Pemerintah berencana menerapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk komoditas beras, setelah instrumen itu diberlakukan untuk gula, daging beku dan minyak goreng. Sayangnya, kebijakan ini dinilai sulit, kecuali pemerintah punya stok beras dan memberi subsidi selisih harga di pasar. Jika tidak, petani yang jadi korban dan makin dimiskinkan.
Penerapan harga eceran tertinggi (HET) untuk gula, daging beku dan minyak goreng dinilai berhasil meredam gejolak harga selama Ramadhan dan lebaran. Itu sebabnya, Kementerian Perdagangan tengah menggodok perubahan Permendag No. 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Sasaran tembak kali ini adalah harga beras, yang akan diturunkan acuan penjualannya ke konsumen dari Rp9.500/kg menjadi Rp9.000/kg.
“Untuk mendukung upaya stabilisasi harga, khususnya beras yang memiliki bobot terbesar terhadap volatile food inflasi, harga acuannya akan direvisi,” kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Cahya Wijayanti kepada Agro Indonesia, Jumat (14/7/2107). Hanya saja, Cahya tidak berani memastikan apakah harga acuan itu akan jadi HET beras nantinya. Pasalnya, keputusan mengenai HET beras diambil dengan berbagai pertimbangan dan melibatkan masukan banyak pihak, terutama dengan Kementerian Pertanian.
Namun, ketika dikonfirmasi ke pejabat Kementan, tak satu pun berani mengkonfirmasi. Sekjen Kementan Hari Priyono malah mengelak. “Saya belum tahu rencana itu. Mungkin masih dalam pembahasan,” katanya, Jumat (14/7/2017). Hal yang sama juga dikemukakan Seketaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, Mulyadi Hendiawan. “Bukan kapasitas saya untuk bicara soal itu. Masalah HET beras masih dibahas di internal,” katanya.
Yang jelas, rencana penerapan HET beras dinilai hanya jadi ‘macan kertas’ karena harga yang terbentuk di pasar sudah sangat tinggi. “HET ditetapkan pasti di bawah harga pasar yang terbentuk. Dengan kata lain, pemerintah harus memberi subsidi selisih harganya. Selain itu, HET berhasil jika pemerintah punya stok,” ujar Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa.
Nah, stok ini yang jadi pertanyaan karena cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog tidak banyak. “Berbeda dengan gula, ada gula rafinasi untuk intervensi pemerintah ke pasar. Kalau beras yang 1,7 juta ton itu kan beras raskin,” tandasnya.
Jika HET beras ngotot diterapkan sesuai harga acuan Rp9.000/kg, justru petani makin dimiskinkan. Pasalnya, basis perhitungan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ada saat ini dinilai ngawur. “GKP Rp3.700/kg itu ngawur karena basisnya 1 hektare! Dari sini pemerintah hitung biaya produksi Rp5 juta/ha. Itu tidak masuk akal karena hitungan kami di 20 kabupaten, penguasaan lahan petani itu rerata 0,2-0,3 hektare dan biayanya Rp20-Rp25 juta/ha,” ujar ketua umum Asosiasi Bank Benih dan teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini. AI
Baca juga: