Penyesuaian PE Sawit Dikecam

Keputusan pemerintah menghentikan sementara dana pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya dinilai tidak tepat, bahkan tidak adil. Harusnya, insentif lebih besar diberikan ke produk hilir, produk turunan CPO, karena memiliki nilai tambah. Petani sawit pun tidak langsung terbantu karena importir malah cenderung menekan harga.

Merosotnya harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional terus terjadi dan harga yang murah tidak mampu menarik permintaan akibat eskalasi perang dagang AS-China yang berbuntut murahnya kedele. Produksi yang meningkat di Indonesia dan Malaysia, dua produsen utama minyak sawit dunia, membuat stok pun makin menumpuk di dalam negeri.

Situasi ini mendesak pemerintah menyetujui penyesuaian PE sawit dan produk turunannya yang diputuskan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Intinya, jika harga internasional CPO di bawah 500 dolar AS/ton, maka tak ada PE untuk CPO maupun produk turunannya. Jika harga membaik di kisaran 500-549 dolar AS/ton, PE dikenakan lagi untuk CPO, maupun produk turunan I dan II masing-masing 25, 10 dan 5 dolar AS/ton. Harga makin baik, jadi di atas 549 dolar AS/ton, PE CPO dan produk turunannya dipatok masing-masing jadi 50, 30 dan 20 dolar AS/ton.

Dengan harga sawit saat ini pada akhir November di kisaran 410 dolar AS/ton, maka ekspor CPO dan produk turunannya pun menjadi nol. “Kami membahas pergerakan harga yang menurun dengan sangat cepat pada seminggu terakhir. Padahal, sekitar 8-9 hari yang lalu masih bertahan cukup lama di kisaran 530 dolar AS/ton,” ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution.

Martias Fangiono, pendiri First Resources, perusahaan perkebunan sawit yang listing di Singapura, menilai langkah pemerintah sudah tepat karena penyesuaian PE untuk membantu petani sawit. “Kebijakan pemerintah sudah bagus karena banyak petani sawit yang terdampak oleh penurunan harga,” ujarnya di Jakarta, Selasa (27/11/2018).

Namun, Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (As[ekpir) malah mengritik kebijakan pemerintah itu. “Kebijakan penyesuaian mekanisme pungutan ekspor itu terlalu terburu-buru diambil pemerintah,” kata Ketua Umum Aspekpir, Setiyono, Jumat (30/11/2018). Bahkan, penyesuaian PE malah jadi peluang menekan Indonesia dengan dalih produsen memperoleh insentif. “Itu terbukti karena harga melorot lagi begitu pemerintah umumkan rencana penyesuaian PE.”

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga juga mengecam dan malah menyebut kebijakan penyesuaian PE tidak fair karena akan menghambat daya saing industri hilir sawit dalam negeri. “Pemerintah harusnya memberi insentif yang lebih besar kepada industri hilir CPO di dalam negeri,” ucapnya, Jumat (30/11/2018). Alasannya sederhana saja, memang. Industri hilir beri nilai tambah lebih besar dibanding sekadar ekspor CPO. AI