Dugaan pat gulipat peruntukan lahan yang dilakukan anak usaha PT Tunas Baru Lampung Tbk, PT Dinamika Graha Sarana (DGS) terus didalami. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah meminta jajarannya terus menggali data lapangan sebelum nantinya diambil keputusan yang tepat.
“Yang paling penting data lapangannya baik dan benar. Dokumen administratifnya pas,” kata Menteri di Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Menteri Nurbaya juga mengungkapkan, dirinya sudah menerima surat dari kelompok usaha PT DGS dan PT Samora Usaha Jaya (SUJ) yang menjelaskan tentang pengelolaan lahan mereka. “Ada appeal (banding) dari kelompok SUJ dan DGS. Mereka mencoba menjelaskan. Saya sudah minta Pak Dirjen (Planologi Kehutanana dan Tata Lingkungan, San Afri Awang) untuk mengecek,” kata Menteri.
Sejauh ini, pernyataan dari DGS maupun induk usahanya, Tunas Baru Lampung, terkait kasus ini memang minim, meski perusahan tersebut menyandang status ‘terbuka’. Agro Indonesia sempat menghubungi Sekretaris Perusahaan Tunas Baru Lampung, Hardy untuk mengkonfirmasi kasus ini, namun Hardy tak menjawab panggilan telepon yang tersambung. Sementara pesan yang dikirimkan melalui aplikasi Whatsapp tak dijawab meski berstatus terbaca.
Meski demikian, dalam surat kepada Menteri LHK Siti Nurbaya, tertanggal 7 Desember 2016, manajemen PT DGS menjelaskan bahwa mereka telah mengantongi izin pelepasan kawasan hutan produksi yang dapt dikonversi berdasarkan SK Menhut No. 249 tahun 2012.
Dalam surat yang ditandatangani Direktur DGS Santoso Winata itu, DGS mengklaim telah melengkapi berbagai dokumen perizinan yang diperlukan untuk beroperasi.
Pada surat tersebut juga dijelaskan soal adanya peralihan kepemilikan dan manajemen atas nama Samora Usaha Jaya (SUJ), yang pada awalnya SUJ dan DGS memiliki persamaan manajemen dan peralihan dilakukan dalam satu paket.
“Terhadap lokasi tersebut, kami juga telah melakukan pembebasan lahan dan masyarakat, di mana per 30 September 2016 telah mencapai ±5.065 hektare,” demikian isi surat itu.
Dalam surat DGS juga diungkapkan tentang adanya pertimbangan teknis dari kantor pertanahan OKI. Hanya saja, dalam pertimbangan teknis tersebut kawasan hutan yang sudah dilepas malah dinyatakan sebagai lahan dengan status Areal Penggunaan Lain (APL).
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, San Afri Awang menyatakan, surat dari DGS tidak memberi penjelasan apa yang terjadi di lapangan. Dia menegaskan, yang ditemukan tim Kementerian LHK adalah adanya perubahan peruntukan dari tebu menjadi sawit. “Mereka memang punya izin pelepasan, tapi seharusnya hanya boleh dibangun untuk kebun tebu,” katanya.
Awang menyatakan, pihaknya akan menelisik kasus ini sampai tuntas. Termasuk soal keterkaitan Pemerintah Daerah OKI, maupun pejabat lainnya. Menurut Dia, perizinan kebun sawit tak bisa diterbitkan pada lahan yang bukan untuk peruntukannya. Jika izin pelepasan untuk tebu, maka HGU dan perizinan lainnya pun hanya bisa untuk tebu.
“SUJ bisa mendapat HGU. Padahal, SK pelepasannya untuk kebun tebu. Itupun atas nama DGS. Ini yang kami telusuri,” kata Awang.
Dia melanjutkan, jika dalam perjalanan ternyata pemegang izin pelepasan hutan ingin mengubah komoditas tanamannya, maka lahan yang sudah dilepas mesti dikembalikan terlebih dahulu kepada Kementerian LHK selaku pemberi izin. “Terhadap hutan yang telah dilepas, tidak serta merta menjadi lahan berstatus Areal Penggunaan Lain (APL),” katanya.
