Indonesia akhirnya memiliki bursa karbon yang akan memperdagangkan karbon secara resmi dan menjadi kontribusi negeri ini dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sekaligus menjadi pemain utama di perdagangan karbon global.
Peluncuran Bursa Karbon Indonesia itu secara resmi dilakukan Presiden Jokowi pada Selasa (26/9) di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang ditayangkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi mengungkapkan potensi pasar karbon Indonesia yang baru diluncurkan ini bisa mencapai Rp3.000 triliun.
“Menurut catatan saya ada kurang lebih 1 gigaton CO2 kredit karbon yang bisa ditangkap, dan jika dikalkukasi potensi bursa karbon kita bisa mencapai potensinya Rp3.000 triliun, bahkan bisa lebih,” ujar Jokowi.
Menurutnya, ini merupakan sebuah angka yang sangat besar, dan akan menjadi menjadi kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan sejalan arah dunia yang menuju ekonomi hijau.
“Karena ancaman perubahan iklim sangat bisa kita rasakan dan sudah kita bisa rasakan kita tidak bisa main main ini. Naik suhu bumi, kekeringan, polusi sehingga dibutuhkan langkah kongkrit, dan bursa karbon bisa menjadi langkah konkrit untuk Indonesia mencapai target NDC,” lanjut Jokowi.
Selama peluncuran itu, tercatat ada 13 transaksi yang mewakili kredit karbon hampir 460.000 ton setara karbon dioksida (CO2e), dengan harga Rp69.600/ton, demikian menurut papan peragangan di BEI, yang memfasilitasi transaksi tersebut.
Semua kredit yang diperdagangkan itu berasal dari proyek geothermal di Sulawesi Utara yang dimiliki PT Pertamina Geothermal Energy.
Menurut Menko bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, seperti dikutip Reuters, dalam tahap awal perdagangan ini bersifat suka rela (voluntary). AI