Produsen Rafinasi Masih Keberatan

Pendistribusian komoditas gula di dalam negeri masih menimbulkan kekisruhan di lapangan. Berbagai kepentingan masih menyelimuti kebijakan yang diambil terhadap komoditas berasa manis itu.

Misalnya saja dalam hal pendistribusian gula kristal rafinasi (GKR) melalui kegiatan lelang. Hingga akhir pekan lalu, masih terjadi polemik mengenai besarnya biaya transaksi yang ditetapkan dalam kegiatan lelang GKR itu.

Kalangan produsen gula rafinasi maupun industri makanan dan minuman (mamin) kelas besar, belum bisa menerima besaran biaya yang ditetapkan pemerintah untuk kegiatan transaksi itu.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Bachrul Chairi menegaskan, dalam kegiatan lelang tersebut pihak usaha kecil dan menengah (UKM) dibebaskan dari kewajiban membayar biaya transaksi. “Kepada UKM tidak dikenakan biaya transaksi,” ujar Bachrul kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Menurutnya, biaya transaksi hanya dikenakan terhadap industri makanan dan minuman kelas menengah ke atas yang jumlahnya hampir mencapai 300 perusahaan. Selain itu, biaya transaksi juga dikenakan terhadap industri gula rafinasi selaku penjual.

Untuk produsen mamin, mereka dikenakan biaya Rp1.000.000 untuk pendaftaran di bursa. Hingga saat ini sudah ada 300 produsen mamin dan 11 produsen gula rafinasi yang mendaftar menjadi peserta lelang.

Selain itu, penyelenggara juga menerapkan biaya transaksi sebesar Rp85.000/ton bagi kontrak yang sudah berjalan dan Rp100.000 /ton bagi spot order. Biaya ini dibebankan ke pabrik gula rafinasi.

Berat

Besarnya biaya inilah yang belum bisa diterima oleh produsen mamin maupun produsen gula rafinasi.

Ketua Gabungan Asosiasi Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi), Adhi S Lukman belum bisa memberikan penjelasan mengenai besaran biaya transaksi itu. “Saya belum bisa memberikan tanggapan karena masih ada pertemuan dengan pihak Kementerian Perdagangan,” sebutnya.

Hal senada juga terjadi pada produsen gula rafinasi yang bergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) — yang belum bisa memberikan penjelasan mengenai biaya transaksi lelang itu.

Namun, sumber Agro Indonesia  yang dekat dengan produsen gula rafinasi menyebutkan, produsen gula rafinasi juga merasa keberatan dengan besaran biaya transaksi itu, “Mereka ingin agar besaran biaya transaksi diturunkan dan biaya itu ditetapkan melalui SK, baik SK Bappebti maupun SK Mendag,” ujarnya.

Soft launching lelang gula rafinasi sendiri telah dilakukan pada 1 September lalu dan hingga saat ini kegiatan lelang gula rafinasi itu juga terus dilakukan. Jika tak ada kendala, lelang akan resmi meluncur per 1 Oktober 2017.

Dijelaskan, penerapan biaya transaksi itu tentunya akan membuat biaya yang harus dikeluarkan produsen gula rafinasi menjadi bertambah karena adanya kewajiban membayar biaya transaksi dalam kegiatan lelang tersebut.

“Dengan adanya biaya lelang, tentunya bertambah juga biaya yang harus dikeluarkan produsen,” ujar sumber Agro Indonesia.

Konsumen dirugikan

Dia menyebutkan, kenaikan harga jual tidak akan bisa dihindari jika biaya transaksi lelang tetap dibebani kepada produsen. Jika hal itu terjadi, tentunya pihak pembeli, yakni produsen mamin, juga bakal menaikkan harga jual produknya karena adanya kenaikan harga bahan baku berupa gula rafinasi.

“Akhirnya, konsumen juga yang akan menanggungnya dengan membeli produk berbasis gula rafinasi dengan harga yang jauh lebih tinggi dari biasanya,” paparnya.

Adapun kebutuhan gula rafinasi secara nasional berkisar 3,2-3,5 juta ton/tahun. Pada semester I/2017, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor raw sugar sebanyak 1,6 juta ton. Sementara itu, izin impor yang dikeluarkan untuk paruh kedua 2017 mencapai 1,75 juta ton.

Dari jumlah produksi gula rafinasi tersebut, sekitar 400.000 ton diserap oleh industri kecil dan menengah (IKM) dan sisanya sekitar 2,8 juta ton lagi diserap oleh industri mamin kelas menengah ke atas.

Jika saja gula rafinasi sebanyak 2,8 juta ton itu dilelang melalui pola existing dan dikenakan biaya transaksi sebesar Rp85/kg, maka akan ada dana yang harus dikeluarkan untuk kegiatan lelang gula rafinasi sekitar Rp238 miliar. “Dana sebesar itu tentunya pada akhrnya akan ditanggung oleh masyarakat konsumen,” papar sang sumber.

