawatir penanaman pohon akan menggangu produksi kopi robusta. Namun Yayan meyakinkan turunnya produksi kopi bisa disubtitusi dari produksi tanaman agroforestry seperti kemiri atau petai.

Untuk memastikan pendapatan petani tak berkurang, KPH juga melakukan upaya untuk meningkatkan harga komoditas yang diproduksi petani. Caranya dengan memfasilitasi penjualan langsung tanpa melalui tengkulak maupun melalui pengolahan hasil produksi.

Langkah-langkah itu membuat masyarakat mau terlibat dalam upaya pemulihan hutan yang dilakukan. Menurut Yayan, sejak tahun 2012, tak kurang dari 500.000 batang pohon telah ditanam. “Kami nyatakan penanaman ini untuk dipanen,” katanya.

Sementara itu Hudoyo menyatakan, langkah-langkah yang dilakukan KPH Batutegi merupakan bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan Iklim. Dia menyarankan agar dilakukan perhitungan penyerapan dan penyimpanan karbon dari kegiatan yang telah dilakukan. Sugiharto