Tindakan Nyata
Sementara itu, Kepala Desk Kampanye Sawitwatch, Maryo Saputra Sanuddin, mendesak pemerintah segera mengambil tindakan nyata terhadan kasus DGS. “Harusnya langsung di pasang garis polisi agar kegiatan pembukaan lahan benar-benar berhenti,” katanya.
Dia mendukung jika upaya untuk mengungkap kasus ini melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini untuk memastikan ada tidaknya kerugian negara yang ditimbulkan.
Maryo melanjutkan, Kementerian LHK seharusnya tidak perlu waktu untuk menindak tegas secara hukum. Pasalnya, praktik buruk DGS sudah diungkap sejak lama. Operasionalisasi DGS disebut menjadi pemicu konflik, terutama di Desa Panyindangan, Desa Tanjung Batu, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI, di mana DGS sedang membuka lahannya. “Ini salah satunya yang melatarbelakangi munculnya konflik antarmasyarakat,” katanya.
Menurut Maryo, praktik pengelolaan yang buruk oleh DGS, bersama sejumlah perusahaan sawit lainnya, telah berdampak pada mengeringnya lahan gambut, sehingga pada saat hujan air yang masuk ke lapisan lebih rendah tidak tersimpan dan saat kemarau lahan gambut mudah terbakar.
Dia mengingatkan, tahun lalu terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut yang cukup hebat di mana Kabupaten OKI merupakan salah satu Kabupaten yang masih memiliki lahan gambut cukup besar.
Maryo menegaskan, persoalan ini tentu akan membawa dampak serius terhadap keberlangsungan masyarakat setempat, termasuk merusak ekosistem gambut di wilayah itu. “Inilah praktik-praktik buruk perusahaan di Kabupaten OKI, yang sampai saat ini masih terus dibuka oleh beberapa perusahaan,” tegasnya pula. Sugiharto
Peruntukan Izin Usaha Harusnya Tidak Bisa Berubah
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang mengatakan, urusan Izinan Usaha Budidaya (IUB), Izin Usaha Perkebunan, bukan diterbitkan Ditjen Perkebunan. “Izin-izin tersebut keluarkan Pemerintah Daerah setempat,” katanya kepada Agro Indonesia, pekan lalu, di Jakarta.
Menurut dia, peruntukan izin usaha semestinya tidak bisa berubah. Misalnya, jika lahan yang diberikan izin itu untuk perkebunan sawit, maka tidak bisa dialihkan pada jenis tanaman lain. “Tapi saya tidak paham, itu aturan Pemda,” tegasnya.
Hal itu dikemukakan Bambang terkait kasus kasus PT Dinamika Graha Sarana (DGS) yang mengubah budidaya tebu menjadi kelapa sawit. Padahal, izin yang dikeluarkan untuk tanaman tebu. “Soal ini saya kurang paham, karena izin-izin semua diterbitkan di Pemda,” tegasnya
Kepala Badan Perizinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPM) OKI, Drs Alamsyah, MSi mengatakan, saat ini Pemkab OKI sedang mengkaji terkait adanya temuan tersebut. Namun demikian, pihaknya sudah mempersiapkan berbagai data pendukung terkait dengan temuan tim KLHK tersebut. “Jika kita diminta klarifikasi, tentu kita siap, dan didukung dengan data-data yang dimiliki,” ujar Alamsyah, Selasa (6/12/2016).
Dia mengklaim pihaknya sudah melakukan rapat koordinasi lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten OKI, seperti Dinas Perkebunan, Kehutanan, maupun Badan Lingkungan Hidup (BLH), dan instansi terkait.
Menurut Alamsyah, dalam mengeluarkan izin seperti Izin Usaha Perkebunan (IUP), tentu saja ada prosedur, mekanisme dan persyaratan yang harus dilengkapi dan jika syarat tersebut tercukupi, maka tidak ada alasan untuk tidak memprosesnya. “Tentu saja kita juga melakukan cross check ke lapangan, tidak hanya mengandalkan data-data atau rekomendasi saja,” ucap Alamsyah.
Kalaupun terjadi kesalahan administrasi, maka Badan Perizinan OKI siap untuk memperbaikinya, dan bagi Kabupaten OKI tidak ada permasalahan apakah itu komoditas tebu maupun sawit. “Kalaupun nantinya akan dikembalikan lagi ke perkebunan tebu, maka nanti akan disampaikan ke pihak perusahaan,”tuturnya. Jamaludin