Multiusaha kehutanan bisa menjadi pemicu kebangkitan sektor kehutanan Indonesia. Implementasi multiusaha kehutanan bisa semakin masif dengan dukungan generasi muda dan mahasiswa, pemegang tongkat estafet masa depan Indonesia.
Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuka ruang yang tegas soal multiusaha kehutanan. Berdasarkan kebijakan ini, pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan bisa lebih lincah melirik berbagai potensi yang ada. Bukan hanya kayu tapi juga non kayu dan jasa lingkungan.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto mengingatkan usaha kehutanan yang berorientasi hanya pada kayu kini tak relevan lagi.
“Harus ada perubahan paradigma dari produk, apalagi jika hanya kayu, menjadi berbasis landscape multiusaha holistik dengan memperhatikan kelestarian bentang alam,” kata dia saat membuka webinar dan lomba karya tulis ilmiah mahasiswa kehutanan tentang multiusaha kehutanan, secara daring Senin (19/7/2021).
Perubahaan paradigma usaha kehutanan menjadi sebuah keniscayaan yang harus diimplementasikan oleh pemegang perizinan berusaha.
Berdasarkan data KLHK, saat ini ada 567 unit izin usaha pemanfaatan hutan produksi dengan luas total 30,5 juta hektare. Rinciannya sebanyak 294 unit berupa izin hutan tanaman industri seluas 11,2 juta hektare (ha), 257 unit berupa izin HPH (18,7 juta ha), dan 16 unit berupa izin restorasi (621.736 ha).
Agus menjelaskan UUCK dan Peraturan Pemerintah (PP) 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan mendorong implementasi multiusaha kehutanan. Pemegang Perizinan Pemanfaatan Hutan (PPPH) kini bisa menfaatkan konsesinya untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, kayu, dan kayu.
Pengolahan hasil hutan pun didorong untuk lebih terintegrasi sehingga semakin efisien dan meningkatkan daya saing. Tak hanya itu, ruang bagi implementasi perhutanan sosial juga semakin diperluas.
“Multiusaha kehutanan akan mampu meningkatkan ekonomi riil kehutanan, meningkatkan persentase areal aktif, dan meningkatkan geliat pasar,” katanya.
Agus menjelaskan, antusiasme implementasi multiusaha terlihat dari telah adanya 10 PPPH yang mengajukan skema multiusaha kehutanan.
Model Bisnis
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo menuturkan, Indonesia bisa berkaca pada pengelolaan hutan yang dilakukan negara-negara Skandinavia. Di sana, meski hutan tak terlalu luas, namun bisa memberi kontribusi devisa dan penyerapan tenaga kerja yang luar biasa.
Menurut Indroyono, UUCK menjadi pembuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk bisa mengembalikan kejayaan sektor kehutanan, bukan hanya berbasis kayu.
“Konfigurasi bisnis multiusaha kehutanan bukan hanya industri berbasis kayu, tapi juga hasil hutan non kayu dan bioprospecting, agroforestry, jasa lingkungan, energi biomassa dan energi terbarukan,” katanya,
Indroyono menjelaskan pemegang PPPH sudah mulai bergerak mengembangkan sejumlah model bisnis multiusaha kehutanan.
Untuk ekowisata, sejumlah PPPH telah bergerak seperti yang dilakukan PT Inhutani, PT Kandelia Alam, dan Perum Perhutani.
Sementara produk kayu yang dihasilkan didiversifikasi. Kini serat kayu diolah menjadi berbagai produk misalnya masker medis. Serat kayu juga bisa diproses menjadi viscose sebagai bahan baku pembuatan kain.
“Dengan diversifikasi ini, kita tidak perlu lagi bergantung pada impor kapas untuk kebutuhan sandang,” kata Indroyono.
Produk kayu konvensional pun terus akan dikembangkan sehingga bisa menghasilkan produk yang kuat dan fleksibel namun efisien. Ini untuk menangkap tren penggunaan produk kayu untuk konstruksi yang kini berkembang.
“Indonesia sudah punya SVLK yang memastikan produk kayu yang dihasilkan bersasal dari sumber yang legal dan lestari,” kata Indroyono.
Indroyono juga mengungkapkan soal pengembangan industri biomassa kayu sebagai pengganti batubara. Menurut dia, biomassa menjadi salah satu penopang untuk tercapainya target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia juga di negara lain.
Di Indonesia, pemerintah sudah menargetkan untuk meningkatkan bauran energi berbasis energi baru dan terbarukan (ebt) menjadi 23% pada 2025 mendatang. Untuk yang berasal dari biomassa, kebutuhannya mencapai 8,4 juta ton.
Praktiknya, biomassa kayu bisa diubah menjadi kayu serpih untuk co-firing dalam pembangkitan listrik atau dalam bentuk wood pellet untuk ekspor ke luar negeri.
Direktur Utama PT Sylva Inhutani Lampung Djunaidi Nur menyatakan pihaknya mengembangkan agroforestry bersama masyarakat sebagai salah satu bentuk multiusaha kehutanan. Lewat agroforestry, areal konsesi Sylva Inhutani Lampung bisa memproduksi berbagai produk pangan seperti tebu dan singkong.
Skema tersebut dilakukan dengan tetap menjaga daya dukung hutan dan lingkungan sekaligus bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat.
Supermarket
Etih Suryatin dari sekolah Seniman Pangan mengingatkan hutan adalah supermarket bagi segala kebutuhan manusia. Berbagai keanekaragaman hayati yang ada di hutan bisa diolah memenuhi kebutuhan manusia.
“Yang harus diingat, manfaatkan bahan-bahan dengan bijaksana, ambil secukupnya, ambil hanya bagian yang tidak membuat tanaman mati, dan lakukan penanaman kembali,” katanya.
Dia mencontohkan produk non kayu yang punya potensi besar adalah garam nipah. Meski pasar tidak besar, nieche market, namun harganya sangat tinggi. Di pasar internasional bisa mencapai Rp1 juta per kilo.
Celah pasar seperti itu juga tersedia untuk berbagai produk seperti keripik keladi atau madu hutan.
Dia menantang mahasiswa dan generasi muda untuk mengembangkan produk dari keanekaragaman hayati hutan. Menurut dia salah satu kuncinya adalah diferensiasi produk dari yang sudah ada di pasaran saat ini.
Wakil Rektor IPB Profesor Dodik R Nurrochmat menyatakan multiusaha kehutanan adalah pintu menuju kebangkitan sektor kehutanan. Oleh karena itu, generasi muda dan mahasiswa seharusnya tak khawatir dengan masa depan lapangan kerja sektor kehutanan.
Namun Dodik mengingatkan, SDM sektor kehutanan harus terus mengembangkan kapasitas dan tak bisa terpaku pada ilmu kehutanan semata.
SDM kehutanan harus memahami pemanfaatan teknologi digital dalam pemanfaatan multiusaha kehutanan.
Menurut Dodik, IPB kini mengembangkan digital entrepreneurship untuk pemanfaatan hasil hutan di KPH. “Jadi berbagai hasil hutan yang dikelola BumDes bisa dipasarkan langsung secara digital,” katanya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Profesor Ahmad Maryudi menekankan, saat ini potensi kayu memang menipis di Indonesia. Namun kayu tetap menjadi komoditas yang penting.
Di sisi lain, banyak produk hasil hutan non kayu yang memiliki potensi menjanjikan. Jamur, kacang-kacangan, adalah produk yang bisa di hasilkan di kawasan hutan dan diminati secara global.
Dengan potensi tersebut, Maryudi menyatakan, perlu solusi yang seimbang dalam pemanfaatan multiusaha. “Oleh karena itu sebuah unit usaha bisa diposisikan sebagai unit manajemen yang mandiri yang mengelola hutan dengan ragam tujuan dan produk,” katanya. Sugiharto