Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti terkait larangan asing melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia sepintas membuat wilayah laut nasional tertutup total. Padahal, jika ditelisik lebih lanjut, dalam konteks wilayah perikanan, kedaulatan Indonesia jauh lebih luas. Tak sekadar perairan Indonesia, tapi mencakup Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ).
Pandangan itu dikemukakan Ketua Bidang Hukum dan Organisasi, Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar. Dia membenarkan pernyataan Menteri Susi bahwa asing tidak boleh menangkap ikan di perairan Indonesia yang sejalan dengan Perpres 44/2016. Kecuali Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, ujar Billahmar kepada Agro Indonesia, Jumat (19/8/2016).
Menurutnya, dalam konteks kedaulatan, pernyataan Susi harus dipandang dari sudut Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Wilayah Negara, bukan dari sudut pandang Wilayah Perikanan atau yang dikenal dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI).
Dia mengingatkan, Wilayah Negara (NKRI) lain dengan WPP RI. Karena Wilayah Negara (NKRI) diatur melalui UU No. 43 Tahun 2008 yang di dalamnya termasuk wilayah Perairan Indonesia. Sedangkan WPP RI diatur melalui UU 31/2004 yang wilayahnya mencakup Perairan Indonesia dan ZEEI.
Sementara Perairan Indonesia sendiri sudah diatur sebelum adanya UU Wilayah Negara, yakni lewat UU 6/1996 yang wilayahnya terdiri dari laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman.
Nah, terkait Perpres 44/2016, pasal 3 menyebut Bidang Usaha yang tidak tercantum dalam Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan merupakan Bidang Usaha Yang Terbuka. “Dengan demikian, berdasarkan Lampiran I, Lampiran III dan Pasal 3, jelas bahwa Modal Asing terbuka di WPP RI, khususnya di ZEEI. Sedangkan Perairan Indonesai dan Laut Lepas hanya boleh dilakukan oleh modal dalam negeri 100% atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), simpulnya.
Hanya saja, dia mengakui, meski Perpres ini tidak menutup masuknya Modal Asing di ZEEI, namun kuncinya tetap berada di tangan KKP sebagai pengelola perikanan di WPP RI.
Billahmar pun merujuk Pasal 29 UU No. 31/2004 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa (1) usaha perikanan di WPPRI hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. (2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penmangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pasal 29 UU No. 31/2004 tentang Perikanan jelas menyebut untuk bidang usaha penangkapan ikan di Laut dalam lingkup WPP RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Kecuali di ZEEI boleh diberikan kepada orang atau badan hukum asing.
Jika dikaitkan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/Unclos), Indonesia harus dapat menetapkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEEI. Dalam hal Indonesia belum memiliki kemampuan memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dibolehkan, maka berilah kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan surplus sumber daya ikan yang ada di ZEEI melalui perjanjian dan ketentuan persyaratan yang ditetapkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.
Saya kira inilah alasan mengapa Perpres 44/2016 tidak memasukkan ZEEI sebagai bidang usaha yang tertutup bagi modal asing, tapi juga tidak terbuka bagi modal asing untuk menangkap ikan Perairan Indonesia dan Laut Lepas, kata Billahmar.
Sayangnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaja tidak bersedia menjawab permintaan wawancara yang diajukan Agro Indonesia. Sjarief pun tidak kunjung membalas layanan pesan pendek.
Keliru
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkali-kali menegaskan, perairan Indonesia tertutup untuk investasi asing. Kita ingin memasukkan kapal-kapal besar lokal untuk masuk ke perairan Indonesia. Kita akan hitung masing-masing daya dukung WPP untuk industri perikanan. Jadi, tidak sembarang saya punya kapal segini dan menangkap di sini, tidak bisa begitu, tegas Susi.
Kebijakan ini didukung Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Suhana. Pasalnya, semangat yang ada di dalam Perpres 44/2016 jelas mendorong kekuatan armada perikanan tangkap nasional, bukan armada kapal asing.
Menurut Suhana, anggapan sebagian pejabat pemerintah dan masyarakat apabila nelayan Indonesia tidak mampu memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEEI, maka pemerintah wajib memberikan kesempatan nelayan asing untuk memanfaatkannya justru dinilainya keliru.
“Padahal, dalam Unclos sangat jelas diatur bagaimana pemerintah memberikan kesempatan kepada negara lain mengeksploitasi sumber daya ikan di ZEEI. Serta bagaimana tata cara negara-negara yang diberikan kesempatan tersebut memanfaatkan kesempatan dengan baik, jelas Suhana.
Suhana pun merujuk Pasal 62 (2) Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) yang menyebut negara pantai harus menetapkan kemampuannya memanfaatkan sumber kekayaan hayati ZEE. Dalam pasal 62 (2) tersebut jelas tidak ada kata-kata kewajiban bangsa Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada nelayan asing, kata Suhana. Fenny
Upi Menjadi Upil?
