Molornya komitmen pemerintah Norwegia membayar kompensasi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) Indonesia menyulitkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Kelambatan pembayaran itu juga bisa merusak kredibilitas Norwegia di panggung dunia dalam pengendalian perubahan iklim global.
Norwegia boleh saja memiliki reputasi jawara iklim dunia. Namun, sayangnya, kredibilitas negeri penghasil minyak ini bisa tercoreng dalam kancah pengendalian perubahan iklim dunia. Pasalnya, komitmen mereka membayar (result-based payment) Indonesia sebagai kompensasi pengurangan emisi gas rumah kaca dari aktivitas deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) sebesar 56 juta dolar AS sampai kini belum juga dilakukan.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah membuka masalah tersebut, ketika Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong memberi keterangan pers virtual pertengahan Februari lalu. “Semua sudah kita penuhi, tinggal pihak Norwegia bayar. Janjinya, akhir tahun 2020 yang lalu akan dikucurkan dananya,” cetus Wamen Dohong.
Sayangnya, sampai akhir Februari, tidak ada keterangan resmi dari pemerintah Norwegia atas kabar memalukan tersebut. Upaya Agro Indonesia meminta konfirmasi melalui Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta juga tidak berjawab. Hingga Jumat (26/2/2021), tak ada jawaban yang diberikan dengan dalih konfirmasi pertanyaan mesti mendapat persetujuan langsung dari pemerintah pusat Norwegia di Oslo.
Situasi ini disayangkan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, Profesor Gusti Hardiansyah. Menurut Gusti, sikap Indonesia mempertanyakan kelambatan pembayaran sudah tepat sebagai bentuk tanggung jawab publik. Justru pemerintah Norwegia harus memberi penjelasan untuk menjaga kredibilitas negara itu dalam tataran pengendalian perubahan iklim global. “Indonesia bisa kecewa. Makanya perlu dijelaskan oleh Norwegia,” paparnya, Jumat (26/2/2021).
Indonesia kecewa memang masuk akal. Selain sudah berjuang 10 tahun mengekang diri untuk memanfaatkan kekayaan alam — demi kontribusi negeri ini mengurangi emisi gas rumah kaca di tataran internasional — terlambatnya RBP REDD+ Norwegia juga menghambat gerak Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang dibentuk lewat Perpres No. 77 tahun 2018 dan resmi beroperasi 1 Januari 2020. Padahal, badan ini dibentuk untuk mengelola pendanaan iklim yang kompleks.
Dengan belum masuknya dana Norwegia, maka BPDLH hanya mengandalkan lungsuran dana dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan KLHK, yang berasal dari Dana Reboisasi (DR) warisan masa lalu. Padahal, Direktur Utama BPDLH, Djoko Hendratto mengaku BPDLH memiliki rencana dan beragam kegiatan untuk usaha kehutanan on-farm maupu off-farm. AI
Baca juga: