Polemik dari Pengusaha, oleh Pengusaha

Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 70 tahun 2014, yang membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, telah menyulut polemik.

Keputusan yang diambil MA tanggal 25 Februari 2014 dan disampaikan kepada pemerintah pada 23 April 2014 serta berlaku mulai tanggal 25 Juli 2014, baik bagi barang lokal maupun barang impor, dinilai merugikan pelaku industri dan eksportir. Mereka ramai-ramai menolak keputusan MA tersebut.

“Penerapan kebijakan tersebut akan berdampak negatif bagi perkopian nasional, antara lain terhadap petani kopi, produksi kopi, pasar ekspor kopi, devisa negara, pasok kopi di dalam negeri serta daya saing kopi nasional,” ujar Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Irfan Anwar, akhir pekan lalu.

Menurutnya, biji kopi yang diperdagangkan, dari petani ke pedagang pengumpul hingga eksportir dan pabrikan, masih dalam bentuk biji (tidak berubah bentuk) sehingga belum memilik nilai tambah. Biji kopi tersebut baru akan mengalami nilai tambah jika sudah melalui proses lanjutan seperti menjadi kopi bubuk dan olahan lainnya.

Pembebanan PPN 10%, ungkapnya, akan berdampak pada petani, yang akan menelantarkan tanaman kopinya atau bahkan mengganti tanaman kopi ke tanaman lain yang lebih menguntungkan.  “Akibat lanjutannya tentu akan berdampak pada menurunnya produksi kopi nasional,” ucapnya.

Kebijakan itu juga akan merugikan eksportir kopi karena pedagang kopi perantara maupun pedagang kopi lokal bersifat musiman, yang akan bekerja hanya bila ada barang (panen). Pada umumnya, Pedagang Perantara tidak memiliki perusahaan yang berbadan hukum (tidak memiliki NPWP) dan tidak menjadi PKP (pengusaha kena pajak). “Akibatnya akan menyulitkan bagi eksportir kopi untuk memungut pajak, sehingga pajak akan menjadi beban eksportir kopi,” jelasnya.

Dia juga menegaskan, pengenaan PPN 10% akan menambah beban para petani, sehingga petani akan menambahkan pada harga pokok, yang pada akhirnya harga kopi Indonesia tidak dapat bersaing di pasar internasional. Saat ini, harga lokal sudah melebih harga internasional. Untuk Robusta, saat ini harga pasar tidak mencapai 2 dolar AS/kg, sedangkan harga lokal mencapai sekitar Rp23.000/kg. Itupun barang sulit didapat.

Penerapan PPN 10%, tambahnya, juga akan menjadi beban tersendiri bagi eksportir kopi nasional karena harus memperbesar modal kerja, sedangkan suku bunga bank nasional masih berkisar 12%. Ini berbeda dengan bank-bank di luar negeri yang suku bunga komersialnya berkisar 4%-6% sehingga hal ini akan menambah sulitnya eksportir kopi nasional dalam bersaing dengan para perusahaan asing (PMA).

Irfan menegaskan, melemahnya atau menurunnya produksi kopi nasional akibat pengenaan PPN 10 % akan berdampak pada menurunnya pasokan kopi di dalam negeri, di mana pasar kopi dalam negeri dewasa ini sedang tumbuh dan berkembang. Akibatnya, kebutuhan kopi dalam negeri akan dipenuhi dengan kopi dari luar negeri (impor). 

“Jika hal ini dibiarkan, maka posisi  Indonesia sebagai negara produsen kopi (robusta) terbesar ke-3 di dunia sesudah Brasil dan Vietnam akan berubah  statusnya menjadi negara net impor kopi,” ucapnya. 

Selain itu, pasar kopi Indonesia di luar negeri yang sudah dirintis dan dibina dalam waktu puluhan tahun, akan menurun dan diisi negara produsen lain. Hal yang sangat tidak menguntungkan adalah kopi-kopi Indonesia sudah dikenal di mancanegara dan dewasa ini permintaannya terus meningkat. Jika ketersediaan atau pasokan kopi dari Indonesia menurun, maka sangat disayangkan dan akan kehilangan banyak kesempatan.

“Menimbang banyaknya dampak negatif yang akan terjadi, maka AEKI menolak penerapan PPN 10% terhadap kopi,” tegasnya.

Kepentingan sawit

Sedangkan Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman meminta MA seharusnya melihat secara keseluruhan sebelum memutuskan untuk membatalkan PP tentang peniadaan PPN terhadap komoditas primer.

“MA seharusnya jangan hanya melihat kepentingan industri tertentu, seperti sawit dengan mengorbankan industri agro lainnya,” ujarnya.

Menurutnya, industri sawit umumnya terintegrasi, sementara industri agro lainnya tidak. Jika PPN diterapkan kembali, maka industri agro lainnya akan sangat sulit  bersaing dan akhirnya mati karena industri harus menyediakan modal kerja jauh lebih besar, terutama saat panen raya untuk stok.

“Belum lagi biaya bunga yang tinggi, bea masuk bahan baku impor sebesar 5% dan produk olahan di Indonesia yang Bea Masuknya 0%,” ujarnya.

Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah dan MA segera meninjau kembali keputusannya demi menjamin keberhasilan program hilirisasi komoditas, kelangsungan industri agro dan peningkatan daya saing industri dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). B Wibowo

Uji Materi Diminta Kadin

Keluarnya keputusan Mahkamah Agung (MA) berawal dari keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 tahun 2007  tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Namun, PP tersebut dinilai beberapa pengusaha, terutama yang bergerak di perkebunan kelapa sawit, sangat merugikan. Untuk itu, melalui Kadin Indonesia, PP tersebut dibawa  ke MA untuk diujimateri. Adapun pasal-pasal yang dipermasalahkan adalah pasal 1 ayat 1 huruf c, pasal 1 ayat 2 huruf a, Pasal 2 ayat 1  huruf f dan pasal 2 ayat 2 huruf  c.

Menurut pemohon, dengan diberlakukannya Pasal 1 ayat 1 huruf c, pasal 1 ayat 2 huruf a, Pasal 1 ayat 2 huruf a, Pasal 2  ayat 1 huruf a huruf f  dan pasal 2 ayat 2 huruf  c PP No. 31/2007 terdapat kerugian nyata yang diderita perusahaan pembayar pajak (pengusaha Kena Pajak/PKP).

Alasannya, pasal 1 ayat 1 juncto Pasal 1 ayat 2 PP No. 31/2007 mengatur bahwa  barang hasil pertanian merupakan barang strategis yang dibebaskan pajak. Namun, dalam Undang-Undang PPN barang hasil pertanian  diklasifikasikan kena pajak.

Akibat dari PP No. 31/2007 yang membebaskan pajak tersebut, maka mekanisme pengkreditan, yaitu PPN Keluaran (PK) dikurangi PPN Masukan (PM) menjadi tidak berjalan, karena PM yang berfungsi sebagai kredit (mengurangi) PK tidak dapat dijadikan sebagai Kredit. Akibatnya, PPN yang ditanggung menjadi lebih besar dibandingkan apabila sistem perkreditan berjalan sesuai dengan UU-PPN.

Dari hasil uji materi, MA mengadili dan membuat keputusan (Keputusan Mahkamah Agung  No. 70 tahun 2014 tanggal 25 Februari 204), yakni menyatakan PP No. 31/2007 atas perubahan keempat PP No. 12/2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak  yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN bertentangan  dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang PPN dan karenanya pasal-pasal PP No. 31/2007 yang diujimaterikan itu tidak sah dan tidak berlaku secara umum.

Pasal-pasal yang dicabut adalah Pasal 1 ayat 1 huruf c PP No. 31/2007 (barang hasil pertanian), Pasal 1 ayat 2 huruf a Barang Hasil pertanian, perkebunan, dan Kehutanan), Pasal 2  ayat 1 huruf f barang hasil pertanian, dan  Pasal 2 ayat 2 huruf c (Barang Hasil Pertanian) dari PP No. 31 tahun 2007.

Selain itu, petani/kelompok tani harus melaksanakan administrasi PPN, yaitu pemungutan, pembayaran, pelaporan PPN dengan mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPN setiap masa pajak per bulan. B Wibowo