Masuknya investor asing dalam bisnis penangkapan ikan ternyata juga tidak terlalu disambut hangat kelangan pengusaha. Bahkan, sebaiknya pemerintah memberikan peluang tersebut untuk anak bangsa dan aset nasional.
Sebaiknya kesempatan didahulukan pada nelayan Pantura dan kapal-kapal impor yang sudah lulus analisa dan evaluasi, ujar Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kadin Indonesia, Yugi Prayanto.
Menurutnya, jika pemerintah ingin meningkatkan pengelolaan perikanan tangkap menjadi 40% di Natuna, maka dibutuhkan 3.000 kapal nelayan ukuran 100 gross ton (GT) ke atas, baik kapal tangkap ikan maupun kapal pengangkut.
Menurutnya, kapasitas armada lokal yang ada di Natuna, baik dari ukuran kapal dan jumlah, tidak mampu memenuhi ZEEI Natuna. “Armada nelayan Natuna jumlahnya sedikit dan ukurannya kapalnya juga di bawah 30 GT, ujarnya.
Untuk menangkap ikan di ZEEI Natuna yang gelombangnya tinggi, kata Yugi, diperlukan kapal-kapal ukuran 100 GT ke atas. Dan ini bisa dikerjakan dengan membuka ijin pada armada nelayan Pantura Jawa dan pantai Timur Sumatra dengan alat tangkap cantrang dan sebagainya, ditunjang oleh kapal angkut yang membawa hasil tangkap dari Natuna ke unit pengolahan ikan yang ada dan berlokasi di Jawa, Batam, Pontianak dan Sumatera. Untuk itu, Permen 57 tahun 2015 yang melarang Transshipment harus dicabut atau direvisi, tandasnya.
Di tangan Presiden
Sementara itu Ketua Bidang Hukum dan Organisasi, Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar menyoroti istilah modal asing dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 dan Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2004.
Menurutnya, sejak Indonesia punya UU perikanan pertama kalinya, yaitu UU No. 9 Tahun 1985, sudah dua kali negeri ini memberi ijin kepada orang atau badan hukum asing menangkap ikan di ZEEI dengan kapal berbendera asing
Pertama, antara 1985-1990 (Licensing jilid I) diberikan karena pelaku usaha nasional belum mampu memanfaatkan secara optiomal potensi sumberdaya ikan (SDI) yang ada di ZEEI. Itu sebabnya, negara lain diberi kesempatan memanfaatkan surplus SDI tersebut. Ini sesuai dengan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (Unclos) yang diratifikasi Indonesia pada 1985.
Ijin kedua antara tahun 2003-2006 (Licensing Jilid II). Ijin kali ini diberikan bukan karena surplus SDI, tapi akibat ditemukan banyak kapal ikan asing yang menggunakan bendera Indonesia (Flag of Conviniance/FOC). “Mereka ini melakukan penangkapan ikan di ZEEI atas nama perusahaan Indonesia.”
Sedangkan pada 2006, izin untuk asing Jilid II dihentikan dan modal asing dipersilakan masuk melalui pintu Penanaman Modal Asing (PMA) dalam bentuk badan hukum Indonesia dengan kewajiban membangun unit pengolahan ikan (Upi) di dalam negeri.
Sayangnya, kata Billahmar, yang terjadi Upi tumbuh menjadi unit pembekuan ikan laut (Upil). Fenomena ini terus berlangsung hingga terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Permen KP 30/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau yang lebih populer dengan istilah moratorium perizinan.
Nah, kini moratorium telah berakhir dan Reshuffle Kabinet Jilid II telah berlalu. Pertanyaannya, akan kah ada Licensing Jilid III setelah Resuffle Jilid II? Jawabannya, ada di tangan Presiden, kata Billahmar. Fenny
Bidang Usaha Yang Tertutup Untuk Sektor Kelautan dan Perikanan
No. | Bidang Usaha | KBLI | Sektor |
1. | Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. | 52229 | KP |
2. | Pemanfaatan (Pengambilan) Koral/Karang dari Alam Untuk Bahan Bangunan/Kapur/Kalsium, Akuarium, dan Souvenir/Perhiasan, Serta Koral Hidup atau Koral Mati (recent death coral) dari Alam. | 03117 | KP |
Sumber: Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu untuk Sektor Kelautan dan Perikanan
No. | Bidang Usaha | KBLI | Persyaratan |
1. | Perikanan Tangkap dengan menggunakan Kapal Penangkap Ikan di Wilayah Perairan Indonesia dan Laut Lepas. | 03111 | Modal dalam negeri 100% dan Izin Khusus dari KKP mengenai aloklasi sumber daya ikan dan titik koordinat daerah penangkapan ikan. |
2. | Penggalian Pasir Laut | 08995 | Modal dalam negeri 100% |
3. | Budidaya Koral/Karang Hias | 01727 | Rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. |
Sumber: Lampiran III Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016