Di tengah himpitan defisit perdagangan parah, pemerintah membuat pengumuman mengejutkan. Kayu bulat (log) tanaman industri dan rotan setengah jadi mendadak dibuka peluangnya untuk diekspor. Meski dengan bahasa “malu-malu”, masih butuh kajian, namun penolakan keras dilontarkan Kementerian Perindustrian. Ada apa?
Ekspor kayu bulat (log), yang pernah menghancurkan hutan nasional, tiba-tiba disuarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Namun, entah menghindari penentangan terbuka atau sekadar menjajaki reaksi, peluang ekspor itu diumumkan dengan cara sedikit aneh, yakni diikutkan dalam rencana pemerintah membebaskan laporan surveyor (LS) minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya serta gas yang dikirim melalui pipa. Pembebasan LS berarti komoditas tersebut memang bisa diekspor, sementara log dan rotan setengah jadi adalah produk terlarang ekspor.
Tidak heran, dalam keterangan tertulisnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono menyebutkan, penghapusan kewajiban LS CPO dan gas dimulai Februari 2019. Pertimbangan simplifikasi ini adalah guna meningkatkan kinerja ekspor dalam jangka pendek serta melakukan efisiensi logistik. Bagaimana log dan rotan? Tak ada penjelasan lanjut, kecuali “masih dalam kajian”.
Yang mengejutkan, Kementerian Perindustrian ternyata tidak dilibatkan dalam kajian. “Kami tidak ikut dalam tim studi tersebut,” ujar Direktur Industri hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo di Jakarta, Jumat (15/2/2019). Loh? Rupanya, Kemenperin memang menolak kebijakan pembukaan kran ekspor log. “Kami tidak setuju kalau kebijakan larangan ekspor log dibuka lagi,” tegas Edy.
Sikap tegas ini wajar. Maklum, sesuai amanah UU No. 3 Tahun 2016 tentang Perindustrian, sumber daya alam (SDA), termasuk log, harus diolah di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah serta peningkatan penyerapan tenaga kerja dan menekan terjadinya aksi pembalakan liar atau illegal logging.
Penolakan juga disuarakan Benny Soetrisno, anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) — lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. “Industri downstream-nya masih membutuhkan pasokan kayu log dalam jumlah besar sehingga ekspor log tidak boleh dibuka,” ujarnya. Apalagi, bahan baku adalah keunggulan dan mengekspornya bisa memukul daya saing produk kayu nasional di pasar internasional.
Jika dihilir menolak, siapa sangka di hulu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), justru pendukung ekspor log. Bahkan, niat membuka ekspor log sudah sejak tahun 2016. Yang menarik, Menteri LHK Siti Nurbaya juga mengaku sudah mengkomunikasikannya dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Hasilnya? “Masih harus diyakinkan lagi,” katanya saat itu. AI