Sejumlah kalangan menuduh pemerintah telah gagal membangun ketahananan energi nasional. Itu tercermin pada tingginya ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar minyak (BBM). Alhasil, “nasib” Indonesia pun ditentukan negara eksportir minyak. Selain itu, nilai tukar rupiah pun terus tertekan akibat tingginya impor minyak mentah dan BBM.
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah lama mencanangkan program pengembangan bahan bakar nabati (BBN). Pemerintah telah menetapkan mandatori penggunaan BBN sebagai campuran BBM bersubsidi jenis solar.
Pemerintah juga telah menaikkan porsi penggunaan BBN yang terdiri atas biodiesel dan bioethanol dari 5 persen menjadi 10 persen, kemudian ditingkatkan lagi menjadi 20 persen.
Namun, program-program tersebut tidak bisa direalisasikan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari masih tingginya penggunaan BBM yang akhirnya memicu pada tingginya impor BBM serta subsidi BBM.
Padahal, jika pemerintah mau bersungguh-sungguh untuk banyak komoditas pertanian dan perkebunan yang tumbuh di Indonesia dan bisa dioleh menjadi bahan bakar nabati (BBN)
Misalnya saja buah kemiri sunan atau Reutealis trisperma (Blanco Airy Shaw). Tanaman ini diyakini memiliki kandungan minyak yang tinggi dengan karakteristik yang khas, produktivitasnya tinggi, serta pertumbuhannya relatif cepat dan mudah.
Tidak seperti bahan baku biodiesel lainnya, emisi gas buang yang dihasilkan kemiri sunan lebih rendah, bahkan tidak mengeluarkan asap. Kemiri sunan dapat ditanam di dataran rendah hingga 1.000 m di atas muka laut dan sangat cocok sebagai tanaman konservasi.
Kemiri sunan juga telah didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman pada 25 Mei 2009. Tanaman ini lebih mudah dibudidayakan ketimbang jarak pagar, apalagi Sawit. Sejumlah pesantren di Jawa Timur sudah membudidayakan tanaman ini.
Selain itu, ada juga komoditas yang sudah lama dikenal sebagai bahan untuk pembuatan BBN, yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan jarak pagar.
Program pengembangan BBN, baik dari CPO, buah jarak pagar, kemiri sunan, maupun jenis tanaman lainnya dapat mengurangi penggunaan BBM, sehingga impor minyak dan BBM yang menjadi penyebab defisit neraca perdagangan dan memicu gonjang-ganjing rupiah bisa diredam.
Kebijakan ini juga dapat menciptakan ketahanann energi. Selain itu, kebijakan tersebut dapat merangsang industri bahan baku biodiesel dan bioethanol di dalam negeri, termasuk CPO, minyak jarak, kemiri sunan, tebu, singkong, dan sebagainya, dengan segenap nilai tambahnya, yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani.
Selain itu, harga CPO dunia bahkan diperkirakan bakal terkerek naik seiring meningkatnya penggunaan CPO untuk biodiesel, sehingga kinerja ekspor nonmigas nasional dapat terkatrol.
Kini yang dinanti adalah kesungguhan dari pemerintah untuk merealisasikan program pengembangan BBN yang telah dicanangkan tersebut atau kita memang masih senang untuk bergantung pada negara lain dalam hal kebutuhan energi.