Pemerintah akhirnya membuka kran impor daging sapi potongan sekunder (secondary cut) dan menugaskan Perum Bulog selaku importirnya untuk menstabilkan harga daging yang stabil tinggi. Namun, mepetnya waktu menimbulkan banyak pertanyaan dan spekulasi. Sanggupkah Bulog atau kembali gagal seperti dua tahun silam, yang bakal merusak citra dan menebalkan kesan ketidakbecusan BUMN stabilisator pangan ini?
Seiring keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 untuk menstabilkan 14 komoditas kebutuhan pokok dan barang penting, Kementerian Perdagangan akhirnya menugaskan Perum Bulog untuk mengimpor daging sapi potongan sekunder (secondary cut) sebanyak 1.000 ton. Harapannya, dengan volume itu harga daging di DKI Jakarta yang stabil tinggi di atas Rp100.000/kg bisa dijual di bawah Rp90.000/kg.
Sayangnya, penugasan dilakukan dengan waktu yang mepet dan seperti tidak punya perencanaan matang. Padahal, impor daging sekunder itu sendiri sudah jadi “monopoli” BUMN sesuai Permentan No.02/Permentan/PD.410/1/2015 tanggal 22 Januari 2015 dan Permendag Nomor 41/M-DAG/Per/6/2015, di mana daging jenis sekunder sudah tertutup buat swasta. Intinya, dalam rangka stabilitas harga, pemerintah dapat menugaskan BUMN melakukan impor hewan dan produk hewan.
Meski belum impor, namun Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti optimis pihaknya bisa segera menggelar operasi pasar (OP) mulai pekan ini. “Insya Allah, mulai pekan depan (pekan ini, Red.) kami akan coba masuk ke pasar dan retail untuk daging, yang mungkin bisa mengurangi beban saudara-saudara kita yang ingin berpuasa dengan memasak daging,” kata Djarot, Jumat (19/6).
Lho? Dari mana Bulog dapat daging? Ternyata Bulog memperoleh daging segar dari feedloter (penggemukan sapi). Tahap pertama 200 ton dan tahap kedua 300 ton. Jika masih kurang, “kami sudah siapkan impor 1.000 ton,” ujar Djarot.
Jika Bulog membeli dari dalam negeri, yang harganya di pasaran per 19 Juni di situs infopangan.jakarta.go.id untuk paha belakang rerata Rp112.500/kg, berapa mereka harus jual ke masyarakat? Direktur Pengadaan Bulog, Wahyu menyebut harga tak lebih dari Rp90.000/kg. Daging untuk OP itu diperoleh lewat kerjasama dengan PT Berdikari (BUMN Peternakan).
Yang menarik, mengapa Bulog menggandeng Berdikari yang peternakannya di Sulawesi Selatan, sementara di DKI sendiri malah ada PD Dharma Jaya (BUMD) yang justru memiliki pasok daging lokal? Bahkan, Dirut Dharma Jaya, Marina Ratna Dwi Kusumajati mengaku mampu menjual daging ke masyarakat Jakarta maksimal Rp85.000/kg. “Itu murni daging lokal, bukan daging impor atau bakalan impor,” katanya. Wah. AI