Pekebun Rakyat Mulai Jadi Korban

Kelapa Sawit

Keberadaan Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) yang diterapkan lima perusahaan kelapa sawit raksasa Indonesia mulai berdampak negatif terhadap nasib petani kelapa sawit rakyat dan perusahaan kebun sawit kelas menengah dan kecil di dalam negeri.

Pasalnya, persyaratan ketat yang diterapkan perusahaan-perusahaan penandatangan IPOP itu cukup memberatkan, sehingga petani kelapa sawit rakyat tidak bisa menjual tandan buah segar (TBS) ke perusahaan-perusahaan peneken IPOP, yakni Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.

Beberapa syarat atau kriteria yang diterapkan dalam aturan IPOP, antara lain melarang ekspansi kebun sawit (no deforestation), melarang kebun sawit di lahan gambut (no peatland). Adapula pelarangan kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (no HCS), dan melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).

Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arsjad mengakui dampak negatif dari penerapan IPOP bagi petani kelapa sawit sudah diperkirakannya sejak IPOP ditandatangani oleh lima perusahaan kelapa sawit di New York, Amerika Serikat tahun 2014.

“Dari sejak awal saya sudah meminta agar aturan IPOP itu ditunda dulu,” ujarnya kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Dia mengakui, kelima perusahaan penandatangan IPOP itu sebenarnya dilematis. Di satu sisi mereka berusaha mengamankan kegiatan ekspor produknya ke Amerika dengan memenuhi tekanan dari pihak asing, namun di sisi lalin mereka juga menyadari kalau hal itu akan berdampak pada petani kelapa sawit di dalam negeri.

Asmar menyatakan, akibat penerapan IPOP itu, petani kelapa sawit rakyat tidak bisa lagi menjual TBS kepada lima perusahaan itu karena kebanyakan petani kelapa sawit rakyat tidak bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam IPOP.

“Padahal, berdasarkan aturan pemerintah Indonesia, kegiatan penanaman kelapa sawit oleh petani rakyat sudah legal. Misalnya, penanaman kelapa sawit di lahan gambut sedalam tiga meter. Namun, dalam persyaratan IPOP, hal itu ilegal,” ujarnya.

Dia menyayangkan kebijakan yang diterapkan perusahaan penandatangan IPOP, mengingat kelima perusahaan itu menampung hampir 90% seluruh TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari sekitar 3,6 juta petani kelapa sawit rakyat.

Menurut data Apksindo, luasan kebun kelapa sawit milik rakyat di Indonesia saat ini mencapai sekitar 4,2 juta hektare (ha). Dari jumlah itu, sekitar 700.000 ha adalah milik petani plasma dan sisanya sebesar 3,5 juta ha milik petani rakyat non plasma.

Asmar mengakui penerapan IPOP tidak berdampak terhadap petani plasma karena mereka memiliki bapak angkat berupa perusahaan-perusahaan besar, termasuk kelima perusahaan penandatangan IPOP. “Namun, bagi petani kelapa sawit non plasma, kebijakan IPOP itu sungguh mengganggu,” jelasnya.

Guna melindungi petani kelapa sawit rakyat, Asmar meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), untuk memanggil perusahaan-perusahaan yang meneken IPOP tersebut.

“Kebijakan IPOP itu sudah tak nasional, karena itu Kementan perlu memanggil mereka,” pintanya.

Kementan diminta tegas

Ketegasan sikap Kementan terhadap penerapan IPOP juga dilontarkan Senior Head Corporate Finance and Government Relation PT Sawit Sumbermas Sarana (SSS), Sunggu Situmorang.

Menurut Sunggu, seharusnya ke lima perusahaan peneken IPOP itu tunduk pada aturan yang berlaku di Indonesia karena mereka beroperasi dan berinvestasi di Indonesia. “Kementan harus bersikap tegas dalam masalah IPOP,” ujarnya.

Dijelaskan, Kementan harus menetapkan kalau aturan yang dipakai dalam hal produksi dan penjualan kelapa sawit di Indonesia adalah ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), bukan aturan yang berasal dari luar negeri.

“Kementan bisa menyatakan kalau aturan IPOP tidak bisa diterapkan di Indonesia karena kita sudah punya ISPO,” ucap Sunggu.

Dia juga meminta manajemen IPOP untuk mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah Indonesia dalam hal menjalan kegiatan penanaman, produksi kelapa sawit di Indonesia. “Mereka seharusnya mematuhi aturan pemerintah dari negara di mana mereka berinvestasi,” paparnya.