Wajar dan cegah rembesan

Terkait biaya itu, Bachrul Chairi mengakui hingga saat ini masih ada perdebatan mengenai besaran biaya transaksi lelang itu. Masih ada penolakan dari pihak produsen. Namun, dia menegaskan, pemerintah menilai besaran biaya itu sudah cukup memadai dan diperlukan untuk kegiatan lelang juga.

“Biaya itu diperlukan untuk melakukan verifikasi usaha kecil dan menengah yang mendapatkan gula rafinasi, kegiatan lelang di bursa, penjaminan di clearing, biaya survei yang dilakukan Sucofindo serta untuk pembuatan quality barcode pada 30 juta karung gula rafinasi,” ucapnya.

Bachrul menjelaskan, kegiatan lelang gula rafinasi diperlukan karena kegiatan ini bisa memberikan kemudahan bagi UKM dalam mendapatkan bahan baku gula rafinasi untuk kegiatan produksinya.

“Selama ini, pengusaha UKM harus mengemis-ngemis untuk mendapatkan gula rafinasi. Mereka juga harus membayar dengan harga kontan dan lebih tinggi sekitar Rp1.000-Rp2.000 dari harga normal. Padahal, industri mamin besar boleh dan bisa membayar setelah 30 hari hingga tiga bulan kemudian,” ucapnya.

Selain itu,  para UKM juga bisa ditangkap polisi jika mereka membeli gula rafinasi dari pasar umum karena ada ketentuan kalau gula rafinasi tidak boleh dijual di pasar umum dan pembelinya bisa berurusan dengan pihak berwajib.

“Nah melalui kegiatan lelang ini, mereka dapat dengan aman membeli gula rafinasi yang mereka butuhkan,” papar Bachrul.

Kegiatan lelang gula rafinasi juga akan mampu mencegah munculnya rembesan jenis gula tersebut ke pasar umum. “Karena, dalam lelang itu kita bisa mengetahui berapa sebenarnya kebutuhan gula rafinasi bagi industri mamin di dalam negeri,” ucapnya.

Bachrul mensinyalir, munculnya rembesan gula rafinasi selama ini akibat ulah produsen mamin dan produsen gula rafinasi. Misalnya saja kebutuhan sebuah produsen mamin terhadap gula rafinasi sebenarnya hanya 100.000 ton. Namun, perusahaan itu kemudian membeli gula rafinasi ke produsen gula rafinasi sebanyak 120.000 ton.

Nah, yang 20.000 ton sisanya itu dijual ke pasar umum atau IKM dengan margin antara Rp200 hingga Rp 500/kg. “Mereka bisa meraih keuntungan yang cukup besar,” paparnya.

Seperti diketahui, hampir setiap tahun terjadi aksi rembesan gula rafinasi di pasar umum. Kemendag memperkirakan setiap tahunnya terjadi rembesan gula rafinasi ke pasar umum sebesar 200.000 ton hingga 300.000 ton.

Sebenarnya, Kemendag telah menerapkan aturan yang ketat untuk mencegah terjadinya aksi rembesan gula rafinasi itu. Misalnya dengan memangkas jalur distribusi gula jenis itu, Namun, kenyataannya, rembesan masih saja terjadi setiap tahunnya.

“Nah dengan  adanya lelang gula rafinasi itu, aksi rembesan gula jenis ini ke pasar umum bisa dicegah lebih ketat lagi karena pengeluaran dan distribusi gula rafinasi bisa dilihat dan dipantau,” kata Bachrul.

Dia menyebutkan dengan tidak adanya rembesan gula rafinasi di pasar umum maka kekisruhan yang sering muncul ketika masa panen dan giling gula kristal putih tiba, yakni sulitnya gula milik petani dijual ke pasaran, biasa diatasi.

“Selama ini, ketika masa panen dan musim giling, petani tebu  selalu mengeluh gulanya sulit dijual dengan harga yang baik di pasaran karena adanya rembesan gula rafinasi,” ucap Bachrul.

Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), saat ini ada sekitar 500.000 ton gula petani yang ada di pabrik gula-pabrik gula milik negara (BUMN) yang belum terjual karena berbagai kendala.

Sekjen APTRI Nur Khabsin mengatakan, salah satu penyebab belum terjualnya gula petani itu adalah dugaan masuknya gula rafinasi ke pasar umum atau pasar konsumsi. “Ada sejumlah aturan dan kondisi di lapangan yang membuat gula petani tidak bisa dibeli pedagang, termasuk adanya kemudahan  masuknya gula rafinasi di pasar konsumsi,” ujar Nur Khabsin dalam penjelasannya. B Wibowo