Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini menggambarkan mengapa Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengajukan permohonan uji materi perundang-undangan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Bagaimana tidak. Saat aset tanaman habis terbakar, para pelaku usaha pengelola lahan kemudian dijatuhi sanksi pidana dan perdata. Data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, ada 11 perusahaan yang menghadapi gugatan perdata terkait kasus kebakaran hutan dan lahan dari Kementerian LHK. Nilai gugatan pun fantastis, ada yang tembus belasan triliun rupiah untuk satu perusahaan saja. Sebanyak 3 gugatan telah memperoleh vonis inkracht dengan total denda mencapai Rp16,67 triliun. Sisanya sedang berproses di pengadilan (lihat tabel).
Menurut Ketua bidang Tata Ruang dan Agraria Gapki, Eddy Martono, pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) pada kasus kebakaran hutan dan lahan sangat memberatkan. “Ini kan rumah kami terbakar, eh malah disuruh ganti rugi,” kata dia ketika dihubungi, Selasa (30/5/2017).
Padahal, banyak kerugian yang harus dihadapi perusahaan perkebunan akibat kebakaran. Selain aset yang hilang, juga ada stagnansi produksi yang berdampak pada rugi potensial. “Jadi, memang tidak mungkin perusahaan perkebunan mau mengambil risiko untuk membakar lahan,” katanya.
Dia menyatakan, hukum seharusnya memberi kedudukan yang setara bagi seluruh warga negara. Jika ada larangan untuk membuka lahan dengan cara membakar, larangan itu seharusnya juga berlaku bagi semua warga negara. Menurut Eddy, jika ada pengecualian, maka dikhawatirkan akan ada pihak-pihak yang menjadikannya sebagai tameng dari kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan. “Jangan sampai mereka yang membakar lolos dari hukum dengan menjadikan kearifan lokal sebagai tameng,” kata Eddy.
Dia melanjutkan, pemerintah selayaknya mendukung upaya uji perundang-undangan. Pasalnya, jika dikabulkan, maka akan meringankan kerja pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Kearifan lokal tak bisa lagi dijadikan alasan dalam pembukan lahan dengan cara membakar dan pelaku sesungguhnya bisa benar-benar dihukum. “Justru seharusnya pemerintah berterima kasih atas uji perundang-undangan ini,” kata dia.
Eddy menyatakan, untuk melindungi kearifan lokal, maka pembukaan lahan bisa diatur dalam ketentuan yang sifatnya lebih teknis. Lagi pula, katanya, perusahaan anggota Gapki juga bersedia bekerjasama dengan masyarakat untuk membantu pembukaan lahan tanpa bakar. Program Desa Bebas Api yang dijalankan beberapa perusahaan anggota Gapki membuktikan masyarakat dan kami bisa bekerjasama untuk membuka lahan tanpa bakar,” katanya.
Dukungan Petani Sawit
Menariknya, langkah menguji perundang-undangan UU 32/2009 mendapat dukungan dari kalangan petani sawit.
“Kegiatan membakar lahan dengan dasar apapun seharusnya tidak dibenarkan,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (Aspekpir) Riau, Sofyan Harahap.
Dia menuturkan, pada tahun 2007, Pemprov Riau pernah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Lingkungan Hidup. Peraturan itu membolehkan pembakaran lahan untuk pertanian, perkebunan, dan perladangan. Syarat pembakaran diatur melalui Pasal 3 Ayat 4 ketentuan mengenai perizinan pembakaran lahan diatur peraturan tingkat desa dan kabupaten terkait hak ulayat
“Hanya saja, aturan itu, yang disahkan DPRD Provinsi Riau pada 6 Juni 2007, segera dicabut karena dianggap tidak mendidik masyarakat dan petani. Hal ini juga berdampak pada meluasnya perambahan kawasan,” kata Sofyan
Dia menuturkan, pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi dan transformasi mengenai teknologi pemanfaatan lahan tanpa membakar dan bukan sebaliknya malah dibiarkan membakar. Menurut Sofyan, selain merusak geologi dan kesuburan tanah, aktivitas membakar terkesan melegalkan kepentingan kelompok tertentu yang ingin melakukan perambahan kawasan.
“Ini pokok masalah. Kebakaran dan pembakaran sulit diawasi dan dikendalikan meskipun hanya pada luasan 2 hektare,” kata Sofyan.
Pernyataan senada dikemukakan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arysad. Dia mengatakan, pemerintah perlu tegas dengan komitmen untuk tidak melakukan pembukaan lahan tanpa membakar. Menurut dia, regulasi yang mengatur tentang larangan membuka lahan dengan membakar terdapat dalam Pasal 26 UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.
Berdasarkan ketentuan itu, setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Gugatan Tak Kuat
Sementara itu, upaya Menteri LHK Siti Nurbaya yang all out menghadapi uji perundangan-undangan disambut banyak dukungan. Pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menyatakan, tak ada konstitusi yang dilanggar dari strict liability.