Sunggu menyatakan, hingga saat ini PT Sawit Sumbermas Sarana (SSS) tidak bergabung dalam manajemen IPOP karena perusahaan lebih mematuhi aturan yang diberlakukan pemerintah Indonesia. “Kami memilih tidak bergabung dengan manajemen IPOP hingga saat ini dan tetap membeli TBS dari petani kelapa sawit rakyat,” tuturnya.

Menurutnya, perusahaan menyadari dampak negatif yang bisa ditimbulkan jika perusahaan tidak membeli TBS kelapa sawit dari petani rakyat, misalnya bisa menimbulkan kerawanan sosial.

Dia juga mengaku kalau ketidakikutsertaan SSS dalam manajemen IPOP tidak mengganggu kegiatan ekspor produk kelapa sawit ke mancanegara. “Ekspor kami masih berjalan lancar,” tegasnya.

Dikatakan, pasar ekspor produk kelapa sawit Indonesia tidak hanya bergantung pada pasar Amerika Serikat saja, tetapi masih banyak negara tujuan ekspor yang bisa dimasuki, seperti negara-negara di kawasan Timur Tengah, India, Tiongkok dan Eropa.

Jangan takut ditekan

Terkait pasar ekspor kelapa sawit ini, Asmar Arsjad juga meminta perusahaan kelapa sawit tidak perlu takut dengan tekanan-tekanan yang dilakukan Amerika Serikat melalui penerapan IPOP.

“Saya mengusulkan agar hentikan saja ekspor ke AS dan Eropa. Porsi ekspor ke negara-negara itu cuma 12% saja dari total ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke seluruh dunia,” ucapnya.

Sementara itu Sekjen Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menyatakan, Gapki tidak bisa mengambil tindakan terhadap penerapan IPOP karena hal itu merupakan kegiatan business to business (B to B).

“Penerapan IPOP itu kan suatu kegiatan B to B. Gapki tidak bisa mengambil sikap,” ujarnya.

Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit nomor satu di dunia. Pada tahun 2014, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai sekitar 31 juta ton dan di tahun 2015 ini diperkirakan produksinya meningkat tipis menjadi 31,5 juta ton.

Sepanjang tahun 2014, negara tujuan ekspor terbesar Indonesia masih diduduki India, negara Uni Eropa dan Tiongkok. Ekspor ke India tahun 2014 mencapai 5,1 juta ton, atau turun 17% dibandingkan dengan tahun lalu, di mana volume ekspor mencapai 6,1 juta ton.

Turunnya ekspor ke India disebabkan berbagai factor, seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi India akibat inflasi di dalam negeri yang tinggi, lemahnya nilai tukar rupee terhadap dolar AS pada pertengahan hingga akhir tahun, India menaikkan pajak impor minyak nabati mentah/crude dari 2,5% menjadi 7,5%, sementara untuk refined oil dari 7,5% menjadi 15%.

Penurunan ekspor juga terjadi ke Tiongkok. Pada tahun 2014, volume ekspor Indonesia ke Tiongkok hanya mencapai 2,43 juta ton atau turun 9% dibandingkan tahun 2013, di mana volume ekspor mencapai 2,67 juta ton. Turunnya volume ekspor Tiongkok juga disebabkan masalah perekonomian, di mana pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat, tingkat kepercayaan bank yang menurun sehingga para trader kesulitan mencari pinjaman. Tiongkok juga memberlakukan syarat regulasi standar residu pestisida, selain stok kedelai yang tinggi di dalam negeri mereka.

Sementara itu, volume ekpsor CPO dan turunannya asal Indonesia ke negara Uni Eropa, yang merupakan negara pengimpor terbesar setelah India, mencatat kenaikan sebesar 3% dari 4 juta ton pada tahun 2013 menjadi 4,13 juta ton di tahun 2014. Uni Eropa sangat masif dalam menggalakkan kampanye negatif penggunaan minyak sawit dengan berbagai cara. Kenyataan minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling efektif dan murah membuat Uni Eropa tetap meningkatkan permintaan ditengah gencarnya kampanye hitam minyak sawit dan pemberlakuan anti dumping duty. B. Wibowo

Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia:

  2008   2009   2010   2011   2012   2013   2014   2015¹
Produksi
(juta ton metrik)
  19.2   19.4   21.8   23.5   26.5    27.0    31.0    31.5
Ekspor
(juta ton metrik)
  15.1   17.1   17.1   17.6   18.2    21.2    20.0    19.5
Ekspor
(dalam USD milyar)
  15.6   10.0   16.4   20.2   21.6    19.0    21.0

¹
Sumber: Food and Agriculture Organization of the United Nations, Indonesian Palm Oil Producers Association (Gapki) and Indonesian Ministry of Agriculture