Dia menyatakan, ada dua prinsip dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia yang saling menguatkan. Selain strict liability, adalah corporate criminal liability dalam hukum pidana. Ota, sapaan Mas Achmad, menilai keterlaluan jika hakim MK mengabulkan gugatan uji perundang-undangan. Dia yakin gugatan uji perundang-undangan UU 32/2009 kali ini bakal ditolak majelis hakim MK.
“Guggatannya tidak kuat. Kalau proses normal, seharusnya permohonan ditolak,” cetusnya pada diskusi Green Ramadhan yang digelar Kementerian LHK di Jakarta, Jumat (2/6/2017).
Di tempat yang sama Ketua Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Harry Supriyono menyatakan, jika MK mengabulkan gugatan uji perundang-undangan yang diajukan APHI dan Gapki, bisa berdampak pada rusaknya lingkungan hingga tatanan sosial.
“Ini bisa membuat hukum tak adil. Ini dampaknya bisa merusak tatanan,” kata Harry.
Dia menyatakan, banyak kasus perusakan lingkungan yang telah terang benderang tanpa harus ada pembuktian. Kasus lumpur Lapindo adalah salah satunya. Demikian juga kebakaran hutan dan lahan. Kasus tersebut sudah terang benderang tanpa perlu ada pembuktian.
Dia juga menyatakan, pentingnya melihat unsur kearifan lokal dalam pembukaan lahan. Menurut dia, praktik pembukaan lahan dengan cara membakar sudah dilakukan oleh masyarakat adat sejak lama. Praktiknya pun tak pernah sampai menimbulkan bencana karena dilakukan secara terkontrol. “Kita tentu ingin hak masyarakat tetap dijaga,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati menyatakan gugatan uji perundang-undangan sebagai upaya sistematis korporasi skala besar melawan Konstitusi dan Undang-Undang.
“Korporasi mencoba membangun logika hukum bahwa mereka yang dilanggar hak-haknya dengan membiaskan entitas korporasi skala besar sama dengan warga negara, padahal sesungguhnya merekalah aktor yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa kebakaran hutan dan ekosistem rawa gambut,” kata dia.
WALHI mengajak seluruh warga negara melawan lupa atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh kekuatan korporasi dalam kurun waktu yang sangat panjang. Pembakaran hutan dan ekosistem rawa gambut yang mengakibatkan kerugian tidak terhingga, bahkan hilangnya hak hidup rakyat dan makhluk hidup lainnya juga penghancuran ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai permohonan uji materi UU 32/2009 adalah upaya korporasi untuk mengkambing-hitamkan Masyarakat Adat atas perusakan hutan dan lingkungan hidup. “Pelarangan membuka lahan dengan cara tradisional sangat berbahaya bagi Masyarakat Adat yang sangat mengantungkan hidupnya sebagai petani atau peladang,” kata Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi.
“Pelarangan membuka lahan secara tradisional bagi Masyarakat Adat adalah pelanggaran HAM dan tindakan menggangkangi konstitusi,” tambah Rukka. Sugiharto
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILAN (GUGATAN PERDATA)
Tahapan | Tergugat | Putusan (Rp) | Keterangan |
Pelaksanaan Eksekusi
|
PT. Kallista Alam (PT. KA) | 366 Miliar | Pengajuan Kasasi PT KA ditolak oleh MA. |
Putusan Kasasi | PT. Surya Panen Subur | 439 Miliar | Pengajuan Kasasi KLHK ditolak oleh MA. |
PT. Merbau Pelalawan Lestari | 16,2 Triliun | Pengajuan Kasasi KLHK dikabulkan oleh MA | |
Upaya Hukum Banding | PT. Jatim Jaya Perkasa | 491 Miliar | Divonis Pengadilan Tinggi DKI 10 Maret 2017 |
Putusan Banding | PT. Bumi Mekar Hijau | 7,9 Triliun | Pengajuan Banding KLHK dikabulkan sebagian oleh PT Palembang (Rp78 M) |
Putusan PN | PT. Nasional Sago Prima | 1,07 Triliun | Gugatan KLHK dikabulkan sebagian oleh PN Jakarta Selatan (Rp1,07 T) |
Putusan PN | PT. Waringin Agro Jaya | 466,5 miliar. | Vonis PN Jakarta Selatan 7 Februari 2017 |
Proses di PN | PT. Ricky Kurniawan Kertapersada | 191,8 Miliar (Gugatan) | Pendaftaran Gugatan di PN Jambi, tanggal 14 Desember 2016 |
PT. Palmina Utama | 183,7 Miliar (Gugatan) | Pendaftaran Gugatan oleh KLHK di PN Banjarmasin, tanggal 14 Desember 2016. | |
PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi | 539,5 Miliar (Gugatan) | Pendaftaran Gugatan oleh KLHK di PN Jambi, tanggal 14 Desember 2016. | |
PT. Waimusi Agro Jaya | 209,2 Miliar (Gugatan) | Pendaftaran Gugatan oleh KLHK di PN Palembang, tanggal 14 Desember 2016. | |
Sumber: KLHK (diolah Agro Indonesia) |
Baca juga:
Pembakaran Lahan Digugat, Pemerintah Kerahkan LSM
Agro Indonesia No 641, 6-12 Juni